Part 3 (Jono Oh Jono)

139 117 37
                                        

Hari ini Sabtu, maka Bima bisa menghela nafas dengan santai menikmati subuh yang sejuk. Memiliki enam adik sungguh berat bagi Bima, Adis dan Adi yang sering berkelahi.

Atau Dina sebagai ratu kedua di rumah yang sering mengomel kepada semua orang-kecuali Ibu-juga Bara sang adik bungsu yang makan saja masih harus diurus.

"BANG, BANG BIMA!"

Ia lupa adiknya pertama ini, Adim. Selain hobi menurunkan sarung Pak Aziz, ia juga sering membawa pulang rambutan Pak Dedi.

"Ngapain lo lari-lari, dari mana sih?" Bima menatap Adim yang ngos-ngosan mengatur nafas.

Setelah Bima pulang dari masjid, adik pertamanya itu pamit pergi duluan. "Habis nyolong rambutan, kan lo?" Tuduh Bima.

Adim menggeleng lemah, "Bukan."

Bima mengerutkan kening, "Terus?"

Adim menghela nafas panjang, ia meringis, mengeluarkan mangga dari pecinya.

"Nih, mangga, Bang." Mata Bima melotot.

"Nyolong mana lo?"

"Dih, nyolong. Ini mah halal atuh, Bang."

Bima menerima dua mangga harum tersebut, "Kalo halal harus lari juga?" tanyanya heran.

Adim tersenyum kecut, "Yang nggak halal ini," lanjutnya mengeluarkan satu buah buah naga dari sarungnya di punggung.

"Orang gila."

Meski begitu, Bima tetap tertawa. Kebiasaan Adim mengambil buah sembarang ini bukan tanpa sebab, karena Pak Dedi yang pelit atau karena ada tetangga yang ingin tapi tidak bisa beli buah.

"Besok jangan lagi, enak banget lo ambil yang dimarahi gue." Adim mengangguk saja, tidak akan ia laksanakan.

"Sana mandi, lo harus sekolah hari ini. Udah jam setengah enam, buruan."

***

Dina menjambak rambut Adim keras, "Makanya jangan suka bikin ulah kenapa sih?!" Lalu menoyor jidat Adim keras.

Sang korban hanya bisa menghela nafas kesakitan.

Setelah Pak Dedi datang pagi tadi, sialnya bukan Bima yang kena, namun Dina.

Dapat wejangan dan amarah dari Pak Dedi. Hingga kali ini, Adim tidak lolos. Adim kembali menjadi sasaran amuk Dina sebagai pelampiasan.

"Udah, udah. Nanti Ibu yang belikan buah naga ke Pak Dedi, kalian berangkat sana." Ibu mengusap rambut Adim sekilas lalu tersenyum ke Dina.

"Berangkat, Bu." Mereka melangkah ke luar. Menuju Bima yang menahan tawa sambil memainkan ponselnya, Adim melirik geram.

Mampus, kata Bima tanpa suara.

"Ayo, Bang." Mereka bonceng tiga, menuju sekolah. Dina dan Adim memang satu sekolah. Kembar.

***

"Nanti pulang jalan aja, agak siang Abang ada latihan basket." Kedua adiknya itu mengangguk patuh, setelah bersalaman akhirnya Bima meninggalkan keduanya.

Lampu kuning berubah merah, motor Bima berhenti. Bersamaan dengan suara keras di depan. Seseorang kecelakaan. Beberapa orang mendekat, Bima melotot tidak percaya.

"Celo?"

Motor Bima ia taruh begitu saja, berlari mendekat ke arah motor yang ia kenal. Motor temannya.

"Mbak sakit daerah mana, Mbak?" Ibu-ibu mengitari motor Celo.

Kening Bima semakin tajam, Mbak?

"Sa-Saya nggak apa-apa, Bu, Pak."

"Nggak apa-apa, piye to. Itu lho, jidatnya keluar darah," sahut Bapak-bapak dengan cepat. Bima menerobos kerumunan.

"Ara?"

Gadis yang terpanggil mendongak, "Bima..." Matanya mulai merah, ia mengeluarkan air matanya deras.

Bima berjongkok, "Mana yang sakit?"

Ara menggeleng, para warga membantu menepikan motor dan Ara. "Mas pacarnya ya?" tanya salah satu Ibu.

Jantung Bima berdegup, sial, bukan saatnya salah tingkah.

"Teman saya, Bu." Setelah itu semua kembali membantu.

"Mana yang sakit?" tanya Bima pelan. Takut Ara kembali menangis, meski sekarang masih sesenggukan.

Ara menggeleng kecil, ia menarik kemeja flanel Bima hingga merunduk. "Malu, Bim," cicitnya pelan.

Bima mengulum senyumnya, ia mengusap rambutnya sendiri. Gemas, batinnya.

"Mas, bawa ke rumah sakit aja."

Bima mengangguk, "Sekarang ke rumah sakit dulu, jangan malu," balasnya. Mengecilkan volume suaranya di akhir.

Hingga beberapa saat ambulan datang, Bima mengangguk sekali pada Ara sebelum gadis itu masuk ke mobil. Segera Bima kembali ke motornya, hendak mengikuti Ara.

Ia mengambil ponselnya, "Gue sharelok, Jono lo kecelakaan."

***

Bima duduk di luar, setelah mengabarkan Celo bahwa Jono-motor yang dibawa Ara-kecelakaan.

Setelahnya adik kakak itu menghabiskan waktu di dalam saling tukar cerita.

Bima memilih menyesap kopi di luar ruangan, "Gimana?" tanyanya saat Celo keluar.

"Cuma cidera biasa, kepalanya juga cuma goresan biasa. Lo kan yang ngasih tau gue, Bambang!" Celo mendengus keras, karena memang Bima lebih tau duluan dibanding Celo.

"Jono maksudnya."

Celo menoleh segera, "Plat motor lepas, bagian depan parah banget. Gue sedih anjir," katanya menggaruk kepalanya.

"Tunggu, lo tau Ara kecelakaan dari siapa?" Celo baru sadar.

"Gue lah, kebetulan lewat. Awalnya gue kira lo, ternyata Ara. Kenapa bisa Ara pakai motor lo?" Secara motor Aerox itu cukup besar untuk Ara.

"Dia pinjam, nggak nyangka bisa babak belur dua-duanya."

Mereka terkekeh kecil, "Lo izin latihan hari ini?" tanya Bima.

Celo menggeleng, "Ara boleh pulang. Gue bisa pergi nanti," katanya.

Tiba-tiba Celo menepuk jidat, "Gue belum pesan taxi." Ia segera membuka ponselnya.

"Gue udah pesan," sambar Bima segera.

Celo menoleh lalu tersenyum, "Baik banget teman gue satu ini, udah datang? Kalo udah langsung pulang aja. Sejam lagi kita harus latihan basket."

Bima mengangguk, mereka lantas berdiri menghampiri Ara di dalam. Gadis itu tengah memutar kedua lengannya, setelahnya Celo yang mendorong kursi roda.

Meski harus saling geplak karena Ara merasa bisa berjalan dengan dipapah, namun Celo mana mau membantu Ara. Yang ada Bima jadi tumbal, bisa senang kalo gitu.

Pintu taxi sudah terbuka, meski Ara hanya cidera, namun dalam kutip kakinya diperban. Ara menoleh, "Bim, thanks ya."

Bima tersenyum sambil mengangguk, "Lain kali hati-hati ya." Celo mencibir di samping Ara, mengejek kelembutan Bima.

"Bim, lo jemput gue di rumah sebelum berangkat ya?"

Bima mengangguk, lalu membiarkan Celo pergi bersama Ara dengan taxi. Bima menyentuh dadanya, "Apa gue perlu periksa jantung?"

***

Owww, syitmenn😱

Bima mulai kejedar kejedor, anw guys aku bukan orang yang bisa mengeluarkan listrik atau bisa angkat beban.

Jadi, stop THAR THOR THAR THOR!!

Panggil aja giara, gigi boleh juga. Oke?

Gimana, komen untuk bab ini >>

Udah vote? See u babay!

Januari untuk Desember [continue]Where stories live. Discover now