3. Day Two

2 1 0
                                    

"Astagfirullah." Syaima menetralkan detak jantungnya setelah terkejut karena ulah Sena. Sementara pelaku malah tergelak puas.

Syaima mencebik. "Kamu tuh ya! Jangan jahil, sayang tahu nanti ganjaran puasanya habis," tegurnya.

"Emang di pembatalan ganjaran puasa, ada kata gak boleh jahil gitu?" beo Sena dibalas gelengan kepala oleh Syaima.

"Enggak ada sih," katanya.

Sena tergelak lagi. Syaima mendegus lalu memilih untuk pergi. Sama seperti hari kemarin, hari kedua lagi-lagi Syaima tidak puasa dan tidak melaksanakan segala bentuk ibadah.

Gadis itu melirik benda pipih yang tergeletak di atas meja, tidak ada yang berani menyentuh. Sebab kata Bapak, "Di bulan Ramadhan ini sebaiknya tidak banyak memainkan ponsel, harus lebih banyak beribadah. Sayang ganjarannya seribu kali lipat."

Namun, Syaima tidak puasa. Tangan gadis itu terulur untuk mengambil ponsel, tetapi detik selanjutnya malah ditarik kembali sambil menggeleng. Ingin sekali mengabari Hanan kalau dia tidak bisa melaksanakan tantangan karena sedang datang bulan, tetapi urung ketika mengingat rules yang pernah dia ucapkan.

Gak boleh chatingan sebelum tujuh hari.

Menghembuskan napas panjang, Syaima memilih untuk mandi. Setelahnya duduk di ruang tamu seraya mendengarkan lantunan ayat suci yang dibaca Bapak setelah melaksanakan salat dhuha, pun dengan Mamah.

"Sen, dhuha sana," titah Syaima ketika mendapati adiknya yang berusia sepuluh tahun itu main mobil-mobilan.

"Males ah," sahut Sena acuh.

Syaima tersenyum paksa. Daripada bosan, dia memilih mengambil kitab lalu membaca doa Ramadhan yang lumayan panjang.

Tanpa disadari, bulir bening jatuh dari matanya. Buru-buru menghapus air mata dan memaksakan senyum. Gadis itu rindu suasana di pesantren, sebab tahun lalu dia membaca doa ini bersama-sama. Namun tahun ini, membacanya seorang diri.

"Teteh, boneka aku mana?" tanya Syafa, membuyarkan lamunan Syaima.

Syaima bergerak mengambil boneka yang kebetulan tidak jauh dari sana. Boneka berbentuk monyet berwarna kuning, tapi Syafa malah menamainya Malmut. Hendak menyebut marmut, karena cadel jadilah malmut.

Syafa sudah pergi bermain bersama sepupu sebayanya, Syaima kembali mendengarkan lantunan Bapak yang belum berhenti mengaji.

Menurut Syaima, bulan Ramadhan di rumah akan menjadi sangat aneh jika tanpa suara Bapak mengaji. Pria itu selalu menyempatkan tadarus Al-Qur'an setiap habis salat, bahkan bisa tamat dua sampai tiga kali dalam satu bulan penuh.

"WOI! Jangan bengong!"

Syaima terkesiap. "Astagfirullah," katanya sambil mengusap dada, Sena lagi-lagi mengagetkannya.

"Apa sih? Ganggu aja," ujar Syaima disertai delikan. Namun ketika mengingat tantangan dari Hanan yang meminta untuk selalu tersenyum, Syaima memaksakan senyumnya untuk sekian kali.

"Abisnya Teteh malah ngelamun. Awas loh nanti kerasukan!" tutur Sena dengan wajah tengilnya.

"Mana ada ngelamun, Teteh lagi dengerin Bapak ngaji juga," bela Syaima.

Sena tersenyum jahil lalu berteriak, "MAAAA TETEH NGELAMUN PENGEN CEPET NIKAH!"

Syaima melotot, mengejar Sena yang berlari terbirit-birit. Ingin sekali membekap mulut lemes anak itu.

Jdugh!

Syaima berhenti mengejar Sena untuk tertawa ketika adiknya menabrak dinding. "Sukurin, kualat kan gara-gara nyebelin sama yang lebih tua!" hardik Syaima puas.

Sena mendengkus. Gantian, Sena yang malah jadi mengejar Syaima. "Teteh, jangan kabur!"

"Gak kena, gak kena wle—auww!"

Detik itu juga Syaima merutuki Sena karena mencari perkara dengannya. Hal yang menyebabkan Syaima dijewer Bapak karena tingkah yang sangat kekanak-kanakan.

🌸🌸🌸

"Hanan, itu yang dokumentasi siapa lagi? " tanya seorang gadis yang menjabat sebagai ketua Jurnalistik.

Memilih menggeleng dari pada menjawab berdasarkan opininya. "Ngga tau."

Gadis itu berjalan keluar dari masjid, meninggalkan Hanan yang tengah duduk di depan teras kelas. Selesai mendokumentasikan kegiatan hari ini seorang diri, Hanan merasakan rasa sakit yang menusuk bagian ulu hatinya.

Pulang dari sekolah, ia tak langsung beristirahat, melainkan membantu sang ibu yang kerepotan menyiapkan bahan mentah untuk di olah dan dijadikan makanan saat berbuka puasa nanti.

Di tambah dirinya harus mengajak adik kecil berumur satu tahun, bermain ke saudara sepupunya yang kini tinggal sementara di rumah nenek. Ia tidak bisa menahan rasa nyeri yang semakin di biarkan, semakin membuat dirinya kesulitan untuk melakukan pekerjaan apapun.

"Dede, mainnya sama De Tama ya?" Gadis mungil itu menggeleng, bukannya melepaskan pelukan dari Hanan, justru ia malah semakin erat memegang baju, dan jika di paksakan gadis itu akan merengek kencang.

Terpaksa membawanya pulang, dari pada kesalahan yang telah diperbuat Hanan kepada adik pertamanya terulang kembali dan membuat adik kecilnya keras kepala.

Gadis mungil itu menunjuk seseorang di depan warung. "Ici, Ici, Ne Ici!" teriaknya, berhasil membuat Hanan terkekeh, gemas sekali mendengar anak kecil belum pandai menyebut nama orang.

"Ila mau ke Kak Ici?" tanya Hanan, memancing gadis itu sampai berteriak histeris, dan sesekali menampar pipi Hanan.

Memang kurang ajar, tapi Hanan pun tak jauh berbeda, membuat gadis yang kerap dipanggil Ici mendekat sembari memberikan roti yang ia beli tadi, lalu bergilir memangku adik kecilnya itu. "Jangan usil mulu deh!"

"Iya deh, iya. Kayak ga pernah usil aja," ujar Hanan, suaranya semakin mengecil bahkan gadis itu samar-samar mendengarnya.

"Apa?"

Hanan menggeleng, memperhatikan adiknya itu dari belakang. "Udah ya, Ila sama kak Fitri."

"Ici," panggilnya.

Kedua alis Fitri mengerut, tidak begitu suka dengan namanya yang di ubah. "Fitri!"

"Ici!"

Sepanjang perjalanan Hanan dibuat tertawa oleh perkataan dia adiknya itu. 'Yang satu ngajak becanda, satunya lagi malah dibawa serius,' batinnya.

"Stop call me Ici! My Name is Fitri!"

Dengan antusiasnya Ila berteriak, "Ici!"

Saat itulah tawa Hanan mengudara, melihat Ila ikut tertawa, sedangkan Fitri menatap mereka kesal.

Untung ada Fitri, jadi Hanan masih sempat untuk beristirahat di atas kasur, ia mengambil ponsel yang berada di atas kepalanya, niatnya ingin membatalkan tantangan dari Syaima, karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk menjalankannya. Banyak sekali hal yang tidak dikerjakan, termasuk membaca surah As-Sajadah, mengajak seseorang sholat berjamaah, termasuk mendengarkan muratal al-quran, lantaran paket internetan habis, dan juga ia masih memutar musik favoritnya.

Hanan kembali mengurungkan niat, tatkala perjanjian dengan Syaima telah disetujui. Mau tak mau selama tujuh hari ini tidak saling menghubungi.

Ia berjalan ke dapur, merengek kepada sang ibu atas rasa sakit yang tak terbendung. Namun wanita itu hanya memerintah nya. "Minum air hangat, Hanan!"

Dengan polos nya Hanan berkata, "tapi kan Hanan puasa, Bu."

Sang ibunda menghela napas. "Kompres perut kamu pakai air hangat, biasanya juga kan gitu? Sebelum datang bulan pasti ngeluh sakit."

Gadis itu nyengir menuruti perintah ibunya, memasukan air panas ke dalam botol kaca, lalu membalut botol tersebut menggunakan kain.

🌸🌸🌸

Salam hangat dari penulis
Nailulsna_
Shlvyd

7 Day ChallengeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora