Woah... jadi beneran nih dia pernah membunuh orang?

Gavin mengangguk sambil melepaskan genggamannya dari telapak tangan Anná, "Okey. Jika kau percaya begitu, semoga kau bisa menjadi pribadi yang lebih baik."

Setelah berkata begitu, Gavin melambaikan tangannya kemudian pergi membaur dengan penduduk kota. Sekarang hanya sisa aku dan Anná.

"Sekarang kita mau kemana?" Tanya Anná kepadaku.

Setelah berpikir bersama, kami akhirnya memutuskan untuk mencari tempat penginapan terlebih dahulu. Mayoritas penginapan di sini mewah-mewah dengan harga sewa yang mahal sekali. 500 Revda per malam? 800 Revda per malam? Bahkan sampai 1.000 Revda per malam?!

Tidak, itu terlalu mahal!

Kami akhirnya menemukan satu penginapan yang hanya menarik biaya sebesar 450 Revda per malam. Di situ kami menyewa dua kamar, satu untukku dan satu untuk Anná. Aku menaruh barang-barang bawaanku seperti tas pribadi dan peti ransel senilai 500.000 Revda itu di kamar, sementara Anná juga meletakkan kain linen yang sebelumnya ia pakai sebagai jubah sekaligus tudung kepala itu di kamarnya sendiri. Setelah itu kami berdua memutuskan untuk mencari makan siang bersama.

Selesai mengunci pintu kamar masing-masing, aku dan Anná langsung pergi keluar penginapan. Kami berdua jalan-jalan menyusuri kota hingga kami tiba di Plaza Agung. Plaza ini terletak di tengah kota Fal'khus, tepat di dalam lingkaran pusat utama kota yang menghubungkan seluruh jalan besar yang ada di seisi kota ini menjadi satu. Di tengah plaza tersebut terdapat sebuah air mancur raksasa yang lebarnya kira-kira muat sampai 100 barel air. Air mancur itu secara keseluruhan berbentuk mirip kerucut dengan berbagai ukiran pola kotak-kotak rumit yang menghiasi setiap sisinya. Di ujung tugu tertinggi air mancur itu, terdapat sebuah patung malaikat bersayap dengan zirah lengkap serta tombak dan tameng di tangannya. Dulu orang tuaku pernah bilang kalau malaikat itu adalah semacam pelindung dari kota ini.

Di sekitar air mancur itu terdapat banyak semak-semak hijau yang tumbuh memenuhi seisi lapangan plaza. Selain itu banyak juga tenda-tenda kios yang terpasang di sana-sini, saling memaparkan dagangan mereka kepada jutaan orang yang berkerumun di plaza ini.

"Ayo beli-beli, pakaian-pakaian tunic sutra baru kualitas premium!", "Kakak mau perhiasan emas? ayo kemari!", "Buah-buah segar baru masak pohon, Kalian boleh mencicipi dulu loh!"

Dan ribuan rayuan lainnya benar-benar memenuhi suasana keramaian di plaza ini. Saat sedang melihat-lihat, tiba-tiba Anná menarik tanganku menghampiri sebuah kios yang menjual pakaian.

"Halo kakak-kakak, mau beli pakaian apa nih? Mau yang trendy seperti gaun ini?" Sosok Felix perempuan penjual kios tersebut memajangkan sebuah gaun ungu mewah yang memiliki lengan panjang serta terusan yang berjumbai-jumbai panjangnya.

"Atau mau yang praktis seperti ini?" Sekarang penjual kios itu memajangkan pakaian lain berupa tunic hitam tanpa kain lengan dengan terusan yang menutupi setengah lutut. Modelnya mirip seperti tunic putih yang saat ini sedang dipakai Anná, hanya saja pakaian yang dijual itu tampak lebih baru dan tidak dapat dipungkiri, lebih mewah dengan beberapa ornamen jahitan kuning keemasannya.

"Berapa harga pakaian ini?" Tanya Anná sambil mengambil sebuah pakaian lain yang masih terlipat di meja kios.

Ketika Anná membuka lipatannya, ternyata itu merupakan pakaian tunic coklat susu cream dengan kain lengan panjang serta terusan yang juga sampai menutupi setengah lutut.

"Ohh, yang itu 600 Revda kak." Felix penjual pakaian itu menjawab sambil tersenyum.

Anná kemudian mendekatkan wajahnya ke telingaku lalu berbisik, "Aldon, kamu mau membelikan aku baju ini? Aku tidak punya baju ganti sama sekali nih..."

...

600 Revda tadi katanya ya? Itu harga yang mahal loh.

Aku sebenarnya ingin menolak permintaan Anná, tapi entah mengapa ada sesuatu di dalam hatiku yang terus-terusan merayu aku untuk mengabulkan permintaannya. Okey, aku akan coba menawarnya dulu.

"300 Revda, bisa?" Tanyaku langsung.

"Wah, nggak bisa kak. 550 Revda mungkin?"

"400 Revda?"

"500 Revda, itu harga final dariku. Kakak mau?"

Paling tidak aku bisa menawarnya 100 Revda lebih murah.

"Okey, sepakat," jawabku sambil menyerahkan sejumlah Revda sesuai harga itu.

Setelah mendapatkan pakaian itu, Anná langsung menuju ke tenda ganti. Beberapa menit kemudian ia keluar, sudah mengenakan pakaian barunya. Ia berdiri di depanku sambil memamerkannya, "Tadaa, apa aku cantik?"

Aku mengangguk. Dia memang cantik... entah dengan pakaian ini, maupun pakaian sebelumnya.

"Terimakasih!" Anná berseru gembira sambil melompat-lompat kecil, mirip anak-anak.

Selanjutnya kami pergi mencari sebuah rumah makan, sesuai dengan tujuan awal kami ke plaza ini.

***

Waypoints: Iter dignumWhere stories live. Discover now