Setiap pagi aku berjalan melewati deretan gang sempit yang sama, mencium bau yang sama—urin kering bercampur dengan besi berkarat—dan melihat deretan wajah yang sama. Wajah-wajah kosong, mata yang hampa, tubuh yang kurus. Mereka menunggu di luar klinik, berdiri dalam antrean yang melebar hingga ke ujung blok.
Aku dokter di Klinik Transfusi Konsekuensi. Tidak banyak yang tahu apa yang sebenarnya kami lakukan di sini. Bagi masyarakat umum, kami hanya klinik medis biasa yang melayani masyarakat kurang mampu. Tapi di balik pintu-pintu tertutup, kami menjalankan bisnis yang jauh lebih gelap.
Hari ini aku melihat pelanggan reguler kami. Dia mengenakan jas mahal dengan dasi sutra, sepatu yang harganya mungkin setara dengan gaji bulanan para pekerja klinik ini. Aku mengenalinya sebagai CEO dari salah satu perusahaan tambang terbesar. Dia baru saja menyetujui pembukaan tambang baru yang akan menghancurkan ekosistem hutan dan memindahkan ribuan penduduk lokal. Dan sekarang, dia ada di sini.
"Dokter," dia tersenyum, tangannya terulur untuk berjabat. Aku mengabaikannya, memakai sarung tangan lateks dengan gerakan yang disengaja.
"Silakan berbaring," ujarku datar, menunjuk ke tempat tidur transfusi.
Dia menurut, masih dengan senyum yang sama. Senyum yang tahu bahwa dia bisa membeli apapun—bahkan bebas dari konsekuensi tindakannya sendiri.
"Berapa banyak kali ini?" tanyaku sambil menyiapkan peralatan.
"Semuanya," dia menjawab tanpa ragu. "Aku ingin semuanya ditransfer. Proyek ini terlalu besar, terlalu penting. Aku tidak bisa mengambil risiko merasa bersalah atau mengalami konsekuensi lainnya."
Aku mengangguk, berusaha menjaga ekspresiku tetap netral. Teknologi ini masih relatif baru. Dikembangkan dengan alasan yang mulia—untuk membantu mereka yang mengalami trauma berat atau depresi mendalam—tapi seperti semua teknologi, cepat atau lambat akan disalahgunakan. Dan kini, para konglomerat dan politisi menggunakannya untuk mentransfer konsekuensi negatif dari tindakan mereka kepada orang lain.
Aku memasang elektroda di kepalanya, mengatur mesin. "Kau tahu prosedurnya," ujarku dengan suara profesional. "Kami akan menghubungkanmu dengan penerima yang telah dipilih. Konsekuensi mental dan spiritual dari tindakanmu akan ditransfer ke mereka. Rasa bersalah, penyesalan, beban moral—semuanya akan hilang."
Dia mengangguk, tampak tidak sabar. "Bagus, bagus. Berapa lama ini akan berlangsung?"
"Sekitar satu jam," jawabku sambil menyuntikkan sedatif ringan ke lengannya. "Kau akan tertidur sepanjang proses."
Sementara dia mulai tertidur, aku pergi ke ruangan lain. Di sana, seorang pria setengah baya dengan pakaian kusam sedang menunggu. Dia adalah salah satu dari ribuan "penerima" kami—orang-orang yang dibayar untuk menerima konsekuensi dari tindakan orang lain. Kebanyakan dari mereka tunawisma, pengangguran, atau orang-orang yang putus asa mencari uang.
"Anda tahu risikonya," aku berkata sambil mempersiapkannya. "Setelah transfusi, Anda mungkin akan mengalami depresi, kecemasan, mimpi buruk, atau bahkan kecenderungan bunuh diri tergantung pada beratnya konsekuensi yang ditransfer."
Pria itu mengangguk lemah. "Bayarannya sepadan," bisiknya. "Saya punya anak yang butuh operasi."
Kata-kata itu menusuk hatiku. Selalu alasan yang sama—kebutuhan, keputusasaan, kemiskinan. Mereka tidak punya pilihan selain menjual kewarasan mereka.
Aku mengaktifkan mesin, lalu kembali ke ruang CEO. Di sinilah aku melakukan apa yang tidak diketahui siapapun di klinik ini. Dengan hati-hati, aku memasang alat kecil pada mesin transfusi—perangkat yang kuciptakan sendiri. Alat ini akan menyalin, bukan hanya mentransfer, konsekuensi tersebut. Salinan ini kusimpan dalam database rahasiaku, mengumpulkan semua konsekuensi yang ditransfer oleh para elit selama bertahun-tahun.
YOU ARE READING
Once Upon A Time
Fantasy"Ada cerita-cerita yang tidak seharusnya ditemukan. Cerita yang, sekali Anda baca, akan mengubah cara Anda memandang dunia-selamanya." Di sebuah sudut tersembunyi perpustakaan kuno, tersimpan sebuah manuskrip bernama "Once Upon A Time." Mereka yang...
