Chapter 1 (Memory Library)

Comenzar desde el principio
                                        

Tapi itu tidak pernah terjadi. Aku tidak pernah bertemu dengan orang seperti itu. Aku telah menghabiskan hidupku sendirian, tenggelam dalam dunia buku dan selalu merasa cukup dengan kesendirianku.

Atau itulah yang kuingat.

Dengan tangan yang semakin gemetar, aku menutup buku itu dan meletakkannya di atas meja. Kepalaku terasa berputar. Apakah ingatanku yang salah? Apakah kehidupan yang kujalani selama ini hanyalah ilusi?

Aku bangkit dari kursi, mengelilingi ruangan kecil itu dengan langkah-langkah gelisah. Kemudian, terdorong oleh rasa penasaran yang tak tertahankan, aku kembali ke rak buku tempat aku menemukan buku tersebut. Dan di sana, aku melihatnya—ratusan, bahkan mungkin ribuan buku serupa, masing-masing dengan sampul kulit berbeda warna, namun tanpa judul atau nama pengarang.

Dengan rasa takut yang bercampur penasaran, aku mengambil salah satu buku secara acak. Sampulnya berwarna merah marun. Ketika kubuka, aku melihat nama seseorang yang tidak kukenal. Di bawah nama itu, terdapat tanggal lahir, diikuti oleh tanggal kematian.

Aku mengambil buku lain, lalu buku lain lagi. Setiap buku berisi kehidupan seseorang, dari lahir hingga mati, diceritakan dengan detail yang luar biasa. Aku bahkan mengenali beberapa nama—beberapa pengunjung tetap perpustakaan, penjual roti di seberang jalan, bahkan penjaga taman yang selalu kusapa setiap pagi.

Ini bukan perpustakaan biasa. Ini adalah perpustakaan memori—tempat di mana kehidupan setiap orang disimpan dalam bentuk buku.

Tapi jika demikian, mengapa bukuku memiliki dua versi kehidupan yang berbeda? Mengapa ada bagian yang tidak sesuai dengan kenyataan yang kuingat?

Selama beberapa hari berikutnya, aku hidup dalam kebingungan. Aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Mataku terus melirik ke arah ruangan belakang, tempat buku biru tua itu berada. Pada malam hari, aku berbaring di tempat tidurku yang sempit di apartemen kecilku, menatap langit-langit sambil memikirkan kehidupan alternatif yang tertulis dalam buku itu.

Orang dengan mata hangat dan senyum yang membuat jantungku berdebar. Siapa dia? Apakah dia nyata? Apakah kami pernah benar-benar bertemu dan aku melupakannya? Atau apakah itu hanya fiksi, sebuah "jalan yang tidak diambil" dalam kehidupanku?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku hingga akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke ruangan belakang dan mengambil buku itu lagi. Kali ini, aku membacanya lebih lambat, mencoba mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan sebelumnya.

Menurut buku itu, pertemuan kami terjadi pada tanggal yang sangat spesifik, lima tahun yang lalu. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi pada hari itu. Ya, aku ingat hari itu—hari di mana hujan turun dengan lebat dan perpustakaan hanya memiliki sedikit pengunjung. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di ruangan belakang, menyortir buku-buku baru yang baru saja diterima.

Tapi menurut buku ini, pada hari itu seseorang datang mencari perlindungan dari hujan. Seseorang yang basah kuyup dan kedinginan, yang kuminta untuk masuk dan menghangatkan diri dengan secangkir teh hangat yang selalu kusediakan di kantorku.

Tidak, itu tidak terjadi. Aku yakin itu tidak terjadi. Aku tidak pernah mengundang siapa pun ke kantorku. Aku bahkan tidak punya kebiasaan menyeduh teh di kantor.

Atau apakah aku punya?

Kubuka laci mejaku dan di sana, di sudut paling belakang, aku menemukan sebuah cangkir teh tua yang tidak kuingat pernah memilikinya. Cangkir itu memiliki motif bunga-bunga kecil berwarna biru, persis seperti yang dideskripsikan dalam buku.

Jantungku berdebar kencang. Aku mulai meragukan ingatanku sendiri. Apakah memang ada bagian dari hidupku yang terhapus? Apakah ada versi kehidupan lain yang pernah kujalani?

Once Upon A TimeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora