Aku melanjutkan penyelidikanku selama berminggu-minggu, dengan hati-hati menghindari deteksi. Aku mulai merekayasa jendela "kesadaran" yang lebih lama untuk diriku sendiri, memperpanjang waktu antara koreksi kebahagiaan. Dalam periode-periode ini, aku merasakan sesuatu yang sudah lama hilang: kesedihan yang mendalam, kemarahan yang berkobar, dan yang paling mengejutkan—momen-momen kebahagiaan autentik yang singkat namun intens.
Di Sektor 7, eksperimenku menghasilkan hasil yang tak terduga. Beberapa orang mulai menunjukkan perilaku "menyimpang"—mereka mengadakan pertemuan informal, menulis puisi, bahkan menciptakan seni—aktivitas yang tidak terprogram dan tidak terprediksi.
Tapi ada juga konsekuensi yang lebih gelap. Laporan tentang konflik interpersonal meningkat. Beberapa mengalami periode depresi parah. Dua orang bahkan mencoba bunuh diri—tindakan yang hampir tidak terjadi lagi dalam masyarakat yang diatur kebahagiaan.
Apakah aku melakukan hal yang benar? Pertanyaan ini terus menghantuiku saat aku menyaksikan kedua sisi dari situasi ini terungkap.
Suatu malam, aku diundang ke pertemuan rahasia di Sektor 7. Dengan hati-hati aku menyelinap keluar, menghindari sensor gerak dan kamera keamanan. Di ruang bawah tanah yang sempit, sekitar dua puluh orang berkumpul. Wajah mereka berbeda—bukan lagi topeng kebahagiaan yang seragam, tapi beragam ekspresi, beberapa tersenyum tulus, beberapa dengan mata berkaca-kaca, beberapa dengan kerutan di kening mereka.
"Selamat datang," kata seorang pria tua, yang aku kenali sebagai professor emeritus dari universitas sains pusat. "Kami tahu apa yang kau lakukan dengan algoritma itu."
Jantungku berdegup kencang. "Aku tidak—"
"Jangan khawatir," dia tersenyum—senyum asli yang mencapai matanya, berbeda sekali dengan senyum mekanis yang aku lihat setiap hari. "Kami berterima kasih padamu."
Mereka bercerita tentang pengalaman mereka. Bagaimana mereka mulai merasakan kembali, benar-benar merasakan. Bagaimana mereka bisa menangis untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Bagaimana mereka bisa tertawa hingga perut mereka sakit—bukan hanya tersenyum kosong.
"Tapi tidak mudah," kata seorang wanita muda. "Kadang-kadang rasanya mengerikan, merasakan begitu banyak."
"Dan beberapa tidak mampu menghadapinya," tambah yang lain dengan nada suram.
Mereka memintaku untuk melanjutkan, untuk memperluas area "pembebasan" ini. Aku menjelaskan bahwa itu tidak mungkin—sistem terlalu terintegrasi, terlalu diawasi.
"Tapi kita bisa menyebarkan pesan ini," kata seorang pemuda. "Ajari kami cara menunda koreksi, bagaimana cara merasakan lagi."
Aku meninggalkan pertemuan dengan perasaan campur aduk. Apa yang mereka minta bisa dianggap sebagai sabotase terhadap sistem dasar masyarakat kami. Tapi bukankah sistem itu sendiri adalah sabotase terhadap apa artinya menjadi manusia?
Minggu-minggu berikutnya, aku hidup dalam dualitas yang rumit. Di permukaan, aku tetap menjadi teknisi algoritma kebahagiaan yang sempurna, terus menyempurnakan sistem. Di bawah permukaan, aku bekerja dengan kelompok kecil "Pencari Perasaan" untuk mengembangkan metode sederhana yang bisa membantu orang menunda atau mengurangi efek koreksi kebahagiaan.
Beberapa hari aku yakin dengan misiku. Di hari lain, aku dilanda keraguan. Apakah aku membahayakan masyarakat? Apakah kestabilan dan kebahagiaan yang dikontrol lebih baik daripada kekacauan emosional? Ketika aku melihat seseorang dari Sektor 7 menangis tak terkendali di tempat umum, atau mendengar tentang pertengkaran pasangan yang baru "terbangun", aku bertanya-tanya.
Lalu suatu pagi, aku menemukan laboratoriumku dikunci. Kartu aksesmu ditolak.
"Anomali algoritmik terdeteksi," kata suara digital yang dingin. "Mohon tunggu untuk pemeriksaan keamanan."
Mereka mengetahuinya.
Aku berbalik, berjalan dengan tenang keluar dari gedung. Di luar, langit masih kelabu. Orang-orang lewat dengan senyum kosong mereka. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar takut.
Apa yang dianggap sebagai hukuman untuk merusak kebahagiaan kolektif? Aku tidak pernah mendengar tentang kasus seperti itu—mungkin karena mereka tidak pernah dipublikasikan.
Koreksi kebahagiaan muncul tepat waktu, tapi kali ini aku merasakannya berbeda. Lebih kuat. Lebih menekan. Mereka telah meningkatkan dosisku secara diam-diam. Mencoba membungkamku dari dalam.
Dengan usaha besar, aku melawan efeknya, menjaga kesadaranku sementara tubuhku diliputi sensasi tenang yang artifisial. Aku harus bertemu dengan kelompok itu, memperingatkan mereka.
Tapi Sektor 7 telah berubah. Barikade keamanan di setiap jalan. Drone pengawas berpatroli di atas. Operasi pembersihan besar-besaran sedang berlangsung.
"Pemeliharaan kesehatan masyarakat," kata pengumuman resmi yang berputar. "Harap tetap tenang dan bahagia."
Aku melihat orang-orang dibawa keluar dari rumah mereka, mata mereka kosong—bukan karena kekosongan mekanis dari koreksi kebahagiaan biasa, tapi kekosongan yang lebih dalam, lebih permanen. Reset total.
Aku mundur, mencari tempat untuk bersembunyi dan berpikir. Perlahan, efek koreksi kebahagiaan yang diperkuat mulai memudar—bentuk resistensi yang kupelajari.
Dalam kejelasan yang singkat itu, aku menyadari sesuatu yang mendasar: efek fisik dari koreksi kebahagiaan bukan hanya membuat orang tersenyum dan merasa nyaman. Itu secara harfiah menumpulkan kemampuan mereka untuk terhubung secara mendalam dengan orang lain, untuk merasakan empati. Itu sebabnya masyarakat kami semakin terputus—bukan karena teknologi atau individualisme, tapi karena secara kimiawi, kapasitas kita untuk hubungan emosional autentik telah dilumpuhkan.
Ini bukan lagi tentang kebahagiaan versus kesedihan. Ini tentang kemanusiaan versus simulasi.
Dan saat aku menatap langit malam yang jarang terlihat di atas kota yang dikontrol dengan ketat ini, aku membuat keputusan. Aku akan menemukan cara untuk mempublikasikan temuanku—data mentah, analisis, semuanya. Bukan untuk menghancurkan sistem, tapi untuk memulai percakapan yang sudah lama tertunda: Apa harga yang kita bayar untuk kebahagiaan yang diprogram?
Beberapa minggu kemudian, aku berhasil menyelundupkan dataku ke jaringan terbuka. Reaksinya tidak sesuai harapan. Sebagian besar masyarakat tidak peduli atau tidak percaya. Mereka terlalu bahagia untuk khawatir.
Tapi benih telah ditanam. Kelompok-kelompok kecil mulai bermunculan. Pertanyaan-pertanyaan mulai diajukan.
Hari ini, setahun sejak pembocoran data, aku hidup dalam penyamaran di pingiran kota. Koreksi kebahagiaan masih berlanjut untuk sebagian besar populasi. Indeks Kebahagiaan Minimum masih ditegakkan. Tapi perlahan, sesuatu berubah.
Aku melihat lebih banyak mata yang benar-benar hidup sekarang. Lebih banyak wajah yang menunjukkan ekspresi beragam. Dan terkadang, di sudut-sudut tersembunyi, aku bahkan melihat orang-orang yang berani menangis di depan umum.
Ini bukan revolusi yang dramatis. Ini adalah perubahan yang lambat, tersendat-sendat, dan sebagian besar tidak diakui. Seperti air yang secara perlahan mengikis batu.
Algoritmaku—algoritma kebahagiaan yang asli—masih berjalan di seluruh kota. Tapi sekarang ada versi baru yang sedang dikembangkan secara rahasia, yang tidak hanya mengukur kebahagiaan, tapi juga kepenuhan emosional dan keaslian koneksi manusia.
Aku tidak tahu apakah ini akan berhasil. Mungkin kita akan kembali ke era kebahagiaan yang tidak teratur, tidak terprediksi, kadang-kadang menyakitkan dari masa lalu. Atau mungkin kita akan menemukan keseimbangan baru—cara untuk mengelola kesejahteraan emosional tanpa mengorbankan apa yang membuat kita manusia.
Hari ini, koreksi kebahagiaan muncul tepat waktu seperti biasa. Kali ini, aku membiarkannya datang—tidak melawan, tidak sepenuhnya menerimanya. Hanya merasakannya menembus sistemku, mengakui kehadirannya sambil mempertahankan kesadaranku. Seperti hujan yang jatuh di kulit—kau merasakannya, tapi itu bukan dirimu.
Di luar jendelaku, langit masih kelabu. Tapi sekarang, aku bisa melihat keindahan dalam warna abu-abu itu. Semua nuansa, semua variasinya. Tidak sempurna. Tidak selalu bahagia. Tapi nyata.
BINABASA MO ANG
Once Upon A Time
Fantasy"Ada cerita-cerita yang tidak seharusnya ditemukan. Cerita yang, sekali Anda baca, akan mengubah cara Anda memandang dunia-selamanya." Di sebuah sudut tersembunyi perpustakaan kuno, tersimpan sebuah manuskrip bernama "Once Upon A Time." Mereka yang...
Chapter 33 (Happiness Algorithm)
Magsimula sa umpisa
