Run, Little Rabbit, Run

39.7K 2.8K 13
                                        

Aku tidak bisa bergerak.

Mereka mengepungku seperti serigala mengelilingi mangsanya. Langkah-langkah berat mereka membentuk lingkaran, dan setiap mata yang menatapku mengandung kegembiraan yang dingin-bukan karena hasrat akan kemenangan, melainkan karena kekuasaan yang tak terbendung atas rasa takutku.

"Apa kita berbagi saja yang satu ini?" tanya salah satu dari mereka, bersuara parau dan bercanda seolah aku bukan manusia, hanya bagian dari permainan.

"Lucu juga kalau kita rebutkan," jawab yang lain sambil terkekeh. "Lihat dia. Gemetar seperti anak rusa."

Aku menatap mereka satu per satu-topeng-topeng yang mereka pakai beragam bentuk: ada yang seperti serigala tertawa, ada yang menyerupai wajah manusia dengan senyum yang terlalu lebar, dan satu lagi... hanya topeng putih polos, tapi dengan mata kosong yang terasa seperti menembus kulitku.

Sebelum aku sempat menarik napas panjang, dentuman keras terdengar lagi dari pengeras suara di seluruh taman. Suara logam itu membuat tubuhku tersentak.

"Blair. Claire. Eliminated."

Jantungku seperti dihantam palu. Tidak. Tidak mungkin.

Kedua temanku... hilang. Sudah tertangkap.

Mulutku terbuka, tapi tidak ada suara keluar. Dunia seperti menyusut. Lantai di bawah kakiku terasa bergeser, dan satu-satunya yang bisa kurasakan adalah kepanikan yang merangkak naik dari dalam perutku seperti api dingin.

"Dua lagi," ucap salah satu pemburu, kali ini suaranya lebih pelan, lebih serius. "Itu berarti... sisa delapan."

"Malam ini lebih cepat dari tahun lalu. Tapi hei, tahukah kalian... Sang Predator akhirnya ikut berburu," gumam yang lainnya, kini dengan nada agak tegang.

Aku menoleh cepat. Siapa... sang predator?

"Yang bertopeng hitam itu?" tanya satu suara di belakangku.

"Ya. Yang tak pernah menyentuh satu pun buruan sejak acara ini dimulai. Dia hanya menonton. Selalu berdiri di tempat tertinggi. Tapi malam ini... dia turun."

Hening sejenak.

"Kenapa?"

"Entahlah... Mungkin ia melihat sesuatu yang... pantas untuk diburu."

Mereka semua melirik ke arahku.

Dunia terasa semakin sempit. Tenggorokanku kering, dan aku merasa seperti sedang dicekik oleh udara itu sendiri.

Lalu salah satu dari mereka tertawa pelan. "Kalian tahu aturan, kan? Tidak boleh ada perkelahian sesama pemburu. Tapi kalau kalian nekat mengklaim satu kelinci yang ternyata sudah ditandai oleh Sang Predator..."

Ia membiarkan kalimat itu menggantung.

Yang lain melanjutkan, suaranya dingin dan lambat, "Dia tidak akan mengampuni. Kau akan hilang dari daftar tahun depan, dan bukan karena kau kalah."

"Yang satu ini terlalu menarik untuk dikorbankan demi aturan," ujar pemburu terakhir, memiringkan kepala sambil menatapku dengan sorot yang menyakitkan.

Aku mundur setapak, tubuhku menggigil. Jika sebelumnya aku merasa menjadi buruan biasa, sekarang aku merasa seperti umpan... dalam perang antara serigala.

Dan yang paling menakutkan dari semuanya adalah: aku bahkan tidak tahu siapa yang sebenarnya lebih berbahaya. Para pemburu ini-atau Sang Predator yang hanya diam... dan menunggu.

Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Jantungku berdentum begitu keras hingga aku yakin mereka bisa mendengarnya. Mereka mulai berdebat-tentang aku. Dan dalam sesaat, hanya sesaat itu, aku melihat celah.

Satu langkah. Itu saja yang kubutuhkan.

Aku menyentak tubuhku ke belakang, menyambar kursi tua di dekatku dan melemparkannya ke arah salah satu dari mereka. Kursi itu hancur sebelum benar-benar mengenai siapa pun, tapi cukup untuk mengejutkan mereka.

Aku lari.

Sepatu putihku menghantam lantai kayu yang lapuk, menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga. Aku menabrak tirai debu, membelok ke lorong gelap yang penuh dengan pajangan mainan rusak-badut tanpa mata, boneka beruang dengan moncong sobek.

"Minggir!" teriak salah satu pemburu di belakangku. Suara langkah mereka mengikuti. Banyak.

Aku tidak berani menoleh.

Lorong itu menyempit, tapi aku terus berlari. Tanganku menepis jaring laba-laba, bahuku membentur rak mainan. Nafasku terputus-putus, panas, tapi aku tak boleh berhenti. Tidak sekarang.

Sampai akhirnya aku melihatnya-sebuah pintu kecil dengan tanda lusuh bertuliskan: STAFF ONLY.

Tanpa berpikir panjang, aku menerjang pintu itu dan menguncinya dari dalam. Gelap. Hanya cahaya dari ponselku yang ku genggam erat di tangan. Aku mundur perlahan, merapat ke dinding, mencoba menahan napas.

Langkah-langkah mereka berhenti di luar pintu.

"Dia masuk ke sini," gumam salah satu dari mereka.

"Tapi ruangannya kecil. Tidak ada jalan keluar. Kita tunggu saja."

Aku menutup mulut dengan tangan, mencoba menahan suara isakan. Kakiku gemetar, tubuhku basah oleh keringat. Di luar sana, mereka menungguku seperti anjing penjaga.

Dan aku, seekor kelinci... terperangkap.

Aku tengadah. "Tuhan... tolong aku..."

Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.

Lana: Aku masih aman. Di zona rollercoaster. Claire? Blair? Kalian di mana?

Aku menatap layar itu lama. Jari-jariku gemetar saat aku membalas:

Aku: Claire dan Blair... sudah tertangkap. Aku dikepung... Aku tidak tahu berapa lama bisa bertahan.

Dentuman dari pengeras suara terdengar lagi. Aku tersentak.

"Delapan kelinci tersisa."

Mereka... tinggal delapan. Dari dua puluh.

Dan aku mungkin akan menjadi yang selanjutnya jika tidak segera menemukan jalan keluar.

Kupeluk diriku sendiri, mencoba berpikir. Di tengah gelap dan pengapnya ruang sempit ini, hanya ada satu hal yang kutahu pasti-

Aku harus tetap hidup. Apa pun caranya.

UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]Where stories live. Discover now