Via Diversa 1-2

15 6 0
                                        

Tidak ada satupun pohon kelapa yang bisa kami temui di sepanjang pantai tempat kami terdampar. Tapi untungnya kami masih bisa menemukan sebuah box kayu utuh yang berisi daging yang diasinkan. Hanya saja isinya sudah setengah bercampur dengan kotoran dan air laut, jadi kami harus memasaknya lagi. Aku, Anná, dan Gavin alias si crew kapal penyintas ras manusia yang bersama kami itu memutuskan untuk membuat daging tusuk bakar dengan memanfaatkan sisa-sisa potongan kayu yang tersebar di sekitar.

"Sudah menyala belum apinya?" Anná bertanya dengan nada malas sambil melihat aku dan Gavin yang masih berusaha keras menyalakan api dari kayu-kayu yang basah ini.

"Kayunya basah jadi susah terbakar," jawabku terus terang.

Strategi kami berdua adalah dengan menyerut kayu-kayu basah tersebut menjadi serpihan-serpihan tipis yang lebih mudah mengering dan terbakar. Untungnya, cahaya mentari panas yang ada di atas kepala kami juga ikut membantu mengeringkan kayu-kayu tersebut. Setelah entah berapa lama aku dan Gavin menggosok-gosok dua stik kayu di dekat serutan tersebut, akhirnya kami berhasil memantik sebuah bara api.

"Yes!!" Sorakku gembira. Bahkan Gavin juga ikut bersorak.

Kami bertiga langsung memanggang daging asin tersebut. Jujur semua usaha memantik api tadi ditambah sengatan panas mentari yang senantiasa menerpaku sepanjang siang ini benar-benar membuatku haus.

"Apa ada air yang bisa diminum?" Aku bertanya kepada kedua rekanku.

"Tuh, banyak air di sana." Anná langsung menyeletuk sambil menunjuk ke arah laut.

Astaga, aku bahkan tidak mood untuk bercanda!

"Semua barel yang aku periksa sudah bocor atau kosong. Air laut pun tidak bisa diminum walaupun sudah direbus." Gavin menanggapiku lebih serius.

Setelah ucapan Gavin itu, kami bertiga akhirnya terdiam. Aku mengamati tusukan daging asin yang sedang aku bakar ini sambil menahan rasa dahagaku yang sepertinya tidak akan segera terobati. Jika saja ada sumber air ajaib tidak terbatas yang bisa-

...

Tunggu sebentar! Anná kan bisa sihir air, kenapa aku tidak minta air dari dia saja ya?

"Anná, boleh aku minta air ciptaanmu itu?" Aku langsung bertanya antusias.

Anná menoleh ke arahku sambil menggelengkan kepalanya, "Itu tidak bisa."

"Astaga, kamu pelit sekali!"

Mendengar omelan spontanku, elf itu langsung mendengus kesal, "Dengar bocah awam, sihir airku itu tidak bekerja seperti yang kau kira!"

"Tidak bekerja bagaimana? Kau jelas-jelas bisa membuat bola-bola air gitu." Bahkan Gavin pun mengangguk setuju dengan kalimatku.

Wajah Anná berubah semakin frustasi, "Astaga susah sekali menjelaskannya pada kalian! Ya sudah, sini, siapkan tanganmu."

Sesuai permintaannya, aku langsung menengadahkan tanganku. Gavin pun juga ikut melakukan hal serupa. Tidak berselang lama, Anná akhirnya menciptakan sebuah gumpalan air di telapak tangannya. ia lalu menerbangkan gumpalan itu menjadi dua, satu ke telapak tanganku sementara yang lainnya ke telapak tangan Gavin.

"Tuh, silahkan minum!"

Aku yang memang sudah sangat kehausan langsung cepat-cepat berusaha menyedot air tersebut. Tetapi sebelum mulutku bersentuhan dengan air itu, tiba-tiba airnya menguap. Benar-benar menguap hilang tidak bersisa!

"Astaga Anná, kenapa kau menghilangkan airnya!!" Sungguh jika ini salah satu candaan bodohnya lagi, aku akan melempar wajahnya dengan pasir pantai!

Gavin pun juga sama kesalnya sepertiku, "Kau elf keparat! Kenapa kau menghilangkan airnya?!"

"Itu karena air itu bukan air sejati, dasar bodoh! Itu hanya air ciptaanku, kalau aku berhenti mengalirinya dengan energiku airnya akan langsung menguap!"

Astaga, ocehan apa lagi sih ini?!

Melihat ekspresi kami, Elf itu menghirup nafas panjang lalu menghembuskannya, seolah berusaha menahan emosinya sendiri, "Dengar, simpelnya begini saja. Ada suatu benda di semesta ini yang namanya Aetheryte. Bendanya tidak terlihat dan melayang-layang bebas di seluruh jagat raya, persis seperti udara di langit."

"Aku menggunakan energi castraku untuk mengubah bentuknya menjadi air dan boom, jadilah air ciptaanku itu! Tapi kalau aku berhenti mengalirinya dengan castra, wujud airnya akan kembali lagi menjadi Aetheryte!" Elf itu berusaha menjelaskan.

"Alias kembali lagi menjadi seperti semula, seperti udara! Tidak terlihat dan tidak bisa disentuh!" Anná memberi penekanan pada kalimatnya yang ini.

"Sudah paham?" Anná akhirnya mengakhiri penjelasan panjang dan memusingkannya itu.

Gavin semakin menggaruk kepalanya sementara aku... sepertinya aku mulai sedikit paham.

"Jadi maksudmu air buatanmu itu tidak abadi? Jadi tidak bisa diminum?" Aku mencoba mengkonfirmasi kesimpulanku.

"Iya benar, kamu pintar sekali bocah muda!" Ia menjawabku dengan nada yang lebih terkesan mengejek.

"Kamu paham maksud elf itu, Aldon?" Gavin seolah kaget setelah mendengar kalimat Anná barusan.

"Lumayan sih. Intinya dia bilang kalau air buatannya tidak bisa diminum."

Gavin langsung mendengus kesal sekaligus makin menggaruk kepalanya sendiri, "Okey, sepertinya aku yang paling bodoh dalam percakapan ini."

Seolah sepakat tidak mau makin pusing membahas konsep sihir tersebut, kami bertiga akhirnya kembali fokus menatap daging asin kami masing-masing. Tidak butuh waktu lama, daging itu akhirnya matang dan kami langsung menyantapnya sampai habis. Sesuai namanya, sensasi rasanya pun hanya asin, tidak lebih ataupun kurang.

Setelah selesai makan, kami memutuskan untuk diam beberapa menit lagi sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Saat ini sang mentari sudah agak bergeser ke barat dan berkat perubahan posisi itu, Gavin dapat mengetahui arah mana yang merupakan arah utara, tempat Kota Fal'khus itu berada.

 Saat ini sang mentari sudah agak bergeser ke barat dan berkat perubahan posisi itu, Gavin dapat mengetahui arah mana yang merupakan arah utara, tempat Kota Fal'khus itu berada

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Sebelum berangkat, Anná menyempatkan diri untuk menggeledah box-box kayu di sekitar kami lagi untuk mencari sebuah jubah. Ia mengeluh kalau pakaian tunic putih tipisnya tidak mampu menangkal panasnya terik mentari, apa lagi model pakaiannya itu tidak memiliki kain lengan sama sekali. Setelah beberapa saat ia akhirnya menemukan sesuatu yang bisa membantunya, sehelai kain linen putih tidak berjahit yang pas untuk membalut tubuh beserta kepala Anná.

Setelah kami semua siap, kami pun berangkat.

***

Waypoints: Iter dignumWo Geschichten leben. Entdecke jetzt