The Fading Mark

31.5K 1.9K 31
                                        

Sudah hampir dua minggu sejak malam itu.

Hidupku berjalan normal-atau setidaknya terlihat seperti itu. Tidak ada lagi mimpi aneh. Tidak ada suara-suara dalam gelap. Teman-temanku kembali seperti biasa, dan aku pun mulai percaya bahwa semua itu mungkin hanya bagian dari pesta Halloween yang terlalu dramatis. Aku bahkan mulai meragukan ingatan-ingatan itu sendiri.

Tatapan mata itu... suara bariton yang berbisik di telingaku... mungkin hanya rekaman mimpi buruk yang dibuat oleh kepalaku sendiri.

Tattonya pun mulai memudar. Garis bulan sabit itu kini tampak samar, seolah terhapus perlahan oleh waktu. Hanya mata di tengahnya yang masih sedikit tampak, seperti enggan menghilang sepenuhnya. Aku sempat berpikir untuk menutupinya dengan concealer, tapi... entah kenapa, aku belum bisa melakukannya. Seolah, bagian dari diriku tak ingin itu hilang begitu saja.

Hari ini, kampusku tidak terlalu ramai. Cahaya matahari musim gugur menyusup masuk melalui jendela studio seni tempat aku duduk sekarang. Bau cat akrilik dan terpentin memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma kopi basi dari mug di meja belakang.

Aku sedang mengerjakan proyek akhirku-sebuah lukisan besar bertema "Refleksi Jiwa." Ironis, karena saat ini aku bahkan tidak yakin apa yang sebenarnya ada dalam jiwaku sendiri.

Kanvasku masih setengah jadi. Goresan-goresannya tajam, penuh warna biru gelap dan merah keunguan. Tanpa sadar, bentuk bulan sabit kecil muncul di sudut lukisan itu-aku bahkan tidak bermaksud menggambarnya, tapi tanganku bergerak sendiri. Mataku menatapnya lama. Ada sesuatu yang mengganggu, tapi aku tidak tahu apa.

"Aerith, kamu belum selesai juga?" suara dosenku memecah lamunanku. Ibu Marcellina, wanita paruh baya dengan rambut putih keperakan, berdiri di belakangku sambil menyipitkan mata ke arah lukisan.

"Belum, Bu," jawabku pelan.

"Warnanya kuat. Tapi kau seperti sedang menyembunyikan sesuatu di dalamnya."

Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa.

Beberapa temanku berjalan keluar ruangan, tertawa-tawa. Aku merasa... terpisah. Seperti pengamat dari balik kaca bening.

Aku mengemasi perlengkapan lukisanku dan keluar dari gedung studio. Langit sudah mulai berubah warna, menguning lembut. Daun-daun maple berjatuhan seperti hujan lambat.

Saat aku menyusuri koridor kampus, rasa itu datang lagi.

Rasa seperti diawasi.

Aku berhenti. Menoleh. Tak ada siapa-siapa.

Beberapa mahasiswa lewat di belakangku, tapi tak satu pun dari mereka menatapku. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada yang memperhatikanku lebih dari seharusnya.

Tapi perasaan itu tidak pergi.

Saat aku berjalan menuju halte untuk pulang, langkah kakiku terasa berat. Aku merasa... seseorang mengikuti dari kejauhan. Di balik pohon. Di balik bayangan gedung. Tapi setiap kali aku menoleh, yang kutemukan hanya angin dan dedaunan.

Sesampainya di rumah, pelayan menyambutku seperti biasa. Rumahku besar dan tenang, dinding-dindingnya dihiasi lukisan klasik, pencahayaan hangat, dan lantai kayu yang berderit pelan setiap kali dilangkahi.

"Ada surat untuk Nona di meja ruang baca," kata Lucia, pelayan paruh baya yang sudah mengurusku sejak kecil.

Aku mengangguk dan berjalan menuju ruang baca, jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya-entah kenapa.

Di atas meja kayu mahoni, tergeletak sebuah amplop putih tanpa nama pengirim. Tidak berat, hanya setipis selembar kertas biasa. Tapi perasaanku... tidak biasa.

UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]Where stories live. Discover now