Aku menatap bayanganku di cermin, mencoba menarik bagian atas kostum ini agar sedikit... yah, lebih tertutup. Tapi percuma. Kain putih ini terlalu tipis dan terlalu pas di tubuhku. Kostum kelinci ini mungkin lucu, tapi siapa pun yang mendesainnya pasti bukan tipe yang peduli kenyamanan.
“Serius, Aerith… kamu kelihatan cantik banget gila,” kata Blair dari balik bahunya sambil menyemprotkan parfum ke lehernya. “Kalau aku cowok, aku pasti ngejar kamu pertama.”
Aku tersenyum canggung, memutar tubuh ke samping untuk melihat penampilanku. Kaki panjangku terbuka oleh rok pendek yang seperti enggan menutupi apa pun. Telinga kelinci di kepalaku melambai pelan saat aku bergerak. Aku kelihatan seperti... korban.
“Aku nggak secantik itu, Blair,” kataku pelan.
Dia berbalik dan menatapku dari atas ke bawah. “Kamu sadar nggak sih? Kamu kayak tokoh utama di film horor yang semua orang bakal ingat cuma karena kamu terlalu cantik buat bertahan hidup.”
Aku tertawa kecil, meski bagian "bertahan hidup" itu membuat perutku sedikit bergejolak. Ini cuma permainan, kan? Halloween, taman hiburan terbengkalai, kostum, dan... petualangan. Seharusnya menyenangkan.
Tapi entah kenapa, jantungku berdetak terlalu cepat malam ini.
Begitu kami keluar dari apartemen, udara malam langsung menyambut dengan hembusan dingin yang tajam. Jalanan kota dipenuhi manusia dalam kostum, tawa dan suara musik menghiasi sepanjang trotoar. Lampu-lampu oranye dan ungu menggantung di sepanjang jalan, dan setiap sudut dipenuhi dekorasi labu dengan wajah menyeramkan.
Ada yang berpakaian vampir dengan darah palsu menetes di dagunya, ada pula pasangan yang mengenakan kostum tengkorak sambil menggandeng tangan. Anak-anak kecil berlarian sambil membawa keranjang permen, dan suara “Trick or treat!” bersahut-sahutan di kejauhan.
Mobil yang kami tumpangi melaju pelan melewati keramaian. Di jendela, aku bisa melihat sekelompok orang mengenakan jubah hitam, berdiri melingkar di depan api unggun kecil, seolah sedang melakukan ritual. Jantungku berdebar sedikit lebih cepat tanpa alasan.
“Serem ya suasananya...” gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri, sambil memeluk tubuhku sendiri untuk mengusir hawa dingin.
“Makanya kamu harus lebih berani, Bunny,” kata Lana di sebelahku sambil menyenggol lenganku.
Aku cuma tertawa kecil, menunduk sambil membetulkan tudung putih di kepalaku.
Taman hiburan yang kami tuju berada di pinggiran kota—tempat yang katanya sudah lama tak digunakan. Saat kami semakin dekat, keramaian tadi mulai memudar, digantikan kesunyian aneh dan kabut tipis yang menggantung rendah.
Lampu-lampu kecil tampak dari kejauhan, menciptakan siluet gerbang taman hiburan itu. Ada patung badut lusuh di depan gerbang, dengan cat yang mengelupas dan senyum menyeramkan di wajahnya.
Dan untuk sesaat… aku mulai bertanya-tanya kenapa aku ikut permainan ini.
Mobil berhenti dengan suara decit halus di depan gerbang besi berkarat. Aku menatap keluar jendela dengan dada sesak. Taman hiburan tua itu berdiri angkuh dalam gelap, dikelilingi pagar kawat yang digulung tanaman liar. Gerbangnya menganga, dihiasi papan kayu lapuk bertuliskan cat merah:
"SELAMAT DATANG DI NIGHT HUNT" — huruf-hurufnya menetes seperti darah kering.
Di baliknya, taman terbengkalai itu menyambut dengan lampu-lampu redup yang berkedip, musik kotak tua yang berputar sendiri, dan aroma besi berkarat bercampur tanah basah.
Lana melongok dari jendela di sampingku. “Oke… ini serem banget sih. Kayak kita masuk ke film horor.”
“Bagus,” kata Blair sambil turun lebih dulu, jubah hitamnya berkibar. “Kita memang diundang ke permainan gila. Ayo nikmati sebelum kita nangis-nangis minta pulang.”
Claire menyusul turun sambil memeriksa makeup-nya di cermin kecil. “Serius… ngapain sih cewek-cewek waras kayak kita ikut beginian? Ini bahkan bukan pesta topeng. Ini kayak... gladiator, versi estetika kelinci.”
Aku turun paling akhir, langkahku ragu. Sepatu putihku menyentuh kerikil kasar yang berserakan, dan aku bisa mendengar suara ranting kering yang patah di bawahnya. Kostum kelinci putihku terasa terlalu bersih untuk tempat sekelam ini. Sederhana, polos... dan justru karena itu, aku menonjol.
Langkahku terhenti saat pintu gerbang berderit sendiri di belakang kami.
CLANK!
Aku menoleh cepat. “Eh?”
“Tenang aja, otomatis. Biar dramatis,” kata Lana sambil menggandeng lenganku. “Yuk, kita daftar dulu ke pos masuk.”
Begitu kami masuk ke dalam area taman, suasananya langsung berubah. Lebih gelap. Lebih lengang. Tak ada pengunjung biasa—hanya gadis-gadis muda lain, semuanya berpakaian kelinci, tapi dengan gaya berbeda: ada yang lucu, ada yang imut, ada yang... terlalu seksi. Kami berjalan pelan, dan aku bisa merasakan mata-mata gelisah menyapu setiap sudut taman yang diselimuti kabut tipis.
Lalu terdengar suara dari speaker retak di atas kepala:
“Selamat datang, para kelinci. Malam ini, kalian berlari demi hidup kalian. Bersembunyi. Bertahan. Dan mungkin… ditemukan.”
Claire berbisik di sebelahku, “Gila... ini seriusan.”
Seorang pria keluar dari tenda utama. Dia mengenakan jas seperti ringmaster sirkus, tapi wajahnya tertutup topeng porselen putih dengan senyum besar yang digambar permanen.
“Daftar nama. Kostum. Nomor,” katanya dengan nada datar. “Pilih jalur kalian. Peta hanya akan diberikan satu kali. Setelah itu... kalian sendirian.”
Blair mengambil peta pertama dan membacanya cepat. “Area horor, zona rumah boneka.”
Claire mendapat ‘Maze of Mirrors’.
Lana tertawa kecil saat menerima miliknya. “Rollercoaster Graveyard. Cocok sama jiwa rusakku.”
Tiba giliranku. Aku menerima peta terakhir. Tanganku gemetar saat membacanya.
Zona: Kiddyland — bekas area bermain anak-anak.
Gambarnya dipenuhi dengan rumah-rumahan, perosotan, dan boneka kelinci raksasa. Tapi semuanya tampak rusak, retak, mati.
“Permainan dimulai pukul 10 malam, dan akan berakhir saat jam menunjukkan tengah malam,” lanjut pria itu. “Dua puluh kelinci. Seratus pemburu. Bertahanlah hidup… jika bisa.”
Aku ingin muntah.
Dentang jam berbunyi dari tengah taman.
DONG.
Sirene meraung panjang.
BRUUUUUNG!!
Lampu padam. Dunia berubah jadi kelam.
Aku berdiri kaku, tubuhku seakan menolak untuk bergerak. Kabut jadi lebih tebal. Nafasku memburu.
Dan dari kejauhan… aku bisa mendengar langkah-langkah berat.
Mereka datang.
Dua jam… Aku hanya perlu bertahan dua jam.
YOU ARE READING
UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]
RomanceMalam sebelum Halloween, Aerith melangkah masuk ke taman hiburan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah tempat yang kini menjadi panggung bagi permainan paling kejam yang hanya diketahui segelintir orang. Permainan itu disebut The Hunt, digelar setahu...
![UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]](https://img.wattpad.com/cover/392977195-64-k656136.jpg)