Password yang tak terpecahkan

852 53 0
                                        

Pagi itu, langit Tirta Persada mendung. Udara terasa lembap, seperti menahan sesuatu yang belum meledak. Di dalam kelas, siswa-siswi mulai berdatangan satu per satu, membawa wajah ngantuk dan beban pr yang belum selesai. Tapi tidak dengan Aqeela.

Aqeela sudah duduk rapi sejak lima belas menit sebelum bel berbunyi. Rambutnya diikat setengah, wajahnya segar tanpa riasan berlebih. Ia memandangi layar ponsel, membalas satu chat dengan senyum kecil yang tidak bisa ia tahan.

Zara duduk di sampingnya, langsung mencondongkan tubuh begitu melihat ekspresi Aqeela.

“Chat dari siapa tuh?” tanyanya dengan nada penasaran.

Aqeela buru-buru mengunci layar. “Dari siapa aja boleh kan, ya?”

Zara menyipitkan mata.
“Qeela, kamu pasti lagi deket sama seseorang. Ngaku deh!”

Aqeela tertawa, menggeleng cepat.
“Gak, ini cuma chat biasa.”

Zara belum sempat membalas, ketika Raisa dan gengnya masuk ke kelas. Seperti biasa, mereka tampil mencolok, tas mewah, lip tint terbaru, dan aura superioritas yang selalu sengaja ditampilkan.

Raisa langsung menyapukan pandangan ke seluruh kelas, sebelum akhirnya matanya berhenti di satu titik. Tepat ke arah bangku Harry.

“Gue masih gak ngerti” bisik Raisa ke Jolina.

“Kenapa cowok kayak dia bisa satu kelas sama kita?”

“Dia pintar banget, Raisa” bisik Jolina balik.

“Jelek” Vicky menambahkan cepat.

Aqeela mendengar semuanya. Dan, tanpa alasan yang jelas, ada rasa tak nyaman mengendap di dadanya.

Sementara itu, Harry seperti biasa. Fokus ke laptop, tanpa peduli sekitarnya. Tapi kali ini, ada sesuatu di layar yang bukan tugas sekolah.

Teks berwarna hijau menyala terang di tengah layar gelap.

[Accessing: School DataBase > Class Schedules > Student Profiles]

Tangannya cepat mengetik kode, matanya fokus.

[Target: Aqeela C.]

Ia tidak sedang mengakses data pribadi Aqeela untuk alasan buruk. Justru sebaliknya, ia ingin memastikan bahwa tidak ada yang aneh. Tidak ada ancaman tersembunyi dari sistem sekolah yang bisa membahayakan Aqeela. Tapi ia tau, sekali saja ketahuan habislah dia.

“Harry!” suara guru masuk ke kelas menyadarkannya.

Harry menutup laptopnya cepat.
“Iya, Pak?”

Guru itu mengerutkan dahi.
“Tugas kelompok minggu ini, kamu satu kelompok dengan Aqeela dan Zara.”

Seisi kelas langsung bereaksi. Ada yang berbisik pelan, dan ada yang tertawa geli.

Zara menatap Aqeela dengan ekspresi syok.

“Kita satu kelompok sama dia?” bisiknya.

Aqeela tidak langsung menjawab. Matanya sudah lebih dulu bertemu pandangan Harry, hanya sekilas saja. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

Dan Harry, untuk pertama kalinya ia tersenyum pelan, satu sisi. Senyuman kecil yang hanya Aqeela yang bisa mengerti.

****

Begitu jam pelajaran usai, kelas langsung menjadi lautan suara. Beberapa siswa bergegas keluar, ada yang nongkrong di kantin, ada juga yang langsung pulang kerumah. Tapi Aqeela, Zara, dan Harry tetap tinggal.

Zara menatap daftar tugas yang diberikan guru tadi. “Ini tentang presentasi sejarah kolonial ya? kita bisa kerjain di rumah aku atau di rumah kamu, Qeela. Tapi bebas sih, asal jangan di tempat misterius.”

Tatapan Zara melayang sebentar ke arah Harry.

Aqeela tertawa. “Kenapa, takut sama aura nya?”

Zara menyipitkan mata. “Kamu yang bilang ya, bukan aku.”

Harry yang sedang menyusun buku pelan-pelan, akhirnya angkat bicara. Suaranya pelan dan berat, tapi terdengar jelas.

“Kalian bisa ngerjain di rumah siapa aja. Gue ikut online aja, gapapa.”

Aqeela menoleh. “Enggak, kita kan satu kelompok, jadi kamu harus ikut langsung.”

Zara menatap Aqeela cepat, lalu kembali ke Harry. “Iya, jangan aneh-aneh deh, kita tim. Kamu bisa ke rumah aku, atau rumah Qeela.”

Harry diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oke. Di rumah Zara aja, kalau boleh.”

Zara agak kaget. “O-oh, boleh sih.”

“Sabtu jam dua?” tanya Aqeela.

Harry mengangguk lagi. “Oke.”

Sebelum mereka sempat lanjut, suara sepatu berderap mendekat dari pintu kelas. Raisa berdiri di ambang pintu, tangan bersedekap dan ekspresi yang jelas-jelas sedang menganalisis keadaan.

“Oh, jadi kalian bertiga satu kelompok?”

Aqeela membalikkan badan.
“Ada yang bisa kami bantu, Raisa?”

Raisa melangkah masuk dengan anggun, diikuti Jolina dan Vicky. “Cuma lewat doang kok. Tapi menarik aja, trio tidak seimbang. Atlet, penari, dan programmer?”

Jolina tertawa pelan. “Iya, kayak game RPG, tapi yang satu karakternya error.”

Wajah Harry tidak berubah, seakan komentar itu cuma angin lalu. Tapi Aqeela mendekat selangkah ke depan mereka.

“Kami gak butuh validasi kalian untuk jadi kelompok yang solid. Dan kalau kalian cuma datang buat ngejek, mending kalian pergi dari sini.”

Raisa menyeringai. “Tenang, cuma bercanda. Tapi hati-hati ya, Aqeela. Jangan terlalu deket sama orang yang kamu gak kenal betul. Dunia ini penuh kejutan.”

Dengan itu, mereka pergi.

Zara menarik napas panjang.
“Gila, mereka kayak penjahat di drama Korea.”

Aqeela tidak menjawab. Ia melirik Harry yang kembali duduk, menatap layar laptop yang kini sudah menampilkan halaman tugas, bukan kode-kode gelap tadi.

Tapi dia tau, Harry tidak selempeng itu. Dan bukan tanpa alasan dia memilih duduk di pojok kelas, membatasi dirinya dari dunia luar.

Aqeela sadar, Harry menyimpan banyak rahasia. Tapi yang ia tidak tau adalah seberapa dalam rahasia itu menyangkut dirinya sendiri

arrows & algorithmsWhere stories live. Discover now