Aku menatap foto-foto pada dinding kantorku, masing-masing adalah klien yang telah kutolong memulihkan kenangan mereka yang hilang. Dalam dunia tempat teknologi penghapusan kenangan telah menjadi hal umum seperti menghapus pesan di ponsel, pekerjaanku sebagai "restorator" menjadi semakin langka sekaligus dicari. Orang-orang datang dengan berbagai alasan—rasa penyesalan, keingintahuan, atau kadang hanya karena merindukan bagian dari diri mereka yang hilang.
Hujan menetes pelan di luar jendela saat bel pintu berbunyi. Tidak biasanya ada klien di jam-jam selarut ini. Ketika kubuka pintu, seorang pria dalam setelan abu-abu formal berdiri dengan postur tegap yang tidak alami. Matanya bergerak gelisah, kontras dengan ekspresi wajahnya yang terkendali.
"Saya butuh jasa Anda," ujarnya tanpa basa-basi. "Dan ini harus tetap rahasia."
Aku mengamatinya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu tentang caranya berdiri, caranya berbicara yang terasa familiar dari berita dan pengumuman resmi. Sebuah realisasi menghantam—dia seorang pejabat pemerintah tinggi.
"Semua yang terjadi di ruangan ini bersifat konfidensial," jawabku sambil mempersilakannya masuk. "Itulah satu-satunya cara pekerjaan ini bisa bertahan."
Dia duduk di kursi klien, jari-jarinya mengetuk lutut dalam ritme yang tidak beraturan. "Saya telah menghapus beberapa kenangan saya sendiri. Secara sukarela. Sekarang saya perlu mendapatkannya kembali."
"Mengapa Anda menghapusnya pada awalnya?" tanyaku, mengikuti protokol standar.
"Itu... bagian dari kenangan yang hilang," jawabnya dengan senyum kaku. "Yang saya tahu, ini berhubungan dengan pekerjaan saya. Ada keputusan yang harus saya buat, tapi saya tidak bisa melakukannya tanpa konteks penuh dari ingatan tersebut."
Kubuka laci meja dan mengeluarkan formulir persetujuan. "Proses ini tidak menyenangkan," jelasku. "Menemukan dan memulihkan kenangan yang hilang itu seperti menyusun kembali kaca yang pecah. Bisa menyakitkan. Beberapa fragmen mungkin tetap hilang selamanya. Anda yakin ingin melanjutkan?"
Dia mengangguk dan menandatangani formulir tanpa membacanya.
"Kita bisa mulai besok pagi—"
"Tidak," potongnya. "Harus sekarang. Besok mungkin sudah terlambat."
Ada urgensi dalam suaranya yang membuatku tidak bisa menolak. Aku mengeluarkan peralatan restorasiku—sebuah perangkat yang tampak seperti headset dengan sensor halus yang menjulur ke pelipis dan dasar tengkorak. Desainnya minimalis, menyembunyikan kompleksitas teknologi di dalamnya.
"Prosesnya bisa memakan waktu beberapa jam," kataku sambil menyesuaikan headset di kepalanya. "Rileks dan biarkan pikiran Anda mengalir. Jangan melawan gambar atau perasaan apapun yang muncul."
Saat kuaktifkan perangkat, mataku tertuju pada layar monitor yang menunjukkan aktivitas neural. Sebagian besar restorator hanya melihat data numerik, tapi aku telah memodifikasi perangkatku untuk menampilkan visualisasi dari potongan memori yang kita cari. Teknologi penghapusan meninggalkan semacam "bekas luka" di jaringan otak, dan pekerjaanku adalah mengikuti jejak itu untuk menemukan dan mereaktivasi koneksi yang telah diputus.
Satu jam berlalu dalam keheningan yang hanya diinterupsi oleh suara hujan dan desah napas klienku yang perlahan menjadi lebih dalam saat ia memasuki kondisi semi-trance. Layar mulai menampilkan kilas balik acak—pertemuan-pertemuan di ruangan steril, berkas-berkas dengan cap "RAHASIA NEGARA", dan fragmen percakapan yang masih terlalu kabur untuk dimengerti.
Pada jam kedua, kenangan mulai mengkristal. Aku melihat klienku dalam sebuah diskusi panas dengan sekelompok orang yang wajahnya disensor oleh proses penghapusan.
YOU ARE READING
Once Upon A Time
Fantasy"Ada cerita-cerita yang tidak seharusnya ditemukan. Cerita yang, sekali Anda baca, akan mengubah cara Anda memandang dunia-selamanya." Di sebuah sudut tersembunyi perpustakaan kuno, tersimpan sebuah manuskrip bernama "Once Upon A Time." Mereka yang...
