Tak Seperti Biasanya

1.6K 358 73
                                    

Halooo. Lama nggak update, moga masih setia ya. 😄

****

Netra cokelat milik Azkia berkali-kali menatap ponsel di meja kamar dengan perasaan kecewa, sebab pesan yang ia kirim ke Bagas hanya dibaca saja. Ia pun menghela napas kecil. Harusnya ia tak menuruti saran Diah untuk memulai komunikasi terlebih dahulu, nyatanya kecewa yang didapat.

Apa itu artinya Bagas benar-benar melepaskannya? Apakah kali ini pria itu menyetujui permintaannya berpisah padahal beberapa waktu kemarin dia masih menolaknya? Mungkinkah dia menyerah? Padahal ....

'Memang sepenting apa dirimu sampai Bagas harus membujukmu? Memperjuangkanmu? Mimpi!'

Benar. Memang apa pentingnya Azkia untuk Bagas selain teman penghangat ranjangnya? Ya, bukankah selama ini fungsinya itu? Beberapa kali pria itu menjemputnya di kos-kosan—menginap di rumah orang tua Bagas—selalu berakhir di ranjang, selebihnya mereka tetap seperti orang asing, hanya saja .... Perhatiannya buyar mendengar notifikasi pesan dari ponselnya.

Bagas:
Aku di depan.

Bola mata perempuan berhijab itu hampir keluar saking kagetnya. Tidak biasa Bagas mengirim pesan malam-malam begini, tidak bisa dikatakan malam juga, karena baru pukul delapan malam tapi tetap tidak biasanya.

Segera saja Azkia berdiri meraih hijab instan di gantungan dan bergegas menghampiri Bagas. Benar saja saat ia membuka pintu, pria itu berjalan ke arahnya. Dada Azkia bergemuruh hebat melihat suaminya tersebut. Jantungnya pun berdetak teramat kencang sampai-sampai Azkia pikir jebol dari tempatnya.

"Mas, ada ...."

"Gantilah bajumu." Bagas memotong kalimat Azkia waktu mereka duduk di kursi teras.

Azkia menatap Bagas heran. Untuk apa? Sedangkan ... pikiran buruk bergelayut cantik di otak Azkia. "Apa terjadi sesuatu sama Bunda, Mas?"

Pria itu menoleh ke arah Azkia. Keningnya berkerut tapi tak urung ia mengangguk. Mendapat anggukan darinya, wanita itu bergegas masuk. Dalam hati Bagas memohon ampun sudah membawa-bawa ibunya padahal wanita tercintanya itu sedang tidur nyenyak. Bagas tidak sepenuhnya berbohong, sebab Wulan sempat mengeluh pusing dan itu akibat dari naiknya tekanan darah Wulan.

"Ayo, Mas, buruan." Azkia siap dengan blus biru kancing depan dan celana kulot hitam, tak lupa pasmina instans hitam. Tangannya menggenggam erat tas yang biasa dia bawa pas menginap.

Satu alis Bagas terangkat melihat Azkia, seingatnya ia tidak mengatakan menginap tapi sudahlah ia tak perlu meralat apa-apa. Tanpa sadar senyum Bagas tercetak, ia tak menyangka pengaruh nama ibunya begitu besar bagi Azkia. Luar biasa, pikir Bagas. Ia pun berdiri dan berjalan ke mobil diikuti Azkia.

Dalam perjalanan keduanya sama-sama diam. Azkia sebenarnya ingin memulai obrolan tapi bingung apa yang mau dibicarakan sedangkan pesannya saja tidak pria itu balas. Tiba-tiba ia memegangi pipinya yang menghangat. Selalu seperti ini, gumam Azkia. Akhir-akhir ini ia merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya, termasuk bila berdekatan dengan Bagas—beberapa kali mereka menginap di kediaman Wulan—sel-sel di tubuhnya berteriak ingin berdekatan, bahkan aliran darahnya cepat sekali mengalirnya hingga menciptakan panas di raganya. Ada apa dengannya? Kenapa malah jadi aneh begini padahal mereka akan berpisah.

"Lho, kok berhenti?" Azkia bingung mobil berhenti jauh dari rumah mertuanya. "Apa mau beli buah buat Bunda, Mas?" tanyanya lagi sebab tak jauh dari tempatnya ada penjual buah.

"Kita makan dulu." Ia melepas seat belt dan turun mendahului Azkia.

Azkia mendadak merengut. Bisa-bisanya dia sesantai itu saat bundanya sedang sakit. Wanita pemilik rambut panjang itu turun dan duduk lesehan di sisi Bagas. "Kenapa nggak bilang kalo belum makan, Mas? Kan bisa makan di kosan. Aku tadi masak. Kalo gini kan jadi lama ke rumah Bunda," gerutu Azkia tanpa sadar. Kesal sekali rasanya melihat ketidakpedulian Bagas pada bundanya.

Bagas menatap Azkia dengan kening berkerut tapi ia tak menjawabnya. "Kamu pesen apa?" Bagas menggeser daftar menu ke depan Azkia. "Kalo nggak mau pesan kamu bisa tunggu di mobil," ujar setelah melirik wanita yang diam saja tak menyentuh daftar menu.

Wanita itu berdecak. Tangannya dengan cepat meraih nota dari tangan Bagas dan menyerahkan pada pemilik warung, setelah sebelumnya menambah pesanan untuknya sendiri. "Bunda sakit apa, Mas?" tanyanya begitu mendaratkan bokong di sisi Bagas. "Kemarin pas nginap kayak nggak apa-apa, kenapa tiba-tiba gini?"

"Kayak biasanya."

Lagi-lagi wanita berambut panjang itu berdecak. Apa pria itu tidak mempunyai kosakata sampai-sampai jawabannya sesingkat itu? Bagaimana Ranti bisa betah menjalin hubungan dengan Bagas? Tapi ... dirinya pun heran bisa-bisanya menyukai pria itu. "Tekanan darahnya naik? Emang habis makan apa?" Azkia meletakkan sepiring nasi putih, bebek goreng, sambal, dan lalapan ke depan Bagas. Tak lupa kopi juga cah kangkung.

"Nggak tahu kenapa," jawab Bagas sebelum menyuap makanan.

"Mas itu bisa nggak, sih, ngomongnya panjangan dikit gtu. Sampai tuntas gitu lho, biar nggak tanya-tanya terus. Ngeselin banget kayak gitu, Mas. Sumpah."

Bagas kembali dibuat heran dengan sikap Azkia yang berani mengomelinya padahal selama tinggal satu atap, jangankan mengomel, menatapnya saja tak berani.

"Mas, denger nggak? Jawab gitu lho jangan diem aja. Punya mulut, kok, kayak orang bisu aja," gerutunya sambil melahap cah kangkung dan nasi. Tangan Bagas pun terulur dan menempel di dahi Azkia tapi dengan cepat ditepis oleh wanita itu. "Apa, sih?" sentak Azkia.

Alis Bagas naik, riak wajahnya menandakan keheranan tapi ia memilih aman. "Nggak apa-apa." Iya, lebih baik begitu daripada membalasnya akan memperpanjang perdebatan mereka. Wanita dan hormon sensitifnya paduan yang mengerikan.

*****

Azkia masuk ke rumah dengan mengentak-entakkan kaki karena jengkel. Iya, dia sangat jengkel sama Bagas. Bagaimana tidak jengkel bila tujuannya berubah arah, bukannya ke rumah Wulan malah ke rumah mereka. Begitu di kamar, Azkia melempar tasnya ke sofa dan langsung ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar mandi bertepatan Bagas masuk. Netra keduanya berserobok dan tatapan pria itu lebih lekat daripada Azkia. Lebih menusuk dan memerangkap. Sontak degup jantung Azkia menggila tak terkendali, perutnya bergejolak halus hingga menimbulkan rasa yang tak biasa seperti usapan lembut memabukkan. Bulu kuduknya meremang karena hasrat, dan yang lebih membingungkan tubuhnya seolah mendamba sentuhan Bagas.

Ya ampun ada apa dengannya? Mengapa ia begitu mendamba Bagas padahal sebelumnya tidak seperti ini? Apa yang terjadi pada sesungguhnya? Mengapa raganya memohon sentuhan pria itu? Memohon tangan kasar itu membelai dirinya. Astaga.

Napas Azkia tersengal ketika keinginannya terwujud. Embusan napasnya putus-putus menahan sesuatu yang mematikan syarafnya. Pandangan mata Azkia semakin meredup dan melembut kala Bagas bergerak memenuhi dirinya hingga akal sehatnya berceceran tak beraturan.

Tak hanya Azkia yang merasakan kedamaian malam itu tapi Bagas pun merasakannya. Senyumnya terlihat meskipun samar karena ia berhasil berhasil menghancur bongkahan hasrat tanpa sisa. Sungguh luar biasa.

Tbc.

Seperti biasa yang pengin baca sampai tamat bisa ke Karyakarsa. Mbak Tika atau bisa pake link di bio aku. Makasih















Siapa Aku di Hatimu Where stories live. Discover now