Diam yang menyimpan rasa

1.1K 58 0
                                        

Lampu gantung di kamar Aqeela berpendar lembut, menciptakan cahaya kekuningan yang menenangkan. Ia duduk bersila di atas tempat tidurnya, memandangi layar ponsel dengan jari-jari yang ragu. Di kepalanya, hari ini terasa seperti lembaran baru yang asing dan penuh teka-teki.

Ia sudah terbiasa disorot, terbiasa dipuji, terbiasa punya ruang aman, tapi di Sma Tirta Persada, semua itu seperti ditinggalkan di gerbang depan. Di sini, ia bukan siapa-siapa. Gadis baru yang hanya dikenal lewat gosip dan potret masa lalu sebagai atlet panahan.

Zara, teman lamanya yang kini jadi satu-satunya orang yang terasa dekat sudah lama offline.

Aqeela membuka aplikasi pesan, membuka ruang obrolan yang tidak pernah dibuka siapa pun.

Aqeela: “Kamu udah tidur?”

P

esan terkirim. Hening sebentar, lalu layar menyala.

Harry: “Belum, kamu kenapa?”

Senyum kecil muncul di wajah Aqeela. Hanya kepada orang ini ia bisa menanggalkan topengnya. Bukan Aqeela si pemanah jenius, bukan Aqeela anak orang kaya, dan bukan Aqeela yang harus sempurna.

Aqeela: “Hari ini aneh, semua orang   kayak punya topeng, bahkan aku.”

Harry: “Karena dunia suka melihat topeng, bukan wajah.”

Aqeela: “Tapi kamu enggak.”

H

ening sejenak. Ia tahu Harry pasti sedang mengetik sesuatu, menghapusnya, lalu mengetik ulang. Begitulah dia. Diam, teliti, dan selalu berpikir panjang.

Harry: “Aku bisa jadi topeng juga, kalau     kamu minta.”

Aqeela: “Aku gak mau topeng,
aku mau kamu.”


Detik berikutnya, ada ketukan pelan di jendela kamar Aqeela.

Matanya membesar, ia tau itu siapa.

Dengan langkah cepat tapi tenang, ia membuka jendela. Harry berdiri di luar, mengenakan hoodie hitam dan ransel kecil di bahunya. Kacamatanya sedikit turun, dan senyumnya nyaris tak terlihat dalam gelap.

“Kamu serius banget waktu bilang kamu gak tidur” bisik Aqeela sambil tersenyum.

“Aku selalu serius kalo soal kamu” jawab Harry pelan.

Mereka tidak berpelukan, tidak menyentuh, tidak seperti pasangan biasa. Karena hubungan mereka bukan untuk dilihat siapa pun. Dunia belum siap. Teman-teman mereka belum siap. Bahkan mungkin, mereka sendiri belum siap untuk membuka semuanya.

Tapi malam ini, di bawah cahaya rembulan dan suara nyamuk yang bersahutan, mereka hanya ingin menikmati keheningan bersama.

“Aku pengen kita kayak gini terus” bisik Aqeela, duduk di tepi jendela.

Harry duduk di luar, punggungnya bersandar di tembok.

“Kita bisa” ucapnya. “Asal kita tahan semua bisikannya nanti.”

Aqeela menatap wajah Harry. Cahaya dari dalam kamarnya memantul samar di jendela, membuat bayangan mereka tampak menyatu dalam diam. Hatinya tenang, tenang dengan cara yang tidak bisa diberikan siapa pun kecuali Harry.

“Besok..” Aqeela menggantungkan ucapannya.

“Besok kita pura-pura gak saling kenal lagi” sambung Harry, senyumnya tipis.

Ia mengangguk pelan, meski dalam hati ia membenci bagian itu. Tapi mereka sudah terbiasa. Saling menyapa lewat kode, berpura-pura sibuk saat berselisih, dan saling menatap diam-diam dari kejauhan.

Hubungan mereka bukan karena mereka takut, tapi karena mereka tau tidak semua orang paham bahwa cinta kadang lebih aman disembunyikan.

“Aku harus balik” kata Harry akhirnya, berdiri sambil merapikan ranselnya.

Aqeela menahan suara napas.
“Jangan lupa kirim lagu baru itu ya.”

Harry mengangguk. Ia memang sering mengirim lagu-lagu instrumental buat Aqeela sebelum tidur, tenang, dalam, dan hanya mereka yang tahu maknanya.

Setelah Harry menghilang di balik bayangan taman, Aqeela kembali ke tempat tidurnya, ponselnya bergetar.

Harry: “Selamat tidur, Aqeela.”

Ia membalas cepat.

Aqeela: “Kamu juga, jangan mikirin hal aneh malam ini.”

Harry: “Terlambat, aku udah mikirin kamu dari tadi sore.”

Aqeela tersenyum kecil, lalu mematikan lampu kamar.

Dan seperti biasa, malam ini ia tidur dengan lagu dari Harry di telinganya, dan rasa tenang yang tidak bisa dijelaskan pada siapa pun.

****

P

agi berikutnya

Cahaya matahari menembus tirai jendela, membangunkan Aqeela dari tidur nyenyaknya. Ia membuka mata perlahan, lalu teringat hari ini hari kedua sekolah. Hari yang katanya masih "pengantar", tapi semua tauu kalau Pop Diva mulai menilai siapa yang layak jadi bahan gosip, dan siapa yang bisa jadi ancaman.

Di kantin, Aqeela duduk berdua dengan Zara. Obrolan mereka ringan, sampai suara khas Raisa dan gengnya terdengar makin dekat.

“Liat deh” gumam Raisa pelan tapi sengaja dibuat bisa didengar.

“Baru juga masuk, udah kayak mau ngalahin siapa aja.”

Vicky dan Jolina cekikikan.

Zara melirik Aqeela “Kamu sabar ya,  geng Pop Diva tuh emang tukang cari musuh.”

Aqeela hanya mengangkat alis, lalu tersenyum tipis.
“Aku gak punya waktu buat musuh. Tapi kalau mereka nyari masalah ya kita liat aja nanti.”

Harry duduk beberapa meja dari mereka. Matanya sempat bertemu dengan Aqeela sepersekian detik, tapi dengan cepat ia menunduk lagi, membuka laptopnya dan tenggelam dalam layar.

Zara, yang duduk di samping Aqeela, mengikuti arah pandang temannya dan tersenyum kecil.
“Cowok itu menarik, ya?”

Aqeela pura-pura mengaduk jusnya. “Siapa?”

“Harry.”

Aqeela tertawa pendek.
“Zar, kamu mulai aneh.”

Tapi dalam hati, ia tahu. Dunia mereka berdua akan mulai rumit karena semakin banyak mata yang memperhatikan, semakin sulit menjaga rahasia tetap tersembunyi.

arrows & algorithmsWhere stories live. Discover now