PROLOG

71 32 2
                                        

Mereka bilang cinta bisa membuat orang jadi buta. Tapi aku tidak buta.

Aku lumpuh total.

Ada banyak keputusan buruk yang pernah kuambil dalam hidup. Seperti ketika aku memotong poni sendiri waktu SD karena ikut-ikutan trend, atau ketika aku balas melemparkan bola basket ke hidung temanku sampai dia mimisan lalu kami berdua berakhir dikeluarkan dari tim.

Tapi, tidak ada yang bisa mengalahkan keputusan terbodoh yang satu ini.

Yaitu masuk ke Klub Problem Solving.

Nama yang terdengar serius, cerdas, dan dewasa. Sampai kau tahu fakta bahwa klub ini diisi oleh orang-orang aneh yang mengaku "menangani masalah siswa" dengan cara yang lebih bermasalah.

Dan aku bergabung dengan mereka atas nama kebodohan. Duduk bersama di ruangan sempit, pengap, dan terbuang ini--bahkan aku ragu ini memang ruangan resmi mereka. Penuh dengan coretan dan kertas-kertas di papan tulis seolah sedang merancang kudeta. Satu orang di depanku terus mengomel dan tak henti merencanakan rapat perdana, satu orang lagi sibuk menyalakan proyektor entah untuk apa, sementara dua orang lagi di sudut sana duduk di lantai memecahkan teka-teki silang raksasa, seperti itu hal yang sangat penting dilakukan hari ini.

Aku ingin menjerit.

Satu minggu yang lalu aku bahkan tidak tahu klub ini ada.

Hari ini aku resmi jadi anggotanya.

Kenapa? Karena cowok bernama Keano Riki itu.

Cowok paling mematikan yang pernah kulihat. Cowok yang menjadikan keringat terlihat seperti aksesoris mode. Dengan rambut ikal yang berantakan seperti dia baru bangun tidur dan langsung jadi model katalog pakaian pria, kulit sawo matang yang bersinar di bawah matahari, dan cara dia tersenyum miring seolah sedang menggoda siapa saja--aku sadar aku jatuh saat itu.

Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang klub ini. Hanya satu hal yang kutahu: Keano Riki menuliskan "Problem Solving" di kertasnya.

Dengan bolpoin.
Dengan huruf kapital.
Tanpa coretan.
Lalu aku tanpa berpikir panjang--bahkan tanpa berpikir sama sekali--aku menyalin tulisannya seperti orang idiot yang bermain tebak-tebakan nasib. Tanpa pernah aku ketahui bahwa itu hanyalah candaan di antara dia dan teman-temannya.

Candaan mereka untuk mendaftar di klub yang dikenal anak-anak lain sebagai 'klub para babu sekolah'.

"Eh dek, siapa nama kamu tadi?" Senior itu menunjukku.

Aku menghela. Tersenyum masam ke arah semua orang di dalam ruangan itu.

"Namaku Lilis"

Dan ini adalah kisah bagaimana rencana besarku untuk tampil bersinar di SMA swasta elit itu--untuk dikenal, diakui, dan tidak disepelehkan--justru berantakan karena satu kesalahan:

Rasa suka yang terlalu dini dan terlalu tolol.

PROBLEM SOLVING

PROBLEM SOLVINGWhere stories live. Discover now