Hujan rintik-rintik mengetuk jendela kamarku, menciptakan irama yang sudah akrab di telingaku selama bertahun-tahun. Aku menatap langit-langit kamar yang retak sambil menghitung detik demi detik yang berlalu. Tidak ada yang berubah dalam hidupku sejak aku memutuskan untuk pindah ke kota ini. Semuanya masih terasa hampa, seperti ada lubang menganga di dadaku yang tidak bisa ditutup oleh apapun.
Aku bangun lebih awal dari biasanya pagi itu. Cahaya matahari yang pucat menerobos tirai tipis jendela apartemen. Tidak ada alasan khusus mengapa aku memilih untuk mulai hari lebih cepat. Mungkin karena mimpi buruk yang sama—tentang keramaian orang-orang yang berbicara dalam bahasa yang tak kupahami, tentang diriku yang berteriak namun tak ada suara yang keluar.
Jalanan masih sepi saat aku melangkah keluar. Udara pagi terasa dingin menggigit kulit, tapi aku menikmatinya. Setidaknya itu memberiku sensasi, membuatku merasa hidup meski hanya sesaat. Aku berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakiku membawaku ke mana pun. Ini rutinitas yang kulakukan hampir setiap pagi sebelum menjalani hari yang monoton di balik meja kerja.
Entah bagaimana, pagi itu langkahku membawaku ke sebuah area kota yang belum pernah kutelusuri sebelumnya. Sebuah gang kecil yang tersembunyi di antara dua bangunan tua menarik perhatianku. Ada sesuatu yang berbeda dari gang itu, seolah memancarkan cahaya samar yang hanya bisa kulihat dari sudut mataku. Aku mengikuti intuisiku dan berbelok ke sana.
Gang itu sempit, dikelilingi tembok bata tua yang diselimuti tanaman rambat. Semakin dalam aku melangkah, semakin sunyi suara kota di belakangku. Aneh, pikirku. Seperti memasuki dimensi lain. Di ujung gang, aku melihatnya—sebuah toko kecil dengan papan nama kayu yang tampak usang tapi terawat. "Validation Store" terukir dengan huruf berwarna emas yang sudah memudar.
Penasaran, aku mendorong pintu kacanya yang berderit pelan. Lonceng kecil berdenting di atas kepalaku, mengumumkan kehadiranku pada ruangan yang tampak kosong. Interior toko itu tidak seperti yang kubayangkan. Tidak ada rak-rak barang atau display produk yang mencolok. Hanya ada dinding-dinding penuh dengan pigura berbagai ukuran, sebuah meja kayu antik di tengah ruangan, dan seorang penjaga toko yang tersenyum ke arahku.
"Selamat datang," sapanya dengan suara yang entah mengapa terdengar akrab. "Ini kunjungan pertamamu, kurasa?"
Aku mengangguk, masih memperhatikan sekeliling dengan bingung. "Apa yang dijual di sini?"
Penjaga toko tersebut tersenyum lebih lebar. "Kita menjual apa yang paling dibutuhkan setiap manusia tetapi sulit mereka dapatkan—validasi."
Mataku menyipit tidak mengerti. "Validasi?"
"Ya, konfirmasi bahwa pengalaman, pikiran, dan perasaanmu adalah nyata dan bermakna. Setiap manusia membutuhkannya. Beberapa mendapatkannya dari orang-orang terdekat, beberapa tidak pernah mendapatkannya sama sekali." Ia menggerakkan tangannya ke arah pigura-pigura di dinding. "Kami menyediakannya dalam berbagai bentuk."
Aku mendekati salah satu pigura. Di dalamnya bukan foto atau gambar, melainkan semacam cermin kecil dengan tulisan di permukaannya—"Kau berharga. Penderitaanmu nyata."
Sesuatu bergetar dalam dadaku saat membaca kata-kata itu. Seperti ada sebuah senar yang dipetik, mengeluarkan nada yang sudah lama tidak kudengar. Aku bergeser ke pigura lain—"Ketakutanmu valid. Kau tidak sendirian."
"Bagaimana cara kerjanya?" tanyaku, masih skeptis namun tertarik.
"Kau membeli satu, membawanya pulang, dan memasangnya di tempat yang sering kau lihat. Setiap kali kau membacanya, validasi itu akan meresap ke dalam dirimu, memberimu apa yang kau butuhkan."
Terdengar konyol, tapi ada sesuatu dalam cara ia menjelaskannya yang membuatku ingin mencoba. "Berapa harganya?"
"Bervariasi tergantung intensitasnya. Yang kecil mulai dari 50 ribu. Yang besar bisa mencapai jutaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time
Fantasi"Ada cerita-cerita yang tidak seharusnya ditemukan. Cerita yang, sekali Anda baca, akan mengubah cara Anda memandang dunia-selamanya." Di sebuah sudut tersembunyi perpustakaan kuno, tersimpan sebuah manuskrip bernama "Once Upon A Time." Mereka yang...
