"Target awal adalah dua juta penduduk," kata sebuah suara tanpa wajah. "Fase pertama akan fokus pada area-area dengan tingkat protes tertinggi."
Jantungku mulai berdebar lebih cepat. Apa yang sedang kulihat? Aku menyesuaikan kontrol, menggali lebih dalam.
"Program ini adalah solusi jangka panjang untuk masalah kepatuhan sosial," kata klienku dalam kenangan itu. "Dengan penghapusan selektif, kita dapat menghilangkan ide-ide berbahaya tanpa kekerasan fisik. Lebih manusiawi daripada alternatif lainnya."
Napasku tercekat. Program penghapusan massal? Mereka berencana memanipulasi pikiran populasi? Keinginanku untuk segera menghentikan sesi berjuang dengan kewajiban profesionalku untuk melanjutkan. Tapi aku perlu tahu lebih banyak—perlu memahami skala penuh dari apa yang kuhadapi.
Lebih banyak kenangan mulai mengalir—laboratorium dengan perangkat penghapusan dalam produksi massal, peta dengan area target yang ditandai, dan proyeksi statistik tentang "penurunan resistensi sosial" setelah implementasi.
"Anda akan menjadi wajah program ini," kata suara lain dalam kenangan. "Kredibilitas Anda akan membuatnya dapat diterima publik."
Kenangan berikutnya menunjukkan klienku sendirian di kantornya, gelas wiski di tangan, menatap layar yang menampilkan profil-profil warga biasa. Ekspresinya menunjukkan konflik batin yang dalam.
"Aku tidak pernah menyetujui target non-kombatan," gumamnya pada diri sendiri. "Mereka mengubah parameternya tanpa sepengetahuanku."
Dia kemudian terlihat mengakses database, memodifikasi beberapa parameter, sebelum tersentak mendengar suara di luar ruangannya. Dengan terburu-buru, dia mengaktifkan perangkat penghapusan portabel di mejanya.
"Agar aku tidak bisa diinterogasi tentang perubahan ini," katanya sebelum kenangan itu berakhir dalam kekaburan.
Kini aku mengerti. Dia telah menghapus ingatannya sendiri sebagai bentuk perlindungan—baik untuk dirinya maupun untuk perubahan yang dia buat pada program tersebut. Tapi tanpa kenangan itu, dia tidak bisa memastikan bahwa modifikasinya tetap berlaku.
Aku menatap wajahnya yang tertidur, pikiran berkecamuk. Di tanganku ada kekuasaan untuk membentuk kembali ingatannya—untuk memberinya kembali kebenaran utuh, atau versi yang telah kuubah. Aku bisa memberinya kembali keberanian moral yang mendorongnya mengubah parameter program, atau aku bisa memanipulasi ingatannya untuk membuat dia menolak program itu sepenuhnya.
Tapi pikiran lain muncul: bagaimana jika dia sesungguhnya masih mendukung program tersebut, dan hanya keberatan pada beberapa detailnya? Jika kuberikan kembali ingatannya secara utuh, mungkinkah dia akan melanjutkan program dengan target yang lebih "tepat"?
Jari-jariku melayang di atas kontrol perangkat, kekuasaan yang tidak pernah kuminta kini berada dalam genggamanku. Keringat dingin mulai membasahi dahiku saat kuingat sumpah profesionalku: memulihkan, bukan merekayasa. Tapi sumpah itu dibuat dengan asumsi bahwa klienku tidak berencana melakukan kejahatan massal.
Dengan napas tertahan, kubuat keputusanku.
Empat jam kemudian, klienku mulai terbangun dari kondisi trance. Matanya mengerjap beberapa kali, tangannya menyentuh pelipisnya yang berdenyut.
"Berhasil?" tanyanya, suaranya serak.
Aku mengangguk pelan. "Sebagian besar telah dipulihkan. Bagaimana perasaan Anda?"
Dia terdiam lama, tatapannya menerawang seperti menyortir ribuan gambar dalam benaknya. "Aku... ingat sekarang. Program itu. Apa yang coba kulakukan."
Aku menunggu, waspada terhadap reaksinya, siap untuk kemungkinan terburuk. Apakah manipulasiku terhadap beberapa detail krusial dari ingatannya akan terdeteksi?
"Benar-benar... mengerikan," bisiknya. "Bahkan dengan niat baik yang kuklaim, itu tetaplah kejahatan."
Kelegaan membanjiriku, tapi kutahan ekspresiku tetap netral. "Ingatan kadang bisa memberikan perspektif baru."
"Aku harus menghentikannya," katanya, berdiri dengan tergesa. "Program ini masih dalam tahap persiapan, tapi peluncurannya dijadwalkan minggu depan. Masih ada waktu."
Dia meraih jasnya, mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkannya di meja—jauh lebih banyak dari tarifku biasanya.
"Terima kasih," ucapnya. "Kau mungkin baru saja menyelamatkan jutaan pikiran."
Setelah dia pergi, aku duduk dalam keheningan yang terasa mencekam. Apa yang telah kulakukan—memanipulasi beberapa kenangan, memperkuat rasa bersalah dan keraguan yang sudah ada dalam ingatannya asli—apakah itu dapat dibenarkan? Dalam upaya mencegah manipulasi massal, aku sendiri telah menjadi manipulator.
Tiga hari berlalu tanpa kabar. Aku nyaris tidak bisa tidur, terus memantau berita, mencari tanda-tanda tentang program tersebut atau nasib klienku. Kemudian, pada hari keempat, headline berita memenuhi layar: "Pejabat Senior Tewas dalam Kecelakaan Mobil Misterius."
Foto klienku terpampang di samping artikel. Kecelakaan terjadi di jalan sepi, tanpa saksi mata. Polisi menyatakan penyelidikan sedang berlangsung, tapi sudut artikel menyebutkan bahwa dia "dikenal dekat dengan proyek teknologi kontroversial yang belum diumumkan."
Tanganku gemetar saat kututup layar. Ini bukan kecelakaan—terlalu pas, terlalu tepat waktu. Aku telah mengirimnya ke kematiannya dengan mengembalikan (dan memodifikasi) ingatannya. Atau mungkin justru menyelamatkan jutaan orang dari manipulasi mental. Atau mungkin keduanya.
Seminggu kemudian, sebuah paket tanpa pengirim tiba di kantorku. Di dalamnya terdapat hard drive dan sebuah catatan singkat: "Bukti dan cadangan. Gunakan jika diperlukan. Kau akan tahu kapan." Tulisan tangannya kukenali sebagai milik klienku.
Hard drive itu berisi seluruh detail program—nama, lokasi, personel, dan bahkan kode sumber perangkat penghapusan massal. Dia telah mempersiapkan ini sebelum datang padaku, sebuah asuransi jika sesuatu terjadi padanya.
Kini aku memiliki pilihan lain yang sama sulitnya: menyimpan bukti ini sebagai perlindungan, atau mempublikasikannya dan mengungkap konspirasi tersebut. Keduanya membawa risiko besar. Jika mereka bisa "mengalihkan" seorang pejabat tinggi, apa yang akan mereka lakukan padaku?
Malam itu, sambil menatap hujan yang kembali turun di luar jendela, aku merenung tentang memori dan tanggungjawab. Kita semua menghapus kenangan dalam cara kita sendiri—mengubur rasa sakit, melupakan kesalahan, memoles masa lalu. Tapi ada perbedaan antara melupakan dan dihapuskan, antara pilihan dan paksaan.
Kuletakkan hard drive itu dalam brankas tersembunyi di lantai kantorku, di bawah foto-foto klien yang telah kutolong. Sebuah kenangan yang disimpan, menunggu waktu yang tepat—atau mungkin berharap untuk tidak pernah dibutuhkan.
Besok pagi, seorang klien baru akan datang, dengan kenangan pribadi yang ingin dipulihkan. Aku akan membantunya, seperti biasa. Tapi sekarang, setiap kali kuaktifkan perangkat restorasiku, aku akan bertanya-tanya: berapa banyak kenangan lain yang telah dihapus bukan oleh pilihan, tapi oleh mereka yang menganggap pikiran kita sebagai wilayah yang bisa dikuasai? Dan berapa lama sebelum mereka datang untuk menghapus ingatanku juga?
Hujan terus turun, menghapus jejak-jejak di jalanan seperti waktu yang perlahan mengikis ingatan. Aku tetap terjaga, menatap dalam kegelapan, seorang penjaga kenangan dalam dunia yang semakin lupa akan harga dari sebuah pikiran bebas.
YOU ARE READING
Once Upon A Time
Fantasy"Ada cerita-cerita yang tidak seharusnya ditemukan. Cerita yang, sekali Anda baca, akan mengubah cara Anda memandang dunia-selamanya." Di sebuah sudut tersembunyi perpustakaan kuno, tersimpan sebuah manuskrip bernama "Once Upon A Time." Mereka yang...
Chapter 26 (Memory Eraser)
Start from the beginning
