Kursi kereta ini dingin, sama seperti suasana hatiku.
Aku duduk di dekat jendela, memeluk lutut dan memandang ke luar dengan tatapan kosong. Pemandangan Beldam Heights mulai menghilang, ditelan hutan dan kabut. Rasanya aneh—meninggalkan kota yang selama ini kusebut rumah, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal pada siapa pun. Bahkan pada Claire dan Blair. Semuanya terlalu cepat. Terlalu tiba-tiba.
Kereta bergetar pelan saat melewati rel tua. Suara roda besi menggerus besi seperti napas panjang dari dunia lain. Aku sendirian. Tidak ada Lana. Tidak ada siapa-siapa. Hanya koper kecil di sampingku dan surat dari ayahku yang masih kusimpan di saku jaket.
"Ada yang memburumu, Aerith. Dia bukan orang biasa. Kau harus pergi sebelum semuanya terlambat."
Aku tahu siapa yang dimaksud. Sosok itu masih terukir di ingatanku seperti cap bakar. Mata abu-abu itu. Suara baritonnya. Sentuhan dingin di bibirku—dan ancamannya, yang tak akan pernah kulupakan.
Kupalingkan wajah dari jendela. Aku merasa dia di luar sana. Di balik pepohonan. Di antara bayangan. Mengikuti... menungguku.
Beberapa kali aku yakin melihat sesuatu dari sudut mata. Siluet seseorang berdiri di tengah hutan, hanya beberapa detik, lalu hilang begitu saja. Aku bahkan pernah menahan napas terlalu lama, berpikir mungkin hanya halusinasiku sendiri. Tapi instingku berkata sebaliknya.
Ada yang mengikutiku.
Aku mengusap tengkukku yang mendadak basah oleh keringat dingin. Tak ada suara selain deru kereta dan sesekali batuk dari penumpang lain. Aku ingin menghubungi Lana, ingin mendengar suaranya, tapi aku terlalu lelah. Dan aku takut... kalau dia mengangkat, aku akan langsung menangis.
Aku menunduk, menatap tanganku sendiri. Tangan yang dulu punya tato bulan sabit di nadi. Sekarang bersih, seolah semuanya tak pernah terjadi. Tapi aku tahu. Aku tahu itu nyata. Ikatan itu nyata.
Dia tidak akan berhenti.
Aku menggigit bibir bawahku dan memejamkan mata. Mencoba tidur. Tapi bahkan dalam kegelapan, aku merasa dia ada di dekatku. Seperti bayangan yang duduk diam di kursi seberang, menatapku tanpa suara.
Aku sendirian di kereta ini. Tapi aku juga tidak.
Saat kereta akhirnya tiba di Portland, hujan ringan menyambutku bersama kabut yang menggantung rendah di antara pepohonan tinggi. Langit kelabu seperti kanvas kelam yang membentang luas di atas kepalaku—menghapus semua warna, kecuali bayangan-bayangan dalam pikiranku yang tak kunjung pergi.
Aku turun dengan langkah berat, menggenggam erat koper kecilku, satu-satunya barang yang sempat kubawa. Udara Portland terasa basah dan dingin, menusuk sampai ke tulang. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menetralisir detak jantungku yang belum juga tenang sejak meninggalkan Beldam Heights.
Pamanku, Sasha, sudah menunggu di depan stasiun. Tubuhnya masih tegap seperti yang kuingat terakhir kali bertemu saat aku masih remaja. Rambutnya sudah dipenuhi uban, tapi tatapan matanya tajam dan tenang—tatapan seorang mantan tentara yang tahu cara membaca bahaya sebelum datang.
Kami hampir tak bicara di perjalanan menuju rumahnya. Tapi aku merasa aman, walau hanya sedikit. Mobilnya melewati jalanan kecil yang dibatasi hutan-hutan cemara dan kabut tipis. Jalanan licin dan sunyi, seolah membawa aku ke tempat lain yang bukan bagian dari dunia nyata.
Rumahnya tersembunyi di balik rimbun pohon pinus—bangunan dua lantai dari kayu cedar gelap dengan banyak jendela besar yang memantulkan cahaya abu-abu langit Portland. Rumah itu seperti bagian dari alam, tenang dan asing sekaligus. Sangat mirip seperti rumah keluarga Cullen di film Twilight.
Saat memasuki rumah, aroma kayu dan kopi hitam menyambutku. Hangat tapi asing. Aku berdiri di tengah ruang tamu, membiarkan pandanganku menyapu jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke hutan. Sesuatu tentang tempat ini membuat dadaku sesak—mungkin karena terlalu jauh dari rumah, atau karena aku tahu… aku datang bukan untuk tinggal. Tapi untuk bersembunyi.
Pamanku akhirnya bersuara, suaranya dalam dan pelan.
“Di sini kau aman, Aerith. Tapi kalau kau memang sedang diburu… kita harus siap.”
Aku cuma mengangguk, tapi dalam hati aku tahu…
Bayangan itu belum benar-benar hilang. Di sepanjang perjalanan tadi, aku merasa diikuti. Bukan suara atau sosok. Tapi getaran. Aura. Dan sekarang pun, berdiri di rumah asing ini, aku masih bisa merasakannya. Seolah sesuatu… atau seseorang… sedang mendekat.
Aku mengikuti pamanku menaiki tangga kayu yang sedikit berderit, menuju kamar yang katanya sudah ia siapkan untukku sejak ayahku menelepon semalam. Lantainya mengeluarkan suara halus saat aku melangkah, dan udara di dalam rumah terasa dingin—berbeda dengan aroma kayu manis dan vanilla yang samar dari lilin aromaterapi di ruang tamu tadi. Di luar jendela besar yang membentang dari lantai ke langit-langit, aku bisa melihat pohon-pohon gelap dan hutan yang seolah tak berujung. Kabut menggantung di sela-sela batang pohon, tebal dan berat, seakan menyimpan rahasia.
Kamar itu luas dan sunyi. Dinding-dindingnya berwarna krem pucat dengan rak buku kosong di sudut, dan tempat tidur kayu berseprei abu-abu lembut di bawah langit-langit miring. Di sisi kanan, sebuah meja kerja kayu tua berdiri menghadap ke jendela lebar. Ada ketenangan di sana… tapi juga kehampaan. Aku menaruh tasku di atas ranjang, lalu duduk perlahan.
Paman Sasha bersandar di ambang pintu. “Tempat ini agak sepi, tapi aku yakin kau akan terbiasa. Kamar itu dulu milik ibumu waktu dia remaja.”
Aku menoleh pelan. “Apa Paman tahu?” Suaraku pelan, nyaris berbisik. “Soal... The Hunt? Soal pria itu… yang mengejarku.”
Dia terdiam sejenak, sebelum melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Suaranya berubah lebih rendah, lebih berat.
“Ya,” katanya. “Aku tahu.”
Aku menatapnya, merasa jantungku mencelos. “Kenapa? Kenapa Ayah tahu semua ini? Dia bilang aku harus pergi. Sembunyi. Dia... dia bahkan menyuruhku mengubah penampilanku kalau perlu. Apa sebenarnya yang terjadi?”
Pamanku berjalan ke jendela, membuka tirai lebar-lebar dan menatap hutan. Raut wajahnya kaku.
“Ayahmu, James... dia bukan orang sembarangan di Beldam Heights. Dulu, sebelum kau lahir, dia pernah... terlibat dalam sebuah kelompok. Sebuah kultus. Dia pikir itu hanya permainan kekuasaan dan uang. Tapi seiring waktu, dia sadar... mereka menyembah sesuatu yang lebih gelap dari sekadar ambisi.”
Aku membeku.
“Dan pria yang mengejarmu,” lanjutnya, “aku yakin dia bagian dari itu. Atau lebih buruk, dia pemimpinnya sekarang. Ayahmu melihat tanda-tandanya. Dia tahu kau jadi target.”
Aku menelan ludah. Tenggorokanku kering. “Kenapa aku?”
“Karna itu harga yang harus ayahmu bayar atas semua yang telah dia terima selama ini. Saat seseorang berhenti dari lingkaran mereka, janji yang telah di buat harus tetap di tepati. Darah dari keturunannya harus masuk menggantikannya, ayahmu punya dua orang putri, entah kenapa mereka memilihmu”
Aku terdiam. Rasanya seperti seluruh duniaku berubah jadi kerangka usang—retak, rapuh, nyaris runtuh. Aku menunduk, menatap kedua tanganku yang bergetar.
“Paman,” bisikku, “aku takut.”
Dia berjalan mendekat dan meletakkan tangan hangatnya di bahuku.
“Aku tahu,” katanya. “Tapi aku juga tahu kau lebih kuat dari yang kau pikirkan. Di sini, kau aman. Tapi kita harus siap.”
Aku mengangguk perlahan, menahan air mata yang mulai menggenang lagi. Malam itu, aku duduk di kursi di depan jendela kamar. Lampu dimatikan. Hanya bayangan pohon-pohon tinggi dan kabut di luar yang menemani. Tapi hatiku tahu—bahkan sejauh ini dari Beldam Heights, aku belum benar-benar bebas.
Aku masih bisa merasakan tatapan itu.
Sesuatu… atau seseorang… masih mengikutiku.
YOU ARE READING
UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]
RomanceMalam sebelum Halloween, Aerith melangkah masuk ke taman hiburan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah tempat yang kini menjadi panggung bagi permainan paling kejam yang hanya diketahui segelintir orang. Permainan itu disebut The Hunt, digelar setahu...
![UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]](https://img.wattpad.com/cover/392977195-64-k656136.jpg)