The night they lost someone and never truly found themselves again.
Langit abu-abu menggantung hujan yang belum turun, tapi bau tanah basah sudah lebih dulu meresap ke dalam napas. Seorang gadis berlari, napasnya tersengal, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Kakak!" suaranya nyaris tercekik. Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian dari dalam rumah yang terasa lebih dingin dari cuaca di luar.
Dua pria menyusul di belakangnya. Langkah mereka tergesa, raut wajah cemas tak lagi bisa disembunyikan. Salah satu dari mereka mengetuk pintu kamar berkali-kali dan berusaha memutar kenop pintu. Sia-sia, pintu kayu jabon itu terkunci.
"Bantu gue, Ray," kata pria yang terlihat paling tua diantara dua orang lainnya dengan lirih. Sorot matanya tajam. Berusaha menekan kepanikan yang sudah melanda.
Kedua pria itu mundur sedikit, saling bertatapan dalam diam, lalu melangkah bersama-sama mendobrak pintu.
Braak!
Bau obat langsung menyeruak memenuhi hidung ketiganya, membuat mereka mengucap harapan yang sama agar pikiran buruk mereka tidak terbukti. Tirai jendela masih tertutup rapat dan lampu yang tidak menyala membuat mereka terhenti sesaat. Sang gadis menyalakan lampu kamar itu dan terkesiap melihat tubuh wanita yang ia sayangi sudah sangat pucat. Mereka pun berlari cepat ke arah kasur tempat wanita itu tergeletak dengan tangan terkulai ke bawah, jemari lentiknya yang sudah pucat mencengkeram sesuatu, sebotol pil kosong.
"Ya ampun... Kak..."
Salah satu lelaki memeriksa denyut nadi, menepuk pipi, memanggil-manggil namanya. Namun tubuh pucat itu tak lagi memberi respons.
"Panggil ambulans!" yang lain berseru.
Sang gadis menangis tersedu meneriakkan nama kakaknya. Masih tidak percaya kalau kakaknya melakukan hal terkutuk ini. Tidak, tidak seperti ini. Tidak setelah semua janji yang ia buat. Tidak setelah pagi tadi mereka tertawa bersama saat sarapan.
Tubuh gadis itu pun gemetar. Lututnya lemas. Ia merosot ke lantai, tidak sanggup lagi menggoyang tubuh kaku kakaknya yang ia harap akan kembali bernyawa. Gadis itu menangis tanpa suara. Di tengah kekalutan itu, matanya tertuju pada selembar kertas di meja rias. Dengan sekuat tenaga ia meraih kertas itu dan menyimpannya. Ia terlalu takut untuk membacanya. Terlalu takut untuk tahu.
YOU ARE READING
Not in the Script
RomanceNaskah yang ditulis Sanyara akhirnya berubah jadi film. Namun bukan hanya cerita yang berubah jadi nyata, hatinya juga ikut dipertaruhkan. Rajendra, sahabat yang selalu ada, diam-diam jadi cinta pertamanya. Dan Zein, aktor pemeran utama, yang terlal...
