Chapter 50 (The Last Memory Restaurant)

2 0 0
                                        

Pelanggan kali ini sama dengan yang lainnya. Aku bisa melihatnya dari cara dia melangkah masuk—langkah ragu-ragu, mata yang menjelajahi ruangan dengan campuran keheranan dan kecemasan. Dia tidak tahu apa yang dia harapkan, tapi aku bisa mengatakan dengan pasti apa yang dia inginkan.

Kami tidak memiliki papan nama di luar. Tidak ada menu terpampang di jendela. Tidak ada jam buka yang dituliskan di mana pun. Restoran kami hanya diketahui oleh mereka yang benar-benar ingin menemukannya—atau lebih tepatnya, oleh mereka yang putus asa ingin menemukan jalan keluar.

"Selamat datang," kataku dengan senyum ramah yang telah kulatih selama bertahun-tahun. "Meja untuk satu orang?"

Dia mengangguk, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sebagian besar tidak berbicara pada awalnya. Aku menuntunnya ke sebuah meja kecil di sudut, tempat yang sedikit terlindung dari pandangan pengunjung lain. Tidak banyak pengunjung malam ini—hanya tiga meja lain yang terisi. Semua pelanggan yang datang sendiri. Semua dengan tatapan yang sama.

"Apakah ini pertama kalinya Anda datang ke sini?" tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya.

"Ya," jawabnya pelan. Suaranya hampir pecah di satu kata itu saja.

"Kalau begitu, izinkan aku menjelaskan sedikit. Restoran kami tidak seperti tempat lain. Kami tidak menyajikan makanan biasa—kami menyajikan kenangan. Kenangan terakhir yang sempurna."

Tatapannya naik dari meja, akhirnya bertemu dengan mataku. Ada percikan pengenalan di sana.

"Jadi benar," bisiknya. "Tempat ini nyata."

"Sangat nyata," jawabku. "Dan sementara aku menyiapkan meja Anda, mungkin Anda bisa mengisi formulir ini. Ini membantu kami menyesuaikan pengalaman Anda."

Aku menyerahkan selembar kertas dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah sangat kukenal. Pertanyaan yang dirancang untuk mengungkap sisa-sisa harapan yang mungkin masih tersembunyi di suatu tempat dalam diri mereka. Aku dapat melihat tangannya gemetar saat dia mulai menulis.

Kembali ke dapur, aku menemui Chef. Dia adalah wanita kecil dengan tangan-tangan yang kuat dan mata yang terlihat seolah telah menyaksikan terlalu banyak. Dia tidak pernah memberitahu namanya yang sebenarnya, dan kami semua memanggilnya Chef.

"Kursi tujuh," kataku padanya, menyerahkan formulir setengah terisi. "Yang biasa."

Chef mengambil formulir itu dengan ekspresi serius. "Berapa kali lagi kita harus melakukan ini?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepadaku. Itu adalah pertanyaan retoris yang sering diulangnya. Meskipun dia yang membuat teknologi ini, dia tidak pernah sepenuhnya damai dengan konsekuensinya.

"Sampai tidak ada lagi yang membutuhkannya," jawabku, jawaban standarku.

Chef menghela napas dan mulai bekerja. Dia tidak memasak dengan kompor atau oven. Alat-alatnya jauh lebih rumit—perangkat khusus yang memindai dan merekonstruksi potensi masa depan, mengekstraksi esensi dari pilihan-pilihan yang belum terjadi. Aku tidak sepenuhnya mengerti cara kerjanya. Yang aku tahu adalah bahwa teknologi itu memetakan semua kemungkinan kebahagiaan yang bisa dialami seseorang—semua peluang, hubungan, dan momen yang akan mereka lewatkan jika mereka mengakhiri hidup mereka hari ini—dan menyajikannya sebagai pengalaman inderawi.

Saat aku kembali, pelanggan telah menyelesaikan formulirnya. Matanya sedikit lebih lebar sekarang, ketakutan dan antisipasi bercampur.

"Makanan Anda akan siap sebentar lagi," kataku sambil mengambil formulir. Pertanyaan terakhir—"Mengapa kamu memilih untuk datang ke restoran kami?"—dijawab dengan hanya satu kata: "Kelelahan."

Aku tahu persis apa artinya itu. Bukan kelelahan fisik, tapi kelelahan jiwa. Kelelahan dari usaha terus-menerus untuk tetap ada dalam dunia yang tampaknya tidak memiliki tempat untukmu.

Once Upon A TimeWhere stories live. Discover now