Aku mengambilnya, merasakan toples itu hangat di tanganku. "Berapa harganya?"
"Itu tergantung," jawabnya sambil tersenyum misterius. "Kami tidak menerima uang di sini. Harganya berbeda untuk setiap penulis."
"Lalu apa yang harus kubayarkan?"
Pria itu menatapku dalam-dalam. "Setiap penyelesaian plot yang kamu ambil akan mengorbankan sesuatu dari ceritamu. 'Karakter Utama Menemukan Kekuatan Tersembunyi' misalnya, akan mengorbankan kerentanan dan perkembangan alami karaktermu. 'Kebetulan yang Mengejutkan' akan mengorbankan logika ceritamu."
Aku meletakkan kembali toples di tanganku. "Jadi itu... semacam pertukaran?"
"Tepat sekali. Tidak ada yang gratis di dunia penceritaan. Setiap jalan pintas memiliki konsekuensi."
Aku berjalan perlahan menyusuri rak-rak, membaca label-label yang sekarang terlihat berbeda di mataku. "Pengkhianatan Sahabat Terdekat (mengorbankan konsistensi karakter)," "Informasi Krusial Ditemukan Secara Tidak Sengaja (mengorbankan ketegangan cerita)."
Mataku tertuju pada sebuah toples kecil di rak paling bawah, tersembunyi di balik yang lain. Label nya sederhana: "Pengakuan Pengarang." Cairannya bening seperti air, tapi bergerak dengan pola yang tidak alami.
"Yang itu..." kata pria tua itu dengan nada berbeda, "hanya untuk penulis yang benar-benar putus asa."
"Apa yang dikorbankan jika menggunakan ini?" tanyaku sambil mengambil toples tersebut.
"Ilusi," jawabnya singkat. "Ilusi bahwa kamu memegang kendali penuh atas ceritamu."
Tanganku gemetar memegang toples itu. Apa maksudnya?
"Mungkin aku bisa melihat karya yang sedang kamu tulis?" tanya pria itu tiba-tiba.
Aku merogoh tas selempangku dan mengeluarkan beberapa lembar kertas, draft bab terakhir yang kucetak sore tadi. "Aku tidak tahu bagaimana mengakhirinya," akuku. "Karakter utamaku sudah berkembang, dia sudah melalui semua konflik, tapi endingnya terasa... hampa."
Pria tua itu membaca dengan cepat, sesekali mengangguk atau mengerutkan dahi. "Kamu terlalu sering menggunakan ini." Dia menunjuk sebuah toples berlabel "Dialog Tajam yang Membalik Keadaan." "Dan ini," dia menunjuk toples lain berlabel "Retrospeksi Mengharukan."
"Tapi saya tidak pernah ke toko ini sebelumnya," protesku.
"Toko ini hanya satu manifestasinya," jawabnya samar. "Jalan pintas ada di mana-mana, dalam berbagai bentuk. Tutorial menulis yang menjanjikan formula sukses, template plot yang kaku, tren pasar yang diikuti tanpa pemikiran kritis."
Aku terdiam, merasakan kebenaran dalam kata-katanya menusuk.
"Ceritamu tidak membutuhkan penyelesaian plot yang lebih menarik," lanjutnya, mengembalikan kertas-kertas itu padaku. "Ceritamu membutuhkan kejujuran."
"Kejujuran?"
"Ya. Mengapa kamu menulis cerita ini? Apa yang ingin kamu sampaikan melaluinya? Bukan apa yang menurut pasar atau tren ingin dengar. Tapi apa yang benar-benar ingin kamu katakan."
Aku merenung sejenak. Mengapa aku menulis novel ini? Awalnya cerita ini sangat personal, tentang perjalanan seseorang menemukan makna setelah kehilangan. Tapi kemudian aku mulai khawatir tentang pendapat orang lain, tentang standar pasar, tentang formula yang 'terbukti berhasil.' Tanpa sadar, aku kehilangan suara asliku.
"Saya... saya mulai menulis ini karena ingin mengeksplorasi bagaimana seseorang bisa menemukan tujuan baru setelah kehilangan segalanya," bisikku. "Tapi kemudian saya mulai meragukan apakah itu cukup menarik, cukup dramatis."
Pria tua itu tersenyum. "Dan itulah saat kamu mulai menambahkan semua elemen ini." Dia menunjuk ke berbagai toples. "Konflik yang dibuat-buat, twist yang tidak perlu, drama yang dipaksakan."
Aku mengangguk, merasakan sesuatu bergejolak dalam diriku. Sebuah kesadaran.
"Jadi, apa yang akan kamu beli hari ini?" tanyanya.
Aku memandang toples "Pengakuan Pengarang" di tanganku, kemudian ke seluruh toko yang tiba-tiba terasa asing dan sedikit mengancam. Perlahan, aku meletakkan toples itu kembali ke raknya.
"Tidak ada," jawabku akhirnya. "Saya tidak akan membeli apapun."
Pria itu tersenyum, lebar dan tulus untuk pertama kalinya. "Pilihan yang bijak."
"Tapi bagaimana dengan cerita saya? Bagaimana saya bisa menyelesaikannya tanpa... bantuan?"
"Kembali ke awal," jawabnya sederhana. "Ke alasan kamu mulai menulis cerita ini. Biarkan karaktermu menjalani jalan mereka dengan konsekuensi alami dari pilihan mereka, bukan karena plot membutuhkan mereka bertindak dengan cara tertentu."
Aku mengangguk perlahan. "Terima kasih," kataku, bersiap untuk pergi.
"Satu hal lagi," tambahnya saat aku mencapai pintu. "Jangan terlalu khawatir pada akhir yang indah dan rapi. Kehidupan nyata jarang seperti itu. Terkadang, akhir yang ambigu justru lebih jujur."
Dengan itu, aku keluar dari toko, kembali ke gang yang kini terlihat berbeda di mataku. Kabut tipis sudah menghilang, dan udara malam terasa lebih jernih.
Keesokan harinya, aku duduk di depan komputer, membaca ulang seluruh naskahku dari awal. Aku mulai menghapus adegan-adegan yang terasa dipaksakan, dialog yang terlalu cerdas untuk menjadi nyata, kebetulan-kebetulan yang terlalu sempat. Sebuah cerita baru – tidak, cerita yang sama tapi lebih jujur – mulai terbentuk.
Seminggu berlalu. Aku bekerja tanpa henti, menulis ulang, menyunting, memoles ceritaku. Ketika aku akhirnya sampai pada bab terakhir, tanganku berhenti di atas keyboard. Bagaimana aku harus mengakhiri ini?
Kata-kata pria tua itu bergema dalam pikiranku. Jangan terlalu khawatir pada akhir yang indah dan rapi.
Aku mulai mengetik, membiarkan karakterku menjalani konsekuensi dari semua pilihan yang telah dia buat. Tidak ada kekuatan tersembunyi yang tiba-tiba muncul, tidak ada kebetulan yang mengubah segalanya di detik terakhir. Hanya seorang manusia biasa yang berusaha melanjutkan hidup setelah kehilangan, dengan semua kerumitan dan ketidaksempurnaan yang menyertainya.
Akhir ceritaku tidak spektakuler. Tidak ada twist mengejutkan, tidak ada pengungkapan dramatis. Hanya pengakuan sederhana bahwa hidup berlanjut, dengan segala ketidakpastiannya. Karakter utamaku tidak menemukan semua jawaban, tapi dia belajar untuk hidup dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Ketika aku mengetik kalimat terakhir, hujan mulai turun di luar jendela. Aku berdiri, meregangkan tubuh yang kaku karena duduk terlalu lama, dan berjalan ke jendela untuk melihat tetesan air yang menari di kaca.
Suatu hari, berbulan-bulan kemudian, aku mencoba mencari toko itu lagi. Aku menyusuri jalanan yang sama, berbelok ke gang yang kuingat. Tapi toko itu sudah tidak ada. Di tempatnya berdiri sebuah tembok bata tua dengan graffiti memudar. Mungkin toko itu tidak pernah ada? Mungkin itu hanya proyeksi dari kegelisahanku sendiri sebagai penulis?
Novelku akhirnya selesai. Tidak seperti yang kubayangkan pada awalnya, tapi lebih baik dalam berbagai hal. Tidak semua pembaca menyukainya – beberapa mengeluhkan ending yang "terlalu biasa" atau "kurang memuaskan." Tapi ada juga yang menulis padaku, mengaku tersentuh oleh kejujuran ceritaku.
Sederhana, tanpa embel-embel. Seperti kehidupan itu sendiri.
Sekarang, setiap kali aku mulai menulis cerita baru dan godaan menggunakan formula atau jalan pintas muncul, aku teringat toko kecil itu dengan toples-toples penyelesaian plotnya. Aku teringat harga yang harus dibayar untuk setiap jalan pintas: kedalaman, nuansa, dan kejujuran.
Terkadang di malam-malam sunyi, ketika aku terjebak dalam cerita yang sedang kutulis, aku bertanya-tanya apakah aku sendiri hanyalah karakter dalam cerita yang lebih besar. Apakah ada 'penulis' di luar sana yang juga tergoda menggunakan jalan pintas untuk menyelesaikan ceritaku?
Aku tidak pernah tahu jawabannya. Dan mungkin itu yang terpenting: belajar hidup dengan pertanyaan, bukan terobsesi mencari jawaban sempurna. Baik dalam menulis maupun dalam hidup.
YOU ARE READING
Once Upon A Time
Fantasy"Ada cerita-cerita yang tidak seharusnya ditemukan. Cerita yang, sekali Anda baca, akan mengubah cara Anda memandang dunia-selamanya." Di sebuah sudut tersembunyi perpustakaan kuno, tersimpan sebuah manuskrip bernama "Once Upon A Time." Mereka yang...
Chapter 53 (The Plot Resolution Shop)
Start from the beginning
