“Liburan singkat, huh,” gumamnya lirih sambil menatap langit malam di luar jendela kaca bandara.
“Ya, kalau liburannya berarti nyusupin diri ke markas target, ya kenapa nggak.”

Lampu boarding gate menyala. Azylle menarik kopernya pelan dan melangkah masuk, meninggalkan Indonesia dengan senyum kecil yang penuh rahasia.

✷ ✷ ✷ ✷

Hujan tipis menyambut pesawat begitu mendarat di Heathrow. Langit London berwarna abu-abu kusam, seperti menyimpan rahasia yang tidak ingin dibocorkan. Azylle menarik hoodie-nya lebih rapat, berbaur dengan penumpang lain yang berdesakan di lorong kedatangan.

Udara dingin langsung menusuk kulitnya saat ia keluar dari bandara. Napasnya terlihat putih di udara, sementara lampu jalan memantulkan bias keemasan di genangan air hujan. Ia berhenti sejenak, menatap langit kota asing itu—London, tempat Silhouette Protocol akan dimulai.

"Lyn Avelle,” gumamnya pelan, seolah mencoba membiasakan nama itu di lidahnya. “Mulai dari sekarang, itu gue."

Ia berjalan ke arah pintu keluar. Seorang pria bertubuh tegap berdiri di dekat tiang dengan jas panjang hitam dan syal kelabu. Tidak ada plakat nama, tidak ada tanda pengenal. Tapi Azylle tahu—dialah orangnya.

Pria itu menatapnya singkat, lalu memberi isyarat halus dengan mengangguk ke arah mobil hitam yang menunggu di tepi jalan.

“Selamat datang di London, Miss Avelle,” katanya tenang, logat Inggrisnya berat tapi rapi. “Kami sudah menyiapkan tempat tinggal, dokumen kampus, dan akses sementara untuk misi. Jangan gunakan ponsel utama. Semua komunikasi lewat jalur aman.”

Azylle mengangguk tanpa banyak bicara. Mereka berjalan menuju mobil tanpa menoleh ke belakang. Begitu pintu tertutup, aroma kulit sintetis dan udara hangat memenuhi kabin.

“Tempat tinggalmu dekat King’s College,” ujar pria itu. “Identitasmu: mahasiswi pertukaran dari Prancis, jurusan keamanan siber. Semua data sudah kami tanam di sistem kampus.”

Azylle menatap kaca jendela, memperhatikan pantulan wajahnya di tengah kota yang berlalu cepat.
Rambutnya masih sama, tapi tatapannya… lebih tajam, lebih dingin. Seperti orang yang tak lagi mengenal kata normal.

“Mereka bener-bener pikir gue lagi liburan, ya,” ujarnya pelan dengan nada setengah tawa.
“Cuti kuliah, urusan keluarga. Padahal yang gue urus… organisasi gelap dan kode algoritma.”

Pria itu melirik sekilas tapi tidak menanggapi. Ia tahu, dalam dunia Valken Cipher, tidak ada humor yang benar-benar lucu.

Mobil berhenti di depan sebuah apartemen bergaya klasik di daerah Southwark. Tidak terlalu mencolok, tapi cukup elegan untuk ukuran mahasiswa asing. Di dalamnya, semuanya sudah siap—kartu identitas Lyn Avelle, laptop baru, dan satu amplop hitam di meja dengan cap simbol burung hitam bermahkota—logo resmi Valken Cipher.

Azylle membuka amplop itu. Di dalamnya hanya ada selembar kertas dengan tulisan rapi:

SILHOUETTE PROTOCOL — PHASE ONE:
Infiltrate Helios Dynamics. Gain trust. Access Level 3 server within 7 days. No exposure.

Ia menatap tulisan itu lama, lalu menutup amplopnya dengan tenang.

“Tujuh hari, huh,” gumamnya pelan. “Ya udah… mari kita mulai permainan ini.”

Ia berjalan ke arah jendela apartemennya. Dari sana, terlihat pemandangan kota London yang diselimuti kabut dan cahaya lampu kuning redup. Dunia terasa luas, tapi anehnya, semuanya tampak seperti papan catur besar—dan ia baru saja melangkah ke petak pertamanya.

 Dunia terasa luas, tapi anehnya, semuanya tampak seperti papan catur besar—dan ia baru saja melangkah ke petak pertamanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Selamat datang di permainan baru, Lyn,” katanya lirih.
“Dan selamat tinggal, Azylle.”

✷ ✷ ✷ ✷

Tujuh hari terakhir di London berjalan dengan presisi sempurna bagi Azylle. Dengan identitas baru sebagai Lyn Avelle, mahasiswi magang dari Prancis, ia menembus Helios Dynamics tanpa menimbulkan kecurigaan. Setiap interaksi dengan staf tampak natural, setiap akses ke server diawasi dengan cermat, namun tanpa meninggalkan jejak.

Dalam tiga hari pertama, ia berhasil mendapatkan kepercayaan seorang peneliti muda dan mempelajari sistem AstraNet secara detail. Hari keempat, ia menyalin algoritma kritis yang dibutuhkan organisasi, sambil menanam worm program yang akan menghancurkan server perusahaan 48 jam kemudian. Semua berjalan tanpa hambatan; ia menyelesaikan setiap tahap misi tepat waktu dan sesuai instruksi.

Kini, dengan dokumen dan file yang aman di tangan, Azylle menatap kota London dari jendela apartemennya. Masih tersisa dua hari sebelum penerbangan kembali ke Indonesia. Dua hari itu terasa seperti jeda—waktu yang cukup untuk menyiapkan diri, membersihkan jejak, dan menenangkan napas sebelum kembali ke dunia nyata, di mana wajah-wajah lama dan rahasia masa lalu menunggu.

Dia tersenyum tipis, perasaan campur aduk antara lega, bangga, dan sedikit rindu pada sensasi adrenalin yang selalu menyertai setiap tugas dari Valken Cipher. Misi Silhouette Protocol selesai dengan sempurna—namun pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai begitu ia kembali ke tanah air.

"Hmm… gue kayaknya harus upload sesuatu, biar kelihatan liburan beneran," gumam Azylle sambil menata sarapannya pagi ini dengan gerakan lincah tapi ragu-ragu. Di piringnya ada ikan sarden asap, telur, dan roti, tersusun rapi. Dengan cepat, ia mengambil foto selfie sambil menyertakan piringnya, lalu mengunggahnya ke media sosial. Tak lama kemudian, notifikasi mulai berdatangan—like, komentar, dan emoji memenuhi layar.

Azylle terkikik sendiri, merasa geli sekaligus bangga. "Ih, kalau kayak gini, gue berasa jadi siswi normal yang lagi asyik liburan," gumamnya sambil mengunyah roti, matanya terus menempel pada beranda Twitter-nya. Sesekali ia menahan tawa, takut terdengar aneh, tapi tak bisa menahan rasa senangnya melihat reaksi teman-temannya.

Strings of DeceptionWhere stories live. Discover now