Inceptum est 1-1

Mulai dari awal
                                        

Suasana terik mentari sore tadi telah surut digantikan oleh pancaran bulan purnama yang bersinar terang di langit, dihiasi gemerlap bintang bertaburan di angkasa. Sayang, suhu udara di sekitar kami juga ikut turun drastis, sangat drastis sampai-sampai membuatku sesekali menggigil ketika ada angin lewat.

"Apa kau sudah pernah keluar kerajaan, Aldon?" Tiba-tiba Liona bertanya kepadaku.

"Pernah, aku bahkan bukan dari kerajaan ini, ingat?" Jawabku santai.

"Ohh iya sih."

Langkah kami menembus padang gurun malam ini terasa cukup sunyi. Ransel peti kemas kayu bernilai 500.000 Revda yang aku bawa di punggungku ini mulai mengikis sisa tenaga yang aku miliki. Di depan kami, dua dwarf penjaga sewaan itu juga lebih asik dengan percakapan mereka sendiri. Mereka berdua tampaknya tidak terlalu ingin bicara dengan kami, mereka hanya peduli soal tugas dari Tuan Grey.

Saat aku dan Liona sedang berjalan sambil menahan letih, tiba-tiba kedua dwarf yang ada di hadapan kami menghentikan langkahnya. Salah satu dari mereka bahkan memberi aba-aba dengan tangannya agar kami berdua ikut berhenti.

"Ada apa-" Aku mencoba bertanya, tapi langsung di potong.

"Ssttt..."

Suasana kami langsung sepi, aku mengurungkan niatku untuk lanjut berbicara tanpa tahu apapun. Beberapa detik berlalu, tidak ada satu suara pun yang terdengar, murni hanya kesunyian gurun malam. Tetapi aku akhirnya mulai mendengar sesuatu. Itu terdengar mirip lolongan hewan buas. Awalnya hanya ada satu, tapi kemudian disusul oleh lolongan - lolongan lain sampai terdengar saling bersahut-sahutan. Dari suaranya, aku langsung tahu itu apa...

Hyena gurun, sekawanan hyena gurun.

"Kalian berdua, merapat segera!!" Seru seorang dwarf yang mengawal kami sambil membuat gestur tangan agar kami mendekat.

Kedua penjaga kami kemudian langsung menyiapkan senjata poleaxe mereka masing-masing. Setiap langkah maju berikutnya, kami lakukan dengan hati-hati. Sampai sejauh ini kami masih belum bisa melihat secara pasti dimana hyena-hyena itu berada, tetapi yang jelas mereka ada di dekat kami. Aku yang memang hanya berbekal senjata pisau belati kecil hanya bisa pasrah kepada dua penjaga kami, bahkan senjata Liona masih lebih menguntungkan dengan jarak jangkauan tongkat kayunya.

Setelah beberapa langkah maju, kami akhirnya bertemu dengan kawanan hyena itu. Mereka datang dari depan lalu mulai memutari kami. Bahkan di tengah kegelapan gurun ini, aku masih bisa melihat taring-taring buas mereka. Untuk mengantisipasi terkaman dari belakang, kami berempat akhirnya membentuk formasi lingkaran, punggung ke punggung. Kami berempat sepakat menunggu kawanan hyena itu untuk membuat gerakan duluan.

Beberapa menit penuh ketegangan berlalu hingga akhirnya ada satu hyena yang mencoba menyerang, dia memilih Liona sebagai sasarannya. Liona sendiri cukup pawai dalam menghadang serangan itu, tetapi di saat yang bersamaan ada hyena lain yang ikut menyerang. Dua, tiga... Liona akhirnya mulai kewalahan dan itu memaksa aku untuk ikut campur tangan. Begitu aku bergerak untuk membantu, formasi kami pecah dan hyena-hyena yang tersisa langsung serempak menyerbu ke arah kami.

Aku berhasil menangkap satu yang mencoba menerkam wajahku, lalu menghabisinya dengan belatiku.

Aku kemudian berlari menerjang satu yang nyaris menerkam Liona sampai aku dan hewan buas itu jatuh berguling-guling di pasir. Sebelum Hyena itu sempat bergerak lagi, aku sudah menikamnya.

Liona sendiri berhasil melumpuhkan satu penyerangnya dan kini hanya menghadapi satu lainnya yang masih berdiri. Di sisi lain, dua dwarf pengawal kami sudah berhasil melumpuhkan empat dan kini masing-masing menghadapi dua hyena. Mereka berdua tampaknya tidak kewalahan sama sekali.

Tanpa pikir panjang, aku memilih untuk membantu Liona. Satu hyena itu benar-benar tidak punya kesempatan menghadapi kami berdua. Liona mendaratkan pukulan telak ke kepala hyena itu dan aku menikam lehernya untuk memastikan. Begitulah sudah, hyena satu itu tamat.

Saat kami berdua mengalihkan perhatian ke arah dwarf-dwarf pengawal kami, ternyata mereka juga sudah menyelesaikan hyena-hyena lawan mereka.

"Apa ada yang terluka?" Salah satu dari dwarf itu bertanya kepadaku dan Liona.

"Aku baik-baik saja." Liona menjadi yang pertama menjawab.

"Aku baik-" Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, aku baru menyadari bahwa ada luka bekas gigitan di tanganku, "Aku tergigit, tapi cuma luka kecil sih."

"Sini biar aku obati." Dwarf rekannya langsung menghampiriku. Ia kemudian segera membalut lukaku dengan perban putih yang sudah dibasahi dengan semacam cairan obat herbal yang punya aroma cukup wangi.

"Sebentar lagi kita akan tiba di Thotzi, apa kalian sanggup melanjutkan perjalanan?" Dwarf yang tidak sedang mengobati aku bertanya.

Liona tidak langsung menjawab melainkan menoleh ke arahku, menunggu konfirmasi dari aku yang terluka ini.

"Iya, kami bisa," jawabku mantap.

"Okey."

Setelah selesai mengurus lukaku, kami berempat melanjutkan perjalanan. Salah satu dari dwarf pengawal kami bahkan ada yang membawa satu bangkai hyena itu di punggungnya. Ia bilang kalau ia ingin jubah dari kulitnya.

Sebelum cahaya mentari pagi tiba, kami sudah bisa melihat gerbang Kota Pelabuhan Thotzi. Di sana kami langsung mencari penginapan untuk beristirahat.

***

Bonus Content:

Bagi kalian yang penasaran dengan gimana penampilannya Aldon di cerita ini, berikut adalah gambarnya:

Bagi kalian yang penasaran dengan gimana penampilannya Aldon di cerita ini, berikut adalah gambarnya:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Gambar ini dibuat menggunakan app Blender 3D.)

Special thanks to: Quaternius free assets (template body orangnya + tasnya), Bran Sculpts (template kepalanya), dan HDRI Haven (Backgroundnya).

Waypoints: Iter dignumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang