"Dia adalah obsesinya..dan racun dalam dirinya."
Azylle Mercier tampak seperti siswi biasa berumur 18 tahun, tapi diam-diam ia bagian dari organisasi gelap Valken Cipher. Hazric Winston, detektif jenius sekaligus cinta masa kecilnya, kembali ke Indo...
Nada sambung berdering beberapa kali sebelum suara berat dan sopan terdengar di ujung sana.
“Tuan Winston. Selamat pagi, saya baru saja menyelesaikan laporan pembaruan jadwal Bapak—”
“Darius,” potong Hazric dengan nada tenang tapi berwibawa. “Kita ubah sedikit rencana. Aku ingin kau atur pertemuan penyambutan di Jakarta. Hanya undang pihak-pihak penting—keluarga besar, investor utama, beberapa konglomerat yang masih punya koneksi dengan ayahku.”
Suara gesekan kertas terdengar samar di seberang.
“Baik, Tuan. Apakah Bapak menginginkan acara bersifat formal atau hanya pertemuan pribadi?”
Hazric bersandar di kursi, matanya menatap keluar jendela mobil yang bergerak perlahan melewati jalanan Moskow yang masih sepi. Embun di kaca menciptakan bayangan samar dari wajahnya sendiri.
“Resmi di permukaan, pribadi di dalamnya,” ujarnya datar.
“Sampaikan pada mereka kalau ini semacam ‘Welcome Reception for the Returning Detective’. Gunakan nama institusiku di undangan, tapi jangan bocorkan apa pun tentang alasanku pulang. Belum saatnya.” ucap Hazric pelan, seperti sedang berpikir keras. “Dan pastikan David Mercier hadir. Kirimkan undangan resmi atas nama keluarga Winston.”
Darius terdiam sejenak sebelum menjawab, nada suaranya terdengar berhati-hati.
“David Mercier? Pengusaha dari divisi Avalon Group itu, Tuan? Saya pikir hubungan antara keluarga Winston dan Mercier sudah… lama tidak ada kabar.”
Hazric tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tidak sepenuhnya hangat.
“Justru itu. Aku ingin kabar kepulanganku jadi alasan untuk membuka percakapan lama.
"Baik, Tuan."
Hazric mengangguk kecil, kemudian menatap ke luar jendela. Gedung-gedung tinggi Moskow berlalu seperti bayangan samar.
“Dan, Darius…” suaranya menurun, lebih lembut tapi berisi makna dalam. “Pastikan undangan itu juga sampai ke putrinya. Azylle Mercier.”
Kali ini, Darius tidak langsung menjawab. Nada di ujung sana terdengar ragu, seolah sedang mencari kata yang tepat.
“Apakah… saya perlu mencantumkan namanya secara langsung, Tuan?”
Hazric menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras sesaat sebelum akhirnya menjawab.
“Tidak. Buat seolah itu kebetulan. Aku tidak ingin terlihat mencarinya. Tapi aku ingin dia datang.”
“Dimengerti, Tuan. Saya akan urus tempatnya di Jakarta dan atur agar undangan tampak alami. Hanya acara sosial biasa. Apakah Anda ingin saya libatkan pihak media?”
Hazric tersenyum tipis. Senyum itu bukan milik seseorang yang bahagia—melainkan milik seseorang yang tahu betapa berbahayanya atensi publik.
“Tidak. Semakin sedikit yang tahu, semakin baik. Cukup kalangan atas dan orang-orang yang masih mengingat nama Winston.”
"Baik, saya akan melaksanakan perintah Anda dengan sebaik-baiknya."
Suara klik kecil terdengar saat panggilan berakhir. Hazric menaruh ponsel di pangkuannya, menarik napas panjang, lalu menatap ke luar jendela yang kini memperlihatkan langit biru pucat.
Mobil terus melaju di antara lalu lintas yang mulai padat. Di dalam mobil, hanya ada suara lembut dari mesin dan dentingan pelan arloji di pergelangan tangannya.
Hazric menyandarkan kepala, matanya menerawang jauh. Rencananya telah tersusun rapi—seperti biasa. Ia tahu caranya menciptakan kebetulan, membuat pertemuan tampak alami padahal semuanya hasil perhitungannya yang sempurna.
Namun di balik kepastian strateginya, ada sesuatu yang bergetar tipis di dadanya. Bukan karena rasa bangga atas langkahnya yang cermat, tapi karena nama yang baru saja ia sebut. Azylle Mercier.
“Sembilan tahun… kamu akan tetap sama, atau justru makin jauh dari semua yang pernah saya kenal?” gumamnya nyaris tak terdengar, menatap bayangan dirinya di jendela mobil.
Mobil terus melaju, meninggalkan pusat kota Moskow yang ramai menuju distrik diplomat tempat Hazric akan menuntaskan urusan terakhirnya sebelum benar-benar pulang ke tanah air. Dan di kepalanya, setiap langkah sudah tersusun seperti potongan puzzle—tepat, terukur, dan berbahaya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.