Tim teknisi lain sudah berada di lokasi. Mereka mengelilingi pusat data sektor, mencolokkan peralatan diagnostik ke dalam terminal utama.
"Apa yang kau temukan?" tanyaku pada salah satu dari mereka.
"Aneh. Menurut data, semua orang di sini mendapat koreksi rutin, tapi indeks kebahagiaan terus turun."
Aku memeriksa terminal, menelusuri log. Aneh—semuanya berfungsi dengan baik. Koreksi diterapkan, dosis diatur dengan tepat. Tapi tubuh-tubuh ini tampaknya mulai menolak.
Fitur baru di sudut mataku menyala: "Peringatan: Beberapa warga menunjukkan gejala 'Adaptasi Emosional'."
Ah, itu dia. Tubuh mereka menjadi kebal terhadap dosis standar. Ini fenomena yang sudah diprediksi oleh algoritma lama, tapi belum pernah terjadi pada skala seperti ini.
Solusinya sederhana: tingkatkan dosis.
Tapi sesuatu menahanku. Aku memutuskan untuk menemui beberapa penduduk, berbicara dengan mereka secara langsung—prosedur yang jarang dilakukan oleh teknisi sepertiku.
Apartemen pertama. Seorang wanita membuka pintu, tersenyum kosong.
"Maaf mengganggu. Kami sedang melakukan pemeriksaan rutin pada sistem kebahagiaan," kataku.
"Oh, tentu." Senyumnya tidak berubah. "Silakan masuk."
Apartemennya sempurna. Terlalu sempurna. Tidak ada benda pribadi, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang sesungguhnya.
"Bagaimana perasaan Anda akhir-akhir ini?" tanyaku.
"Bahagia, tentu saja." Jawabannya otomatis.
"Apakah Anda pernah merasa... berbeda? Sebelum koreksi?"
Senyumnya memudar sedikit. "Kadang-kadang aku merasa... kosong. Tapi itu normal, bukan? Koreksi selalu membuatku merasa lebih baik."
Kosong. Kata itu menggema dalam pikiranku.
Di apartemen berikutnya, pola yang sama. Dan berikutnya. Dan berikutnya. Wajah-wajah tersenyum, kata-kata yang sama persis, kekosongan yang sama.
Saat aku kembali ke terminal pusat, aku membuat keputusan yang akan mengubah segalanya. Alih-alih meningkatkan dosis, aku memasukkan sekuens kode yang akan memperlambat penerapan koreksi berikutnya di seluruh sektor ini. Tidak mematikannya—itu akan segera terdeteksi—hanya memperlambatnya. Memberikan jendela kecil di mana orang-orang ini bisa merasakan sesuatu yang nyata.
"Status: Diagnostik selesai. Rekomendasi: Tingkatkan dosis 15%."
Aku mengabaikan rekomendasi sistem dan melaporkan bahwa kalibrasi telah disesuaikan. Tidak ada yang mempertanyakan—aku adalah salah satu pengembang utama algoritma ini.
Malam itu, di apartemenku, aku tidak menekan tombol penunda lagi. Aku membiarkan koreksi kebahagiaan mengalir melalui sistem sarafku, merasakan kehangatan palsu yang familiar, senyum yang secara otomatis muncul di wajahku. Tapi kali ini, aku merasakannya secara berbeda—aku mengamati diriku sendiri dari kejauhan.
Keesokan paginya, aku bangun dengan keputusan yang sudah bulat. Aku akan menginvestigasi lebih jauh. Ada sesuatu yang fundamentally salah dengan sistem ini—sistem yang turut kubuat.
Di laboratorium, aku mengakses data yang lebih luas. Menelusuri kembali tren kebahagiaan selama dua dekade terakhir. Di permukaan, grafik menunjukkan kenaikan stabil. Indeks Kebahagiaan Global meningkat dari rata-rata 5.2 menjadi 7.8.
Tapi ketika aku melihat data lain—tingkat bunuh diri, diagnosis gangguan mental, penggunaan obat terlarang—aku menemukan pola yang menggelisahkan. Secara resmi, semua metrik ini menurun. Tapi catatan medis menunjukkan ledakan dalam gangguan disosiatif, kondisi autoimun misterius, dan yang paling mengkhawatirkan: sindrom baru yang disebut "Kekosongan Terminal"—kondisi di mana pasien secara fisik sehat, menunjukkan indeks kebahagiaan normal, tapi secara bertahap berhenti melakukan aktivitas apapun. Mereka hanya... ada. Tersenyum, tapi tidak hidup.
ANDA SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time
Fantasi"Ada cerita-cerita yang tidak seharusnya ditemukan. Cerita yang, sekali Anda baca, akan mengubah cara Anda memandang dunia-selamanya." Di sebuah sudut tersembunyi perpustakaan kuno, tersimpan sebuah manuskrip bernama "Once Upon A Time." Mereka yang...
Chapter 33 (Happiness Algorithm)
Mula dari awal
