7. Day Six

2 1 0
                                    

Syaima menutup Al-Qur'an setelah selesai membaca surat Al-Mulk disambung As-Sajadah. Hanan memberi tantangan harus menghafal, tetapi Syaima tidak melakukannya. Menurut gadis itu, rutin dibaca setiap malam sudah cukup membuatnya hafal walau tidak begitu lancar hingga di luar kepala.

Sudah pukul sepuluh malam, ketika Syaima selesai melaksanakan salat terawih munfarid dan bentuk ibadah lainnya di musholla kecil dalam rumah. Gadis itu memilih untuk tetap di rumah daripada pergi ke masjid dan melaksanakan salat terawih berjamaah.

Hanan tidak tahu, jika Syaima melakukan ini bukan tanpa sebab. Namun bukan pula menghindari bertemu dengan Hanan. Melainkan atas atas alasan yang jelas.

Katanya, perempuan itu lebih baik salat munfarid di rumah daripada di masjid berjamaah, lebih baik salat di ruang tamu daripada di luar rumah, dan lebih baik salat di kamar daripada di ruang tamu.

Itu berdasarkan hadist shahih yang pernah Syaima dengar. Bahkan gadis itu sempat bertanya kepada Bapak, "Kenapa lebih baik di rumah sendiri daripada berjamaah di masjid? Secara, 'kan, berjamaah itu lebih banyak pahalanya."

Bapak menjawab, "Bukan perihal pahalanya, Ima. Tapi perihal kehormatan perempuan. Kalau ke masjid, jalannya dari rumah sampai ke masjid pasti bertemu sama yang bukan mahrom, apalagi kalau di masjidnya disatuin berjamaah perempuan dan laki-laki."

"Berarti perempuan gak boleh berjamaah dong?" Syaima kembali bertanya ragu.

Bapak tersenyum lalu menjawab, "Bukan begitu. Catatan kalau imam dan makmumnya perempuan ya silakan. Misalkan digelar khusus perempuan, itu jauh lebih baik."

"Masalahnya, di sini rata-rata berjamaah di masjid itu cowok-cewek disatuin, paling kepisah sama gorden. Pas keluar, tetep aja ketemu," ungkap Syaima dibalas anggukan Bapak.

"Yaudah mending di rumah aja, Ima."

Syaima mengerutkan kening. "Tapi kalau di rumah malah jadi gak salat terawih, itu gimana?"

"Ya mending ke masjid lah, daripada gak salat sama sekali," sahut Bapak disertai kekehan di ujung kalimatnya.

Syaima melipat mukena dan sajadah, lalu meninggalkan musholla, sendirian. Mamah tidak terawih, wanita itu hanya melaksanakan salat fardhu. Sebab waktu itu Mamah pernah mencoba salat bersama Syaima, tetapi Syafa terus-terusan mengganggu keduanya. Jadilah Mamah mengalah, daripada terus-terusan batal salatnya.

Mencomot beberapa gorengan sisa berbuka, Syaima mengunyah seraya mendengarkan pengeras suara dari masjid. Terdengar orang yang bersholawat juga mengaji.

"Assalamualaikum!" seru Sena dan Bapak setelah membuka pintu, mereka pulang dari masjid dengan Sena yang menenteng kantong keresek berisi bakso.

"Waalaikumsalam," sahut Syaima. "Sini ngemil," tawarnya.

Bapak menanggapi dengan anggukan sementara Sena bergerak mengambil mangkuk. "Bakso nih, Teteh mau gak?" tawarnya.

"Mau dong!"

"Aa! Aku juga mau basoo!" seru Syafa yang berlari dari kamar, ketika mendengar Sena membawa bakso, disusul oleh Mamah.

"Dede belum bobo?" tanya Bapak.

Syafa menggeleng. "Belum," katanya.

Mamah menimpali, "Dari tadi main, disuruh tidur malah ketawa-ketawa."

Syafa yang merasa dibicarakan malah cengengesan. Menit selanjutnya Mamah menusuk bakso dengan garpu lalu diberikan kepada Syafa, anak itu loncat-loncat kegirangan.

Senyum Syaima mengembang. Mereka memakan bakso sesekali tertawa karena gurauan Bapak atau Sena. Dua orang itu gemar sekali bercanda.

"Telur sama ayam lebih dulu apa?" tanya Bapak memberikan tebakan receh.

"Ayam—eh, ayam dari telur, tapi telur keluar dari ayam? Duluan yang mana?" Sena celingukan, bingung hendak menjawab apa.

Syaima terkekeh. "Ya lebih dulu telur, dong," ceplosnya.

"Kok telur?"

"Barusan Bapak bilangnya telur dulu baru ayam, berarti jawabannya telur," ungkap Syaima logis, "kalau nanyanya ayam dulu baru telur, berarti duluan ayam."

Detik itu, Sena, Bapak, juga Syaima tertawa. Sedangkan Mamah geleng-geleng kepala atas tingkah receh keluarganya. Iya, sesederhana itu.

🌸🌸🌸

Kemarin Hanan hampir saja mencapai kata sempurna sebab seluruh tantangan yang diberikan oleh Syaima, cuma mengucapkan kata sayang kepada ibunya, dan ia berencana mengatakan hal itu sambil memeluknya pada saat lebaran tiba.

Namun bagaimana jika ajal menjemput dirinya sebelum hari raya Idul Fitri tiba?

Hanan berpikir positif bahwa dirinya masih diberi umur panjang oleh Yang Maha Kuasa.

Hari ini Hanan mengulang kembali rutinitas kemarin, malam harinya sebelum ke masjid untuk melaksanakan solat terawih, sekaligus bertemu Syaima di sana, akan tetapi kemarin ia sama sekali tidak menemukan batang hidung temannya itu.

Rasanya, Syaima benar-benar ingin menjaga jarak dengannya. Hanan tidak ingin larut dalam kegalauan karena Syaima, ia berusaha menghibur diri, beranggapan bahwa mungkin kemarin haid? Atau sakit, jadi tidak solat terawih di masjid.

Belum sampai ke masjid, Hanan terlebih dahulu pergi ke kamar mandi, buang air kecil lalu wudu, namun sebelum itu ....

"Kak, cepet ih! Keburu dimulai terawih nya!" teriak Fitri, menggedor-gedor pintu kamar mandi.

Tak lama kemudian, Hanan keluar. "Maaf, Dek. Kayaknya kamu ke masjid sendiri dulu, berangkat bareng sama ayah, soalnya kakak sekarang datang bulan."

Kedua alis Fitri saling bertaut. "Alasan!"

"Kamu gak percaya sama kakak? Sini ke kamar mandi, liat gih!" Mendengar sang kakak berbicara seperti itu, Fitri menggelengkan kepalanya.

"Nggak mau ya!" Jeda beberapa saat, Hanan kembali masuk ke kamar mandi. Terdengar adiknya berkata dengan suara yang lesu. "Terus gimana dong, aku gak mau sendirian. Ibu gak terawih, kakak gak terawih, apa aku—"

Dari dalam Hanan menakut-nakuti adiknya dengan berkata, "hayo, kalo kamu gak solat terawih, yang ada nanti dimarahin ayah loh."

Setelah Fitri pergi bersama ayahnya, Hanan masuk ke dalam kamar tidur, berbaring sambil bermain ponsel, setelah mengerjakan beberapa tugas di dalam buku LKS tanpa diperintah oleh sang guru.

Ia memasang raut wajah kecewa.

Kecewa sebab tantangannya hanya sampai satu setengah hari dilaksanakan. Sekarang, Hanan terbatas dan hanya mendengarkan murottal al-quran, sambil mengulang materi pelajaran di sekolah, sebelum tiba waktunya melaksanakan Penilaian Akhir Tahun.

Beberapa menit membaca buku Sosiologi kelas 11, rasa bosan mulai melanda dirinya, ia beranjak dari kamar mendekati kamar orang tuanya pada saat sang ibu memanggil serta tangisan dari adik kecilnya.

"Nan, ajak adikmu jajan, sama belikan minyak angin di toko, uangnya ada di lemari atas." Hanan mengangguk, membawa adiknya yang menangis itu keluar setelah dirinya memakai baju terusan berwarna marun senada dengan kerudung instan dan celana training hitam.

Tangisan Ila berhenti saat mereka berdua berada diluar rumah. Setelah membeli barang yang diperintahkan oleh sang Ibu. Terdengar dari pengeras suara beberapa masjid ada yang ber shalawatan setelah melaksanakan sholat terawih, dilanjut suara orang-orang mengaji.

Jalanan ramai pengendara, dan orang berlalu-lalang, dan setiap pinggir jalan terdapat banyaknya para pedagang menjajakan makanan yang menggoda Hanan untuk membelinya.

Kedua mata Hanan berbinar, setibanya di warung yang tercium aroma bumbu seblak. "Ih, ada yang jual seblak, Ila kita beli seblak aja yak?" tanyanya.

Sedangkan sang adik menunjuk ke arah lain, tepatnya penjual balon. "Au, au itu!"

Hanan menggeleng. "Nggak, balonnya mahal, ngga bisa di makan. Mending seblak, enak di makan pas bulan puasa." Ila menggeleng, merengek agar Hanan menuruti keinginannya, akan tetapi nyali anak kecil itu menciut tatkala sang kakak melototi dirinya.[]

7 Day ChallengeWhere stories live. Discover now