Chapter 1 (Memory Library)

Începe de la început
                                        

Para dokter mengatakan bahwa ingatan itu mungkin tidak akan pernah kembali. Mereka menyarankanku untuk melanjutkan hidupku, tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa meninggalkannya. Jadi, aku memutuskan untuk tetap bersamanya meskipun ia tidak mengenalku lagi.

Tapi ia menolak. Ia tidak bisa menerima gagasan bahwa ia pernah memiliki kehidupan yang tidak diingatnya. Ia memutuskan untuk memulai hidupnya dari awal, tanpa aku dan anak kami.

Air mata mengalir di pipiku saat aku membaca kata-kata terakhir dari bukunya: "Aku harap suatu hari ia akan mengingatku kembali. Aku telah meninggalkan petunjuk-petunjuk untuknya, termasuk foto kami di perpustakaan. Mungkin suatu hari, ia akan melihat foto itu dan semuanya akan kembali."

Foto di perpustakaan. Foto yang baru saja kuterima kemarin malam.

Seolah ada yang memutar kunci di dalam kepalaku, memori-memori mulai membanjir masuk. Hari hujan itu, teh hangat yang kami nikmati bersama sambil berbicara tentang buku-buku favorit kami, pernikahan sederhana kami di taman belakang perpustakaan, kelahiran anak perempuan kami yang kami beri nama sesuai dengan judul buku favorit kami bersama.

Dan kemudian, kecelakaan itu. Telepon yang berdering di tengah malam, berlari ke rumah sakit dengan jantung berdebar kencang, menemukan ia terbaring tak sadarkan diri dengan perban melilit kepalanya.

Hari-hari panjang menunggu di rumah sakit, harapan yang berubah menjadi kekecewaan ketika ia akhirnya membuka mata tapi tidak mengenalku.

Dan kemudian keputusan tersulit dalam hidupku: membiarkannya pergi, membiarkannya hidup tanpa beban masa lalu yang tidak diingatnya. Aku menyerahkan anak kami kepada orangtuanya untuk dirawat, sementara aku kembali ke perpustakaan ini, tempat segala sesuatunya dimulai, berharap suatu hari ingatan itu akan kembali.

Tapi alih-alih menunggunya mengingat, aku yang justru melupakannya. Entah bagaimana, pikiranku telah menghapus semua kenangan tentangnya dan kehidupan kami bersama, mungkin sebagai mekanisme pertahanan untuk melindungiku dari rasa sakit kehilangan.

Suatu hari, seseorang—saudara perempuannya, aku ingat sekarang—datang ke perpustakaan dan berkata bahwa ia sedang mencoba untuk mengembalikan ingatan saudaranya tentang masa lalunya. Ia bertanya apakah aku bersedia membantu. Aku, yang saat itu sudah lupa tentang kehidupan kami bersama, menolak dengan kebingungan. Ia meninggalkan perpustakaan dengan kekecewaan, tapi tidak sebelum menyelipkan sebuah buku ke salah satu rak—buku biru tua yang kutemukan beberapa hari lalu.

Semua memori itu kembali dengan sangat jelas sekarang, seperti air bah yang menghancurkan bendungan. Aku menangis tersedu-sedu di lantai perpustakaan, menggenggam foto kami dan buku hijau tua itu.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus mencarinya? Apakah ia masih ingin melihatku setelah semua waktu yang berlalu? Bagaimana dengan putri kami? Apakah ia masih mengingatku?

Dengan tangan gemetaran, aku mengambil telepon dan memanggil nomor yang tertulis di bagian belakang foto. Setelah beberapa kali dering, seseorang mengangkat.

"Halo?" Suara seorang wanita muda.

"Halo," aku menelan ludah, suaraku hampir tak terdengar. "Saya... saya ingin berbicara dengan..."

Aku menyebutkan namanya, nama yang selama ini terkubur dalam ingatanku.

"Ayah?" Wanita muda itu bertanya, suaranya penuh harapan.

Itu dia, putriku. Anakku yang tidak pernah kuingat.

"Ya," jawabku, air mata kembali mengalir. "Ini... ini aku."

"Oh, ayah!" ia berseru, suaranya bergetar oleh emosi. "Kami telah menunggumu sangat lama. Apa kau... apa kau ingat sekarang?"

"Ya," aku menjawab, menyeka air mata dengan lengan bajuku. "Aku ingat semuanya. Maafkan aku telah melupakan kalian."

"Tidak apa-apa," ia menjawab dengan lembut. "Kami tahu itu bukan kesalahanmu. Setelah kecelakaan itu... dokter mengatakan bahwa traumanya mungkin terlalu berat untuk dihadapi oleh pikiranmu. Mereka mengatakan bahwa kau mungkin mengembangkan semacam amnesia protektif."

"Dimana... dimana ayahmu?" tanyaku, jantungku berdebar kencang menantikan jawabannya.

"Ia di sini, bersamaku," jawabnya. "Kami telah mencarimu selama bertahun-tahun. Ia mulai mengingat sedikit demi sedikit, tapi tidak cukup untuk menemukanmu sendiri. Jadi kami mencoba cara lain—buku itu, foto itu."

"Bisakah aku... bisakah aku berbicara dengannya?"

Ada jeda sejenak, kemudian suara lain muncul di telepon. Suara yang kukenali dengan baik, suara yang telah kucintai dan kurindukan tanpa kusadari.

"Halo," ia berkata, suaranya lembut.

"Halo," aku membalas, mati-matian menahan isak tangis. "Ini aku."

"Akhirnya," ia berbisik, suaranya juga bergetar oleh emosi. "Akhirnya kau ingat."

Kami berbicara selama berjam-jam, mencoba mengisi kekosongan bertahun-tahun yang telah berlalu. Ia menceritakan tentang kecelakaannya, tentang bagaimana ia perlahan mulai mengingat potongan-potongan kehidupan kami bersama, dan tentang bagaimana ia akhirnya memutuskan untuk mencariku meskipun ingatannya masih belum lengkap.

"Putri kita sangat mirip denganmu," katanya pada suatu titik dalam percakapan kami. "Ia memiliki cintamu pada buku dan cerita. Ia selalu yakin bahwa suatu hari kau akan kembali kepada kami."

Kami setuju untuk bertemu keesokan harinya di tempat yang sangat berarti bagi kami—perpustakaan ini. Tempat di mana segala sesuatunya dimulai.

Malam itu, aku tetap tinggal di perpustakaan, membaca dan membaca buku biru tua dan buku hijau tua itu, mencoba mengisi kekosongan yang masih tersisa dalam ingatanku. Ketika fajar mulai menyingsing, aku berdiri dan berjalan ke jendela bundar di ruangan belakang, menatap taman yang sekarang diterangi oleh cahaya pertama matahari.

Dan di sana, di bawah pohon oak tua, aku melihat dua sosok yang menungguku—putri yang tidak pernah kuingat dan cinta yang telah kulupakan.

Dengan jantung berdebar dan tangan sedikit gemetar, aku berjalan ke pintu perpustakaan. Untuk pertama kalinya dalam entah berapa lama, aku merasa lengkap, merasa bahwa kehidupan yang kujalani selama ini hanyalah bagian dari cerita yang lebih besar, cerita yang masih harus dilanjutkan.

Ketika kubuka pintu dan melangkah keluar, aku akhirnya mengerti makna sejati perpustakaan memori: bahwa ingatan kita adalah buku yang terus ditulis, bahwa kehidupan kita adalah cerita yang terus berkembang, dan bahwa cinta, bagaimanapun juga, adalah bab yang tidak pernah benar-benar berakhir, bahkan ketika kita melupakannya untuk sementara waktu.

Dan saat aku berjalan mendekati mereka, sebuah pemikiran melintas di benakku: bahwa realitas mungkin bukan hanya satu garis lurus, tapi banyak jalur yang bersilangan dan bertautan, dan bahwa kehidupan yang kita jalani mungkin hanyalah satu dari banyak kemungkinan, satu dari banyak cerita yang bisa kita pilih untuk dihidupi.

Apa pun itu, aku tahu satu hal dengan pasti: ceritaku baru saja menemukan jalannya kembali, dan bab baru kehidupanku akan segera dimulai.

Once Upon A TimeUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum