𖧷𖧷𖧷

Sementara itu di ruangan OSIS, Adiva tengah memasang wajah jengkel yang tak enak jika di pandang.

Dia kini sedang berdiri berhadapan dengan Nando.

"Bisa gak sih gak suruh ngurusin hidup orang?!" Adiva berkata sinis.

Nando yang menjadi lawan bicara justru mengernyitkan dahi.

"Gue gak ngurusin hidup orang kok," kilahnya.

"Gue kasihan aja sama Adran. Mukanya udah kusut banget pengen pulang, tapi malah dikasih kerjaan gak penting bikin dia direpotin."

Nando bersandar pada salah satu meja yang ada di ruangan itu. Tepat di belakangnya ada Sindi yang duduk di kursi sambil berpura-pura membaca buku, padahal hanya membulak-balik halaman saja.

Ia hanya tidak mau terlibat saja.

"Gue yakin dia gak ngerasa direpotin tuh." Adiva mendengkus kasar, melipat kedua lengannya di depan dada. Dia merasa ucapannya benar.

"Dari mananya coba dia gak ngerasa direpotin. Lo nyuruh dia beresin buku, benerin rak buku. Itu hal sepele yang gak perlu Adran dikerjain. Please 'lah Div, lo jangan seenaknya gini." Nando sedikit menaikan intonasi pada ucapannya, ingin memberikan sedikit peringatan.

"Kemarin lo ngirim photo di grup yang bikin grup rame, untungnya Nazila gak nanggapin sama sekali. Jadi masalah bisa cepet clear, kedepannya bisa gak sih lo jangan bikin masalah?"

"Loh?" Adiva memasang wajah shock. "Kok gue yang bikin masalah? Bukannya dari awal si cewek pick me itu biang masalahnya?!"

"Stop, Div!" Nando mengangkat tangannya ke udara.

"Bukan itu yang mau gue bahas, jabatan wakil ketua OSIS bukan buat dipake ngehukum dan nyuruh semau lo."

"Apaan sih, gue cuman minta tolong. Bukan nyuruh!"

"Kok sikap jadi gini sih, Div? Perasaan dulu gak gini." Nando merasa sangat pangling menyadari perubahan sikap Adiva.

"Sikap gue dari dulu gini kok, lagian ... gue ngehukum juga ada alasannya kali. Lo gak bisa bilang gue seenaknya dong!" Adiva membentak. "Udahlah! Ngomong sama orang egois kayak lo buang-buang waktu!"

Belum sempat Nando mengeluarkan kata balasan, Adiva sudah keluar ruangan dengan membanting pintu.

Nando menggelengkan kepalanya beberapa kali tak habis pikir dengan tingkah Adiva. Padahal ia berusaha bicara baik-baik tadi.

"Kok jadi gue yang dikatain egois sih?" batinnya.

"Yah ... dia ngambek tuh." Sindi yang dari bergeming membuka suara.

"Ya mau gimana lagi, mungkin gue tadi agak keterlaluan juga ngomongnya." Nando memijat pangkal hidungnya.

"Omongan lo udah bener kok, cuman Adivanya salah nangkep aja," ucap Sindi. Yang salah memang Adiva, jadi tak seharusnya Nando merasa bersalah.

"Adiva beda banget sikapnya akhir-akhir ini, gue gak tau cara ngadepin Adiva yang sekarang," keluh Nando.

"Dia sebenernya udah ngeselin dari dulu tau." Sindi memberi tahu.

"Serius?" tanya Nando tak percaya.

"Iya!" Sindi memberi penekanan. "Cuman dulu dia nunjukin sikapnya yang kayak gitu ke gue doang, sekarang malah ke semua orang secara terang-terangan."

"Jangan-jangan itu sikap aslinya?" Nando memegang dagu, memikirkan kemungkinan bahwa selama ini Adiva memakai sikap palsu dan kini terkuak sikap aslinya.

"Gue gak tau. Dia jadi ngeselin semenjak putus sama Nathan."

Nando membalikan tubuhnya menghadap Sindi. "Masa sih?" Lagi-lagi ia tak percaya.

"Sumpah, serius! Orangtuanya Adiva kerja di luar negeri gak ada waktu di rumah, dia kalau ada apa-apa ya curhat sama Nathan. Kalau putus dia curhat sama siapa dong? Mungkin karena itu dia ngelampiasinnya ke siapa aja." Sindi memberikan penjelasan yang mungkin masuk akal, karena pasti Adiva punya alasan di balik perubahan sikapnya.

"Lo 'kan temennya, gak bisa apa lo dengerin cerita dia?" Setahu Nando, Sindi dan Adiva itu dekat sebagai teman dari awal mereka masuk di sekolah ini. Jika diingat-ingat Adiva tidak punya temen lain yang sangat dekat selain Sindi.

"Kayak gak tau aja gue gimana. Mana bisa gue nyimpen rahasia punya orang, sekalinya ngerumpi bocor semua tuh rahasia."

Nando menghela napas. Benar juga, tak mungkin Adiva mau menceritakan masalahnya pada gadis yang hobi bergosip seperti Sindi. Bisa-bisa seluruh sekolah tau masalahnya, wajar jika Adiva tidak memiliki kepercayaan pada Sindi, dia pasti memendam permasalahnnya sendiri.

"Kok gue suka cerita sama lo gak pernah bocor ya?"

"Itu karena ...." Sindi nyegir membuat Nando bingung.

"Karena apa?" Lelaki itu menuntut penjelasan karena Sindi tak kunjung melanjutkan ucapannya.

"Kalau gue cerita ke yang lain, ntar lo gak mau cerita ke gue lagi," bisik Sindi seraya menundukan kepala.

"Udah gue duga," ujar Nando, prasangkanya tepat sasaran.

"Kenapa lo gak bisa jadi pendengar buat Adiva juga?" Bila Sindi bisa menjaga rahasianya, lalu kenapa tidak dengan Adiva? Pikir Nando.

"Kenapa gak lo aja yang jadi pendengar Adiva?" Sindi mengalihkan pembicaraan, ia enggan membalas pertanyaan Nando.

"Adiva sekarang lagi butuh seseorang buat dijadiin sandaran, kenapa gak lo coba deketin dia? Lu ...  masih suka 'kan sama Adiva?" tanya Sindi ragu-ragu, bisa saja perasaan Nando sudah berubah sekarang.

"Perasaan lo masih sama'kan?" lanjutnya.

"Ide lo bagus juga, mungkin gue bisa jadi pendengar buat Adiva," kata Nando setuju dengan usul Sindi.

"Pendengar doang? Gak mau lebih?" tanya Sindi beruntun, ia masih tak puas jika pertanyaan belum dijawab dengan benar.

"Gak. Gue pernah ditolak Adiva, Sin," ungkapnya mengejutkan bagi Sindi.

"Lo pernah nembak dia?" tanya Sindi memastikan.

Nando menggeleng pelan. "Ditolak secara halus, waktu itu sebelum dia jadian sama Nathan."

"Oh gitu," Sindi berucap lirih, "cewek bukan cuman Adiva doang, gimana kalau ternyata ada cewek lain yang suka sama lo, Nan?"

"Gak tau, gue gak mau pacaran dulu sekarang. Fokus dulu sama sekolah."

"Baguslah, sekolah emang lebih penting." Setelah mengatakan kalimat itu Sindi bungkam, ia tak membuka mulut lagi.

Merasa tak ada topik yang perlu dibicarakan lagi, Nando melihat jam tangan hitam yang melingkari lengan kirinya.

"Udah sore nih, gue pulang duluan ya," pamitnya, "lo juga jangan lama-lama di sini, besok aja dilanjut."

"Oke, sip."

Sindi melambaikan telapak tangan di udara. "Bye."

Detik berikutnya Nando melenggang pergi meninggalkan ruangan OSIS, ia menghilang dari pandangan Sindi usai menutup pintu.

Derap langkah Nando perlahan mejauh dan menghilang dari pendengaran Sindi. Gadis itu menghela napas dalam-dalam.

"Lo cuman mau pacaran sama Adiva, bukan karena mau fokus sekolah."

*
*
*
*
TBC

Kalau ada yg typo atau salah dalam penempatan kata, tolong kasih tau ya! Plis, udah aku baca lagi sebelum publish tapi mungkin ada kelewat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 12, 2024 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Because You! 「On Going」Where stories live. Discover now