Tubuhku terasa nyeri. Terlalu nyeri hingga tak dapat lagi kugambarkan dengan kata-kata. Rasanya seolah aku bukan lagi manusia. Segala hal yang membentuk diriku—harga diri, kesadaran, bahkan jiwaku—telah dihancurkan, dikoyak, dan dibuang begitu saja.
Aku menggigil. Suara-suara kasar mereka masih bergema dalam benakku. Sentuhan yang kasar, tarikan, jambakan, genggaman yang menahan paksa—semuanya masih terekam jelas di kulitku. Mereka mungkin telah pergi. Atau mungkin… aku yang telah pergi, meninggalkan tubuh ini. Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku tidak bisa merasakan apapun. Tapi pikiranku masih bekerja.
Dan dalam pikiranku, aku berteriak.
"Mengapa?"
Aku sungguh tak mengerti.
Mengapa aku?
Apa salahku?
Apakah aku pernah menyakiti seseorang hingga aku pantas menerima semua ini?
Aku memejamkan mata, berharap semuanya akan berakhir. Namun yang datang justru rentetan pertanyaan. Mengapa, Tuhan? Mengapa aku harus mengalami semua ini?
Apakah aku kurang baik?
Kurang banyak berdoa?
Kurang bersyukur?
Padahal aku selalu berusaha menjadi orang yang baik. Aku tidak pernah menyakiti siapa pun. Aku peduli pada orang lain, aku mencintai sahabat-sahabatku, dan aku percaya pada cinta. Pada ketulusan.
Namun kini, semua itu justru menjadi pisau yang menancap di dadaku sendiri.
Kirigan… dia adalah orang pertama yang membuatku jatuh hati. Tapi juga yang pertama membakarku habis-habisan, tanpa sisa.
Aku percaya padanya. Kupikir, mungkin—hanya mungkin—dia bisa menjadi tempatku pulang. Nyatanya, aku hanyalah permainan baginya. Sekadar objek. Sesuatu yang bisa dipermainkan, lalu dibuang. Dan saat aku hancur, dia hanya menyaksikan.
Aku membencinya. Tapi yang lebih menyakitkan, aku membenci diriku sendiri karena... masih berharap padanya.
Tubuhku menggigil semakin hebat. Bukan hanya karena dingin. Tapi karena rasa takut. Rasa takut yang sangat dalam.
Aku takut tak akan pernah bisa kembali menjadi diriku yang dahulu.
Lalu tiba-tiba semuanya memudar. Lembut. Seolah aku tenggelam dalam lautan hangat yang perlahan menenggelamkan kesadaranku.
Aku mendengar tawa.
Kemudian cahaya.
Aku melihat diriku duduk di atas rumput bersama Claire, Blair, dan Lana. Kami bercanda, melempar popcorn, tertawa tanpa beban. Claire menjatuhkan minuman dan panik luar biasa. Blair mengeluh karena bajunya terkena noda. Sementara Lana tertawa terbahak, mengejek keduanya.
Dan aku…
Aku di tengah-tengah mereka, tertawa hingga mataku berair.
Dulu aku memiliki itu—kebahagiaan sederhana yang tulus.
Lalu suara ibu muncul dalam ingatanku.
"Aerith, makan dulu, sayang. Kak Ash sudah menunggu."
Air mataku jatuh perlahan di dunia nyata, namun aku tak mampu mengangkat tangan untuk mengusapnya.
Ashpen hadir dalam pikiranku—senyumnya yang menenangkan, pelukannya saat aku takut tidur sendirian, caranya selalu melindungiku dari dunia yang kejam.
Aku merindukan mereka.
Sangat merindukan.
"Ibu… Kak Ash…" bisikku lirih. “Mengapa kalian pergi meninggalkanku? Mengapa aku harus sendirian di tempat sekejam ini?”
VOUS LISEZ
UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]
Roman d'amourMalam sebelum Halloween, Aerith melangkah masuk ke taman hiburan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah tempat yang kini menjadi panggung bagi permainan paling kejam yang hanya diketahui segelintir orang. Permainan itu disebut The Hunt, digelar setahu...
![UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]](https://img.wattpad.com/cover/392977195-64-k656136.jpg)