Sors Durus 1-3

9 2 0
                                        

17 Anenfra (bulan ke 1) 1099

Kembali ke POV Aldon...

Saat ini hari sudah mulai petang dan teman-temanku sudah sangat-sangat keletihan. Aku sudah tidak sanggup untuk berjalan lagi, Liona juga sudah tidak kuat membopong Anná lagi, Anná sendiri sudah tidak mampu menggerakkan kakinya, serta Dwarf yang mengawal kami itu juga bernasib sama. Kami berempat akhirnya terpaksa duduk di tanah pasir gurun sambil mengambil nafas dulu.

Untungnya sang mentari sudah tidak sepanas tadi siang, jadi kami tidak perlu tambah capek harus menahan terik panas dari langit juga. Hembusan udaranya juga terasa pas, tidak terlalu hangat maupun dingin, cukup untuk memberi kami ruang rehat dan merentangkan kaki.

"Ini petualangan paling liar yang pernah aku alami!" Gerutuku lantang. Jujur aku tidak pernah membayangkan kalau perjalanan mengantar sepucuk surat tambah 500.000 revda ini bisa sampai segila ini.

Terjebak di medan perang Urba'lh, menerjang badai laut, terdampar lalu berjalan kehausan di sepanjang pantai, dan sekarang... berakhir menjadi buronan oleh kerajaan tempat lahirku sendiri?! Ini sungguh gila!!

"Ini malah petualangan pertamaku, tapi langsung sulit seperti ini," tukas Liona seolah ingin mengadu nasibnya denganku.

"Surat satu itu... peti 500.000 revda itu... Sungguh apa sih sebenarnya kepentingan Tuan Grey dengan korespondenya itu?"

Liona menggelengkan kepalanya, bersamaan dengan itu telinga kucingnya juga ikut berayun, "Aku tidak tahu, tapi itu pasti sesuatu yang sangat besar... sangat penting sekali."

Iya, 500.000 revda itu memang jumlah nominal yang sangat banyak loh... sangat banyak sekali untuk bisa dibawa kabur guna memulai hidup baru.

...

Astaga, apa yang baru saja aku pikirkan? Itu bukan Revdaku dan aku sudah berjanji padanya!

Aku harus mengantarnya, bukan merebutnya!

...

"Kau, ummm... kau temannya Magnor kan?" Aku langsung mencoba mengalihkan pikiran aneh tadi dengan cara memulai percakapan lain dengan dwarf yang mengawal kami.

"Iya, kenapa?" Dia menjawab.

"Kau, siapa namamu? dan di mana Magnor?"

Dwarf itu terdiam sejenak, "Aku Biorn, soal Magnor... aku tidak tahu dia dimana. Kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak badai itu."

"Jadi dia hilang saat insiden itu?" Aku langsung membelalakkan mataku.

"Iya, mungkin dia tenggelam... tapi aku ragu kalau dwarf seperti dia bakal bisa mati hanya gara-gara tenggelam." Biorn memberikan aku sebuah tatapan mendalam.

"Ohh iya?"

"Iya, aku sudah sering tugas bersamanya. Sejak awal karirku di satuan tentara Auxilia Pargia, sampai sekarang. Dwarf satu itu termasuk tipe yang susah mati." Ia menarik nafas sejenak sambil memijat kakinya sendiri, "Suatu waktu aku pernah melihat 4 anak panah tertancap di punggungnya, tapi dia masih hidup. Bukan hanya itu... dia juga masih bisa menghajar 3 orang lagi sebelum akhirnya rebah. Itu pun dia masih selamat setelah 1 minggu perawatan."

"Wowww... sekuat itukah dia?" Aku semakin tidak percaya mendengar kisah barusan.

Biorn mengangguk mantap, "Iya, dia juga pernah menghajar habis 4 orang yang semuanya mengenakan zirah lengkap serta pedang, sementara dia sendiri bertelanjang dada serta hanya membawa sebuah tameng dan palu tukang."

"Dia sudah berulang kali menyelamatkan nyawaku... sementara aku, ummm... baru 2 kali melakukan hal serupa kepadanya." Wajah Biorn tampak sedang merenung dalam sekali, "Sayangnya di hari badai sialan itu, aku tidak sempat melihat dia lagi."

Waypoints: Iter dignumOù les histoires vivent. Découvrez maintenant