Miciela menatap Giovanni sekali lagi. Ia tahu pria itu tampak baik-baik saja. Tapi ia juga tahu, sesuatu sedang terjadi dalam tubuh itu. Terlalu banyak jeda napas. Terlalu sering menarik kerah baju. Dan yang terburuk—aroma ruangan terasa tebal. Padat.
Laju mobil dengan merk ternama yang Gabriel kendarai benar-benar di atas batas normal, seperti yang Theresa keluhkan dalam group chat The Alphas. Sambungan telepon dari Hanan tidak dihiraukannya begitu kalimat itu keluar.
"Giovanni collapse. Suspected heat shock."
Selebihnya hanya deru angin dan denyut panik di pelipis Gabriel.
Restoran yang semula penuh canda gurau bersama Theresa ditinggalkan secepat kilat. Bahkan, tak sampai lima belas menit, mereka sudah sampai di depan Unit Gawat Darurat. Theresa nyaris tertinggal langkah ketika Gabriel turun dari mobil—tanpa pamit, tanpa sepatah kata.
"GAB!"
Teriakan Miciela menghentikan geraknya. Gabriel berbalik, matanya tajam.
"Mana? Gio mana?!"
Miciela menahan napas, "Chill, man. Chill. He's okay."
Gabriel menyipit. "Lo call gue delapan kali. Terus spam chat kayak orang kesurupan. Mana Gio?"
Miciela mengangkat bahu, lalu menunjuk ke arah kamar rawat. "Saran gue, jangan masuk. Gue aja gak kuat apalagi lo."
Gabriel tak peduli. Langkahnya menghentak menuju ruangan itu. Baru akan membuka pintu, aroma hangat yang begitu dikenalnya menguar—dan bukan dengan cara yang menyenangkan. Tubuhnya refleks gemetar.
Aroma Giovanni. Aroma heat.
Gabriel terhuyung. Tapi belum sempat melangkah lebih dalam, sebuah tarikan keras mendorongnya ke dinding seberang.
Miciela berdiri di depannya, wajahnya tak kalah marah. "Gue bilang apa barusan? Dia lagi heat, Gab."
"Lo gak sentuh dia, kan?" desis Gabriel, dingin.
Miciela tertawa kecil—lebih sinis dari biasanya. "Lo pikir semua orang sepicik lo?"
Jari telunjuknya menghantam dada Gabriel. "Lo tahu gak kenapa dia pingsan? Karena pheromone gue nempel dari pagi. Lo tahu kenapa? Karena lo terlalu pengecut buat pasangin diri lo sama dia!"
Gabriel mengatupkan rahangnya.
Sebelum konflik itu makin memanas, suara langkah cepat mendekat. Theresa datang dari lorong kiri, berdiri di antara keduanya seperti tameng.
"Stop. Ini rumah sakit. Giovanni lagi sensitif. Kalian berdua keluar."
Gabriel dan Miciela, dua Alpha dengan ego sebesar samudera, saling menatap penuh ketegangan. Tapi hanya satu yang memilih menurunkan senjata lebih dulu.
Miciela.
Ia mendesah keras dan melangkah pergi tanpa sepatah kata. Ia tahu ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal menjaga seseorang yang bahkan sedang tak sadar.
Gabriel duduk di kursi luar ruangan, wajahnya terkubur di tangan. Theresa berdiri tak jauh darinya.
Tak lama, langkah tergesa dua orang lain bergema di lorong.
Sagara dan Hanan.
"Gio kenapa?" tanya Hanan, suaranya penuh kecemasan.
Gabriel hanya menjawab satu kata.
"Heat."
Kata itu cukup untuk membuat Hanan membeku. Matanya bertemu dengan Sagara. Ada percakapan yang tak terdengar di antaranya. Tapi pada akhirnya, Hanan menarik ponsel dan mengirim pesan diam-diam.
Bawa Gabriel pulang.
Sekarang.
Udara dingin menyentuh kulit tengkuk Giovanni saat kesadarannya perlahan kembali. Cahaya redup dari lampu dinding menusuk pelupuk matanya, dan aroma antiseptik memenuhi udara.
Matanya masih buram, tapi dia bisa mendengar detak jantung mesin monitor... dan napasnya sendiri yang belum teratur.
Ia tahu. Tubuhnya tahu.
Heat.
Lagi.
Ia memejamkan mata lebih lama. Mencoba menyatukan ingatannya: percakapan grup, jadwal Miciela, lokasi pemotretan, lalu mobil, parfum alpha... lalu semuanya gelap. Dia ingat pusing. Ingat keringat dingin. Ingat tangan Miciela yang mencoba menopangnya.
Dan setelah itu? Samar. Tapi...
Suara Gabriel.
Apakah itu nyata, atau hanya bagian dari ilusinya?
Giovanni berusaha bangkit, tapi lengan kirinya berat. Ada infus terpasang, dan tubuhnya menggigil meski suhu ruangan stabil. Ia menoleh perlahan, hanya untuk menemukan ruangan itu kosong. Tidak ada Hanan, tidak ada Miciela.
Tidak ada Gabriel.
Ia mencoba meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil di sisi tempat tidur. Ada dua puluh lebih pesan belum dibaca, beberapa panggilan tak terjawab, dan satu grup yang kini sunyi.
Grup The Omegas.
Gugup, Giovanni membuka notifikasi satu per satu. Semuanya tentang dirinya. Dan... tentang insiden yang terjadi setelah ia pingsan.
Miciela dan Theresa—tidak bisa dihubungi. Ada pelanggaran kontrak. Ada investigasi. Ada evaluasi. Semua tentang hal yang bahkan tidak dia sadari terjadi.
Pandangannya mengabur, bukan karena lelah, tapi karena dadanya kembali sesak. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa ia tak bisa sekadar menjadi orang biasa yang tak menyulitkan siapa-siapa?
Pintu diketuk pelan.
Giovanni buru-buru menghapus jejak air di matanya.
Hanan masuk dengan wajah hati-hati, diikuti oleh Melody. Mereka tampak lelah, tapi lega melihat Giovanni terjaga.
"You're awake," ucap Melody pelan.
Giovanni mencoba tersenyum. "How long was I out?"
"Five hours," jawab Hanan, duduk di sisi kasur. "Heat shock. Mild dehydration."
Giovanni menunduk. "Maaf."
"Bukan salah lo." Hanan menghela napas. "Tapi setelah ini, ada yang harus dibahas."
Melody menatap Hanan sejenak, lalu bergeser mendekat ke sisi kasur Giovanni.
"Theresa... dan Miciela, mereka pergi setelah insiden di luar ruangan ini. Theresa mengantar Miciela. Tapi... mereka melanggar klausul kontrak."
Giovanni menegang. "Apa?"
Hanan mengangguk. "Theresa membawa Miciela keluar. Dan sekarang mereka... hilang kontak."
"Gabriel?"
"Sudah pulang. Hanan yang maksa," jawab Melody, pelan. "Dia... kehilangan kendali. Untuk pertama kalinya."
Giovanni terdiam. Banyak hal yang ingin ia katakan. Banyak hal yang ingin ia dengar. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk emosi yang meledak.
"Besok kita akan rapat. Internal The Omegas. Termasuk pembahasan soal kamu. Kamu tetap di sini malam ini. Jangan pikirin yang lain dulu."
Hanan mengelus kepala Giovanni pelan. Melody mengambil ponsel Giovanni dari genggamannya dan meletakkan kembali di meja.
"Kamu selamat, Gio. Dan itu udah cukup."
Untuk sekarang.
Yang hilang mungkin bisa ditemukan. Tapi yang hancur... belum tentu bisa diselamatkan.
.
.
.
.
To be continued...
BINABASA MO ANG
Red Strings
FanfictionMereka pernah saling memiliki-hingga keadaan memisahkan. Kini, Giovanni terpaksa kembali berhadapan dengan masa lalu yang belum sepenuhnya padam. Bukan karena rindu. Tapi karena situasi. Dan meski ia mencoba menolak, ada benang merah tak terlihat ya...
CHAPTER 5: The Thread Between Duty and Desire
Magsimula sa umpisa
