"Azylle..."

Suaranya hampir tidak terdengar, tertelan bunyi mesin mobil yang melaju di jalan bersalju. Ia menatap jauh ke depan, tanpa tahu bahwa nama yang baru saja ia sebut-sembilan tahun kemudian-akan menjadi pusat badai yang menelannya hidup-hidup.

✷ ✷ ✷ ✷

Ruang kerja Hazric Winston terletak di lantai delapan gedung kepolisian Moskow, dikelilingi jendela kaca yang menampilkan kota bersalju di bawah cahaya lampu jalan. Di atas meja kayu gelap yang tertata rapi, berserakan laporan kasus, peta kota, dan laptop yang masih menampilkan dokumen setengah selesai. Namun malam itu, semua urusan di meja itu terasa kehilangan urgensi. Hazric menunduk, jari-jarinya mengetuk perlahan di permukaan kayu, matanya terpaku pada layar ponsel yang bergetar.

Ia menarik napas panjang, mengangkat ponsel, dan menekan tombol panggil. Nama yang muncul di layar: Wilhelm, asistennya yang setia sejak awal kariernya di Eropa.

“Wilhelm,” suara Hazric terdengar tenang dan rendah, namun ada kelembutan yang jarang muncul.

“Tuan Winston. Malam sudah larut. Ada yang bisa saya bantu? Mungkin maksud anda mengenai kasus laporan akhir Volkov Mannor-”

"Bukan tentang itu. Kasus sudah selesai, Wilhelm. Aku ingin membahas tentang hal yang jauh lebih penting." Hazric menyela dengan nada tak sabar, padahal percakapan baru saja berlangsung.

"Baik, mohon maaf, Tuan Hazric. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Wilhelm melalui sambungan, nada suaranya sopan tapi cermat, terdengar pula suara ketikan keyboard samar di latar belakang.

Hazric meletakkan punggungnya ke kursi kulit, menatap langit malam yang gelap melalui jendela.

“Aku ingin mulai menyiapkan perjalanan ke Indonesia.”

Ada jeda di ujung telepon. Wilhelm terdengar menahan keheranan sebelum menjawab dengan nada praktis.

“Kepulangan ke Indonesia? Mohon maaf, Tuan, saya sudah memeriksa: tidak ada kasus yang sedang berlangsung, dan tidak ada laporan yang membutuhkan kehadiran Anda di Indonesia.”

“Tidak, Wilhelm. Memang tidak ada kasus yang memerlukan tindakan saya di sana. Alasan perjalanan ini bersifat pribadi.”

"Baik, jadi bukan permintaan internasional atau investigasi mendesak. Urusan pribadi… Tuan? Setelah sembilan tahun di luar negeri, benar-benar pulang tanpa penugasan resmi? Itu pilihan yang jarang dilakukan seseorang sekelas Anda."

Hazric menarik napas dalam, matanya menatap dokumen lama yang belum sempat disentuh.

“Ya. Alasan perjalanan ini bersifat pribadi, terkait urusan masa lalu yang belum terselesaikan.”

"Urusan masa lalu, Tuan…?" Suara Wilhelm terdengar terhenti sejenak. Ia menghormati batasan, namun rasa penasarannya tetap tersirat.

“Kau tahu, Wilhelm… ada kepingan yang tersisa di cermin kehidupan, yang tidak bisa diperbaiki dengan kekuasaan atau uang. Aku harus menjemputnya—hak yang tertinggal, yang seharusnya menjadi milikku sejak lama.” jawab Hazric sambil tersenyum tipis.

"Memahami, Tuan. Saya akan mulai menyiapkan segala sesuatunya sesuai arahan Anda," jawab Wilhelm, nada profesionalnya tetap terdengar, namun terselip kepatuhan yang lembut.

Hazric menghela napas tipis, matanya menyapu kota yang bersalju.

“Pastikan paspor dan dokumen perjalanan lengkap. Pesan tiket pesawat kelas bisnis dengan rute tercepat. Urus juga izin cuti resmi dari kantor pusat detektif internasional. Semua harus tertata rapi agar tidak ada hambatan administratif.”

“Dipahami, Tuan. Untuk penerbangan, saya sarankan Moskow–Doha–Jakarta, atau alternatif tercepat yang tersedia dalam dua hari ke depan. Apakah Tuan ingin saya pilih opsi tercepat atau yang lebih nyaman?”

Hazric mencondongkan tubuh ke kursi, menatap keluar jendela.

“Utamakan kecepatan. Maksimal dua transit, dan pastikan jeda antar penerbangan cukup untuk prosedur imigrasi dan keamanan.”

“Dipahami, Tuan. Selain itu, saya akan menyiapkan surat izin cuti resmi, mengalihkan semua tanggung jawab dan komunikasi kerja sementara, serta memastikan mobil pengantar ke bandara siap menunggu. Bagasi Tuan akan seminimal mungkin: laptop, dokumen identitas, dan pakaian secukupnya.”

Hazric menatap lampu kota yang berkilau di salju, perasaannya campur aduk—gugup sekaligus lega.

“Baik. Pastikan semua persiapan selesai dua hari sebelum keberangkatan, agar saya punya waktu mempersiapkan diri secara pribadi sebelum tiba di Indonesia.”

“Segala sesuatunya akan tertata rapi, Tuan. Tidak akan ada gangguan terhadap urusan pribadi Anda selama perjalanan,” jawab Wilhelm.

Hazric meletakkan ponsel di meja, memiringkan kepalanya, menatap langit malam Moskow yang dingin. Dalam hening itu, pikirannya melayang ke masa lalu, ke wajah-wajah yang tak ia temui selama sembilan tahun. Tidak ada kasus, tidak ada misteri—hanya perjalanan pribadi menuju kenangan yang lama tertunda.

Di tengah dinginnya malam Moskow, detik-detik persiapan pulangnya ke Indonesia terasa seperti awal bab baru yang tak bisa ia prediksi.

Strings of DeceptionWhere stories live. Discover now