Malam sebelum Halloween, Aerith melangkah masuk ke taman hiburan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah tempat yang kini menjadi panggung bagi permainan paling kejam yang hanya diketahui segelintir orang. Permainan itu disebut The Hunt, digelar setahu...
"Minum atau mati," ucapnya lagi. Kali ini, nada suaranya terdengar sabar—terlalu sabar, seperti ia menikmati ketakutanku.
"Aku mohon..." bisikku, air mata kembali mengalir deras.
Tapi jawabannya hanya tawa.
Mereka menahan tanganku, memaksaku duduk, lalu membuka paksa mulutku. Cairan itu dituang sedikit, dan aku segera memuntahkannya. Pahit, asam, menjijikkan. Aku ingin mati. Aku benar-benar ingin mati saat itu juga.
Dan mereka tertawa.
Tawa mereka menggema di antara tangisanku yang putus asa.
Salah satu dari mereka tiba-tiba menarik rambutku dengan keras dari belakang. Aku menjerit, tak lagi peduli seberapa menyedihkan aku terdengar. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sepasang gunting besi berkarat.
"Rambutmu cantik sekali," bisiknya. "Sayang kalau nggak kita ambil juga."
Aku menggeleng panik, mencoba menepis, tapi tangan-tangan itu kembali mencengkeram tubuhku. Aku meronta, memohon, menggigit, bahkan menendang sebisa mungkin, tapi aku terlalu lemah… dan mereka terlalu kuat.
"Jangan!" jeritku. "Tolong… itu satu-satunya yang tersisa dariku… tolong..."
Gunting itu dibuka dan ditutup perlahan, mendekati ujung rambutku. Helai-helai perak yang dulu kusukai mulai jatuh ke lantai.
Aku terisak, bukan hanya karena sakitnya—tapi karena mereka sedang menghancurkan apa pun yang membuatku tetap merasa seperti manusia.
Dan dalam keping kecil kesadaran yang tersisa, aku hanya mampu berbisik lirih ke dalam hati:
"Kalau memang ada Tuhan… di mana Kau sekarang?"
"Apa aku seburuk itu sampai Kau biarkan aku hancur seperti ini?"
"Apa Kau tak pernah mencintaiku… bahkan sedikit saja?"
Mereka terus mencabik sisa-sisa martabatku seperti tak ada artinya.
Aku terbaring di lantai dingin dan basah, rambutku sudah tak beraturan—helai-helai panjang yang dulu sering disisir ibuku setiap pagi, kini tercecer seperti sisa-sisa kenangan yang dibuang. Mereka masih mengitari tubuhku seperti serigala lapar yang belum puas meski telah merobek habis mangsanya.
Tubuhku gemetar. Dingin. Perih. Penuh luka. Tapi entah mengapa rasa sakit fisik mulai terasa jauh… seperti tubuhku perlahan menolak untuk merasakan apa pun lagi.
Mereka memaksaku duduk. Seorang dari mereka menyodorkan botol berisi cairan menjijikkan itu lagi. Aku menoleh, memalingkan wajah, tapi sebuah tinju menghantam rahangku keras.
Darah terasa hangat di lidahku.
Aku tak menangis lagi.
Air mataku telah habis, hanya tertinggal sesak di dada dan kehampaan yang sulit dijelaskan. Mereka mengancam akan menyiramkan cairan itu ke seluruh tubuhku kalau aku tak menuruti, tapi aku sudah tak peduli. Rasanya... aku ingin tubuhku mati saja. Aku ingin jiwaku lari dan tidak pernah kembali.
Aku ingin menjadi siapa pun, apa pun… asal bukan aku.
Di tengah siksaan itu, pikiranku mulai melayang. Suara-suara mereka memudar, tergantikan oleh tawa-tawa lain—tawa Claire yang khas dan ceria, suara Lana yang sinis tapi penuh perhatian, dan senyum hangat Blair saat kami duduk di taman belakang rumah, menikmati es teh dan membicarakan hal-hal remeh.
Aku bisa melihatnya begitu jelas.
Kami tertawa bersama. Aku mengenakan gaun musim panas berwarna putih, rambutku dikepang dua oleh kakakku, Ashpen. Ibu memanggilku dari dapur, menyuruhku masuk karena hari mulai senja. Semuanya terasa begitu nyata… begitu damai.
"Kenapa semuanya harus berubah?" tanyaku dalam hati.
"Apa aku terlalu bahagia saat itu sampai Tuhan memutuskan untuk mengambil semuanya dariku?"
Air mata kembali mengalir, bukan karena rasa sakit, tapi karena kerinduan yang menusuk.
"Apa aku belum cukup berdoa?"
"Apa aku belum cukup menjadi anak yang baik? Teman yang baik? Perempuan yang baik?"
"Kalau begitu... untuk apa aku hidup?"
Tangan seseorang kembali mencengkeramku. Bau busuk mereka memenuhi udara. Aku merasa mual. Tapi aku tak lagi melawan. Kepalaku terkulai. Dunia mulai berputar. Suara-suara itu semakin jauh.
"Kalau aku mati malam ini… akankah seseorang mencariku?"
"Akankah seseorang merindukanku?"
"Atau… apakah aku benar-benar sendirian?"
Aku bisa merasakan tubuhku perlahan menyerah. Dunia menjadi semakin gelap. Suara-suara mereka memudar menjadi gumaman tak berarti. Bahkan rasa sakit pun mulai menghilang, digantikan kehampaan. Mungkin... ini saatnya.
Mungkin... aku akhirnya bebas.
Namun, di antara kabut itu, samar, aku mendengar sesuatu.
Sebuah suara.
Lelaki.
Lembut, namun tegas. Terdengar jauh… seperti dibisikkan dari mimpi yang terlalu nyata.
"Aerith."
Aku tak yakin. Mungkin itu hanya halusinasiku. Mungkin itu bagian dari kepalaku yang menolak mati dalam diam.
"Jangan menyerah. Dengarkan aku."
Suara itu kembali. Lebih dekat.
"Tahan sedikit lagi. Aku akan menemukanmu."
Dadaku bergetar.
Bayangan wajahnya muncul dalam pikiranku—mata abu-abu yang dingin, tapi selalu menatapku seolah hanya aku yang ada di dunia. Bibirnya yang jarang tersenyum, kini terlihat mengucapkan namaku... lembut, penuh janji.
Kirigan.
Orang yang seharusnya kubenci sepenuh hati.
Tapi mengapa... hatiku mencarinya di antara kehancuran ini?
"Aku bersumpah. Aku akan datang. Sampai aku menemukanmu..."
Kalimat itu. Seolah-olah seluruh semesta membisikkan satu pesan:
"Until i found you."
"Until he found me"
Mataku yang nyaris tertutup kembali terbuka sedikit. Air dingin menetes dari rambutku. Napasku terengah, menyakitkan. Tapi aku masih hidup.
Aku masih hidup.
Karena di ujung penderitaan ini, entah benar atau tidak, aku ingin percaya bahwa ia datang. Bahwa ia benar-benar mencariku.
Dan aku... akan tetap bernapas, hanya agar bisa melihat apakah janjinya nyata.
. . . . . . . . . . . .
Gimana gimana buat part ini gimana? Ayo dong komen, gimana perasaan kalian selama baca ceritaku ini. Seneng tau bacain komenan kalian tuh bikin aku tambah semangat buat lanjutin. Aku pengen tau pendapat kalian dari awal kalian baca, karakter mana yang paling kalian suka? Jangan diem aja :(( mari berinteraksi ☺️. Kalo rame nanti malem aku lanjut posting lagi^^.
*Bonus nih foto aerith*
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.