Tubuhku perlahan memeluk diri sendiri—satu-satunya cara untuk merasa aman, meski tak benar-benar berhasil. Aku lelah. Sangat lelah. Aku ingin semuanya berhenti. Aku hanya ingin pulang.
Jika malam ini aku harus mati… mungkin itu jauh lebih baik.
Lebih baik daripada hidup sebagai bayangan dari diriku yang dahulu.
Kegelapan. Kedinginan. Kesepian.
Dan aku menyerah, setidaknya untuk saat ini. Kubuka pintu masa lalu dan membiarkan kenangan menelanku. Karena di sana… aku masih bisa tertawa. Karena di sana, aku masih menjadi seorang anak yang dicintai.
Gelap.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku terdiam di dalamnya. Mungkin satu jam. Mungkin sehari. Mungkin seminggu. Waktu tak lagi berarti saat kau tak mampu menghitung detak jantungmu sendiri.
Semuanya sunyi… hingga sesuatu yang sangat dingin dan kejam menyentuh tubuhku.
Air.
Air yang menusuk kulit seperti jarum-jarum es.
Aku terbangun mendadak, tersedak oleh rasa dingin yang menyesakkan. Tubuhku bergetar hebat. Nafasku memburu, panik. Aku mencoba mengangkat tubuhku, namun semuanya terasa berat. Kakiku gemetar, tanganku bergetar begitu parah hingga aku tak tahu apakah aku masih mampu bertahan.
Aku membuka mata—kabur, buram, namun cukup untuk menyadari bahwa aku tak sendirian.
Mereka datang lagi.
Lima orang. Tak sebanyak sebelumnya, tapi cukup untuk membuat ketakutan kembali membungkusku seperti belenggu yang tak terlihat. Mata mereka menatapku seperti binatang lapar yang belum puas.
Aku mundur perlahan, menyeret tubuhku menjauh walau tak ada tempat untuk lari. Setiap ototku menjerit, luka-luka di tubuhku masih segar, dan rasa sakitnya menyatu dengan kepedihan di dalam dadaku.
"Aku mohon…" suaraku lebih seperti napas—hampir tak terdengar. "Tolong… cukup…"
Tapi mereka tak menjawab.
Tawa kecil terdengar dari salah satu pria itu. Tawa yang dingin, penuh ejekan, seolah penderitaanku adalah hiburan bagi mereka.
Aku mencoba melindungi tubuhku sebisa mungkin, menyembunyakan diri di balik tangan yang lemah, seolah itu cukup untuk menyelamatkanku. Tapi aku tahu—aku tahu itu sia-sia.
Dan di antara ketakutan yang membuncah, aku hanya bisa bertanya dalam hati:
"Tuhan… apakah Kau sedang melihatku sekarang?"
"Apakah Kau pernah benar-benar mendengar doaku selama ini?"
Air mata kembali jatuh tanpa suara.
Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang gadis yang terlalu percaya, terlalu polos, dan terlalu berharap dunia tak sekejam ini.
Tapi aku salah.
Aku sepenuhnya salah.
Salah satu dari mereka mendekat, membawa sesuatu yang tampak seperti botol plastik lusuh. Cairan di dalamnya berwarna kekuningan, dan bau menyengatnya segera memenuhi ruangan.
Aku langsung tahu.
"Aku tidak akan..." Suaraku tercekat, tubuhku menegang dalam ketakutan yang pekat. "Tolong... jangan."
Tangannya mencengkeram rahangku kasar, membuatku menoleh paksa ke arahnya. Senyumnya bengis.
"Minum," katanya dingin.
Aku menggeleng cepat, seluruh tubuhku berontak.
Seketika tamparan keras mendarat di pipiku, membuat kepalaku terhempas ke samping. Dunia di sekelilingku berputar, tapi mereka tak memberiku waktu untuk bernapas. Satu pukulan lagi menghantam perutku, membuatku meringkuk dan memuntahkan isi lambungku yang tak seberapa.
YOU ARE READING
UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]
RomanceMalam sebelum Halloween, Aerith melangkah masuk ke taman hiburan yang telah lama ditinggalkan. Sebuah tempat yang kini menjadi panggung bagi permainan paling kejam yang hanya diketahui segelintir orang. Permainan itu disebut The Hunt, digelar setahu...
UNTIL HE FOUND ME
Start from the beginning
![UNTIL HE FOUND ME [TERBIT]](https://img.wattpad.com/cover/392977195-64-k656136.jpg)