Pagi ini terasa berbeda. Langit bergumul kelabu dengan awan-awan tebal, tapi bukan itu yang membuatnya terasa asing. Indera saya telah terlatih untuk mendeteksi anomali dalam data kebahagiaan masyarakat, dan ada yang tidak beres dalam pembacaan hari ini.
Hologram pengingat muncul di sudut mata saya. "Indeks Kebahagiaan: 5.9/10. Di bawah Standar Minimum. Koreksi akan diterapkan dalam 30 menit."
Aku menghela napas. Lagi. Sudah tiga hari berturut-turut pembacaanku di bawah standar. Tidak masalah—koreksi kebahagiaan akan segera diterapkan. Sebentar lagi perasaan ini akan hilang, digantikan oleh sensasi hangat dan nyaman yang familiar. Sistem selalu tahu yang terbaik.
Di laboratorium, panel-panel data kebahagiaan bergerak dalam aliran konstan. Sebagai teknisi senior algoritma kebahagiaan, tugasku menganalisis pola-pola anomali dan memperbaiki kalibrasi sistem. Kami telah menyempurnakan teknologi ini selama hampir dua dekade, sejak pemerintah global memutuskan bahwa kebahagiaan manusia terlalu penting untuk dibiarkan tanpa pengaturan.
"Pagi," sapa rekan kerjaku dengan senyum sempurna. Terlalu sempurna. "Pembacaan populasi hari ini terlihat stabil. Hanya ada anomali 0.3% dari standar."
Aku mengangguk. "Bagaimana pembacaanmu?"
"8.7. Sempurna seperti biasa," jawabnya dengan mata kosong.
Mataku menyipit menatap layar analitis miliknya. Ada sesuatu yang tidak konsisten dalam data mentah, tapi begitu diproses melalui algoritma, semuanya tampak 'normal'. Aku merasakan sensasi tidak nyaman di dadaku—perasaan yang semakin sering muncul belakangan ini, terutama sejak aku mulai bertanya-tanya tentang keanehan dalam kode kebahagiaan.
Seharusnya aku fokus pada algoritma baru yang sedang kukembangkan—versi yang lebih efisien, yang bisa mendeteksi fluktuasi kebahagiaan secepat 3 milidetik dan melakukan koreksi bahkan sebelum orang tersebut menyadari bahwa mereka merasa sedih.
Tapi sesuatu menggangguku. Aku membuka file tersembunyi yang sudah kukumpulkan selama beberapa bulan terakhir. Data mentah, sebelum diproses, menunjukkan pola yang menggelisahkan. Indeks kebahagiaan rata-rata populasi mungkin stabil di permukaan, tapi variasinya semakin menurun. Kurva distribusi emosi manusia semakin mengecil, semakin seragam.
Notifikasi di implant mataku berkedip. "Koreksi kebahagiaan: 15 menit lagi."
Aku mengabaikannya, fokus menggali lebih dalam ke dalam temuan ini.
Pintu lab bergeser terbuka. Atasanku masuk dengan langkah tergesa. "Ada laporan tentang anomali di Sektor 7." Dia menatapku dengan senyum yang tidak mencapai matanya. "Butuh analisismu."
Sektor 7 adalah area perumahan kelas menengah, bukan tempat yang biasanya menunjukkan deviasi signifikan.
"Berapa besar anomalinya?" tanyaku, berpura-pura tertarik, sementara diam-diam menyimpan penemuan pribadiku.
"Penurunan 2.4 poin dalam 24 jam terakhir." Dia mengerutkan dahi. "Mungkin masalah kalibrasi."
Itu bukan masalah kalibrasi. Aku tahu karena aku sendiri yang mengembangkan sistem kalibrasi tersebut. Penurunan sebesar itu hanya bisa berarti satu hal: resistensi kolektif terhadap koreksi kebahagiaan.
"Aku akan kesana," kataku, mengemas peralatanku.
"Notifikasi: Koreksi Kebahagiaan: 5 menit lagi."
Aku menekan tombol penunda di pergelangan tanganku. Kali ini aku ingin tetap sadar, merasakan apa yang sebenarnya kurasakan tanpa intervensi.
Di Sektor 7, gedung-gedung apartemen berjajar rapi, wajah-wajah tersenyum mengintip dari jendela. Tapi ada sesuatu yang ganjil dalam senyum mereka—otomatis, mekanis.
YOU ARE READING
Once Upon A Time
Fantasy"Ada cerita-cerita yang tidak seharusnya ditemukan. Cerita yang, sekali Anda baca, akan mengubah cara Anda memandang dunia-selamanya." Di sebuah sudut tersembunyi perpustakaan kuno, tersimpan sebuah manuskrip bernama "Once Upon A Time." Mereka yang...
