Panggung

442 22 0
                                        

Langit sore berubah jingga saat Aqeela berdiri di depan cermin, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tak juga reda. Di balik kostum bernuansa biru muda dan riasan yang sengaja dibuat natural, ada jantung yang berdetak terlalu cepat, tangan yang sedikit gemetar, dan suara dalam kepalanya yang tak henti bertanya,

Apa aku cukup?”

Di balik layar aula sekolah yang telah disulap menjadi arena kompetisi, para peserta tampak sibuk mempersiapkan diri. Beberapa melakukan vocal warm-up, lainnya mengulang koreografi. Suara tawa, bisik-bisik penuh tekanan, dan irama latihan bercampur menjadi satu atmosfer yang mendidihkan udara.

Zara menghampiri Aqeela dengan botol air mineral di tangan. “Minum dulu, dan jangan pikirin yang aneh-aneh oke?”

Aqeela mengangguk pelan. “Thanks, Za.”

Zara tersenyum lebar. “Ini kompetisi, bukan penghakiman. Kamu bukan tampil buat mereka yang gak suka kamu. Kamu tampil buat kamu sendiri. Buat kita semua yang percaya kamu bisa.”

Aqeela menatap mata Zara, lalu menarik napas panjang.

Dari kejauhan, terdengar MC mulai membuka acara.

Selamat datang di Harmony Star Competition tahun ini! Malam ini kita akan menyaksikan bakat-bakat terbaik dari sekolah kita! Jadi, beri tepuk tangan untuk para peserta!”

Tepuk tangan menggema, aula penuh. Cahaya lampu sorot mengarah ke panggung. Penonton duduk rapi di barisan kursi, beberapa berdiri di belakang. Guru-guru, siswa, dan bahkan orang tua murid turut hadir.

Aqeela berdiri di antrean belakang panggung, beberapa nomor sebelum gilirannya. Di panggung, satu persatu peserta tampil. Ada yang membuat penonton bersorak, ada juga yang meninggalkan keheningan canggung.

Tak jauh dari belakang aula, Harry berdiri tenang. Ia tidak duduk di antara penonton. Hoodie abu-abu tetap melekat, dan tangan kirinya menggenggam secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya lurus ke panggung, tapi pikirannya penuh pada satu nama, Aqeela.

Ia tau Aqeela berusaha lebih keras dari siapa pun. Ia tau tekanan yang tidak terlihat. Dan di balik semua itu, Harry percaya, tidak ada yang bisa menghentikan cahaya Aqeela malam ini bahkan dirinya sendiri.

Sementara itu, Pop Diva duduk manis di barisan depan. Raisa dengan senyum percaya diri, Vicky sibuk dengan cermin kecilnya, dan Jolina memainkan ujung rambut. Mereka tampil terakhir sengaja mengambil posisi klimaks, seperti biasa.

“Mereka bahkan belum siap kalah” bisik Zara ke Aqeela.

Aqeela hanya mengangguk. Ia tak perlu mengalahkan mereka. Ia hanya perlu menjadi dirinya.

Tiba-tiba, namanya dipanggil.

“Peserta berikutnya : Aqeela Callista!”

Detik itu, suasana aula berubah. Beberapa mulai berbisik. Beberapa justru menyorotkan pandangan skeptis. Tapi Aqeela tidak melihat mereka, ia hanya melihat cahaya panggung dan langkah pertamanya menuju pembuktian.

Langkah demi langkah, ia berjalan menuju mikrofon. Lampu sorot menyambutnya. Musik mulai diputar. Bukan lagu pop penuh efek, melainkan nada lembut yang mengalun dengan lirik yang ditulisnya sendiri, tentang kehilangan, keberanian, dan harapan.

Aqeela menarik napas dalam-dalam, menenangkan hati yang berdebar. Senar suara mulai bergetar saat nada pertama keluar dari bibirnya. Lagu itu lembut, penuh perasaan, dan terasa seperti rahasia yang ia bisikkan pada dunia.

Setiap kata yang ia nyanyikan adalah cermin dari perjuangannya selama ini. Tentang rasa sepi yang kadang menyergapnya, tentang harapan yang tak pernah padam meski badai datang bertubi-tubi. Di balik setiap nada, ada keberanian yang tak mudah dimengerti orang lain.

Penonton yang tadinya ramai mulai terdiam. Zara yang duduk di barisan tengah mengusap tangan yang berkeringat, matanya membelalak, terpaku pada sahabatnya yang berdiri kuat di panggung.

Harry, dari sudut belakang, menggerakkan bibirnya mengikuti lirik, tapi matanya tak lepas dari sosok Aqeela. Dalam keheningan, ia merasa bangga sekaligus khawatir. Tapi malam ini, yang penting adalah Aqeela bisa bersinar.

Beberapa anggota Pop Diva yang tadinya sibuk berbicara dan tertawa, kini terdiam. Raisa menatap panggung dengan ekspresi sulit dibaca. Vicky dan Jolina juga mengubah posisi duduk, terlihat terpesona dan mungkin sedikit cemas.

Lagu itu mengalun sampai ke nada akhir, dan saat Aqeela menyelesaikan kalimat terakhir dengan nada lembut, aula meledak dengan tepuk tangan yang meriah. Suara sorak dan decak kagum memenuhi ruangan.

Aqeela tersenyum malu, tapi hatinya penuh. Ia tau ini baru awal, tapi sudah cukup membuatnya merasa dihargai.

Zara berlari menghampiri panggung setelah Aqeela turun. “Kamu luar biasa! Aku bangga banget sama kamu!”

Aqeela tertawa kecil, sedikit terharu. “Thanks, Za. Aku gak bisa sejauh ini kalau bukan karena kamu.”

Di sudut ruangan, Harry mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, hatinya menguatkan Aqeela tanpa harus mengatakan sepatah kata pun.

Di balik tirai, suasana mulai tegang menanti penampilan Pop Diva yang akan menjadi lawan terberat malam ini. Tapi untuk malam ini, Aqeela sudah menang di hatinya sendiri.

arrows & algorithmsWhere stories live. Discover now