"How do you know who's safe, when both danger and comfort wear the same face?"
'....Cause I'm a real tough kid, I can handle my shit
They said, Babe, you gotta fake it till you make it and I did
Lights, camera, bitch smile, even when you wanna die
He said he'd love me all his life
But that life was too short-'
Alunan suara gue yang sebelas dua belas dengan Taylor Swift mengisi kesunyian di ruangan gue yang masih menyala di Divisi Planning, lantai 30 CBD Tower.
Jam di PC nunjukkin 20.40 WIB.
Dan, yeah, gue lembur.
Why? Because...setelah ketegangan sengit antara Adrian dan Nathaniel tadi pagi, berakhir gue harus merombak lagi whole of feasibility study, karena argumentasi Nathaniel yang mendukung estimasi awal gue.
Adrian kalah telak.
Gue?
Entah kenapa ngerasa senang ada yang akhirnya ngelihat dari sisi gue.
Ada yang match dengan rencana original gue sebelum dirombak Adrian.
Maybe Nathaniel is not really so bad like I thought.
Or..
Maybe Adrian just made a bad framing of Nathaniel, karena takut kalah saing.
Classic Adrian.
"Hey, lembur?"
Sebuah suara soft mendayu memotong konser kecil-kecilan gue.
Spontan, gue noleh ke arah pintu.
Nathaniel.
Sweater membungkus badannya yang seingat gue tadi pagi cuma berkemeja baby blue.
Trouser abunya masih licin, ditambah dengan sneakers putih.
Over all, tampilannya lebih mirip cowok-cowok Korea di film Drama.
Beda banget sama Adrian yang style-nya pamer dada- dasar Massimo KW.
"Yeah, adjusted laporan sama PPT, and investement teaser buat Pemprov and investor," jawab gue setelah senyum manis nan profesional. "Lo sendiri kenapa belum pulang? Udah lembur aja di hari kedua kerja, haha."
Nathaniel terkekeh sambil berjalan masuk ke ruangan gue.
"Gabut aja, gue perlu belajar dan adaptasi lebih lagi ke proyek ini. I don't want being a burden for the infamous Gresa and the youngest manager, Adrian.."
Nathaniel sekarang tepat berdiri di depan meja gue, kedua tangannya menekan meja gue.
Tatapannya manis-tapi lo tahu ini manis yang berbahaya.
A definition of sweet poison apple.
"And...how can I leave when a pretty girl alone like this?" sambung Nathaniel lagi dengan suara lembut mendayu. Memabukkan.
Gue kira Adrian itu yang paling berbahaya di CBD Tower.
But, Nathaniel....is beyond of him.
Gue hanya terkekeh pelan sebagai respon ke Nathaniel.
Mata gue balik fokus ke screen, tangan sibuk typing and calculating.
"Mungkin ada yang bisa gue bantu supaya lo nggak terlalu lama lemburnya, Gresa?" Tawar Nathaniel, tetap dengan tatapan yang lembut namun beracun, dan suara mendayunya.
"No..thanks, gue bisa kok. Besides..this is my jobdesk."
Gelengan kepala pelan dengan senyum manis gue menjadi pertanda penolakan terhadap Nathaniel. Bukan hanya penolakan pengaruh lebihnya di Green Revive, tapi lebih dari itu.
Nathaniel tertawa, suaranya menggema di ruangan gue sampai dia harus mengusap sudut matanya. Seolah jawaban gue adalah lelucon terbaik yang pernah dia dengar.
Kepalanya geleng-geleng pelan, dengan senyum menyeringai yang bikin bulu kuduk gue berdiri, "I like you. That's why Adrian can't let you go." Dia mengetuk-ngetuk meja dua kali dengan ujung jarinya. "Oh, this will be an exciting game."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blueprints of Us
RomansaKalau ada yang bilang cinta itu kayak proyek feasibility study yang mepet deadline, dulu gue pasti bakal ketawa paling lebar. Gue tuh anaknya suka hal-hal yang terstruktur. Ada tahapannya. Masuk logika. Contohnya? Kota. Kota... semua elemennya harus...
