Perubahan

1.8K 358 78
                                    


Hulaaa, maaf ya swllow update. Jangan lupa komen dan klik love😉

*****

Akhir-akhir ini Azkia sedikit heran atau bingung lebih tepatnya melihat perubahan sikap Bagas yang tidak biasa. Ia senang Bagas lebih sering di rumah—meskipun terkadang keluar sampai malam—tapi tetap saja aneh baginya. Ia tak terbiasa melihat Bagas di rumah dalam jangka waktu lama. 

"Bikin apa?" Bagas duduk di sofa sedangkan Azkia duduk bersila di karpet. Memperhatikan wanita itu sibuk dengan kotak cokelat dan kain yang sepertinya hijab. 

"Ini lagi packing-packing hijab pesenan temen," jawabnya tanpa melihat. Setelah beres, Azkia menoleh ke Bagas. "Mau dibikinin minum? Ada kue juga," tawar Azkia yang berusaha meredam gedoran jantungnya yang terlalu kuat karena berdekatan dengan Bagas. Pria itu mengangguk, Azkia bergegas ke dapur membuat kopi susu dan membawa stoples berisi kue kering buatannya, lebih tepatnya kue melinjo kering. Memang bukan hari raya Idul Fitri, tapi jika ingin, maka ia membuatnya. 

Setelah itu, keduanya sama-sama diam. Bagas asyik menikmati kue kering sembari menonton film action dari saluran luar negeri, sedangkan Azkia, sibuk menyiapkan hampers yang akan ia kirim seraya sesekali mencuri pandang ke Bagas. 

Namun, tak pelak Azkia tak mampu menyembunyikan rasa suka citanya menghabiskan waktu bersama Bagas walau dalam kebisuan. Setiap gerakan kecil pria itu tak luput dari ekor mata Azkia. Bahkan ekspresi tegang suaminya—saat tokoh dalam film yang ditontonnya berjuang menyelamatkan diri—ia dapatkan kali ini. 

Ya ampun, hanya karena itu hati Azkia berbunga-bunga, sungguh tidak tertolong lagi dirinya yang sedang jatuh cinta, kalau bahasa gaulnya, bucin alias budak cinta. 

"Kenapa?"

Suara berat itu memecah senyuman Azkia. Ia kaget dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu sebab pikirannya tengah melayang jauh. "Apa?" jawabnya tidak nyambung

"Apa ada yang aneh di wajahku sampai kamu lirik-lirik terus atau ada yang mau kamu bicarakan?"

"Oh." Azkia tergagap, gugup karena aksinya ketahuan. Ia kira Bagas fokus pada film action tersebut, rupanya ... ya ampun, Azkia begitu malu. Saat ini pipinya terasa panas. 

"Ki." 

Wanita dengan kaus merah jambu itu menggeleng. Otaknya buntu untuk berpikir. "Eng ... enggak, Mas," jawabnya terbata-bata. Astaga, ingin sekali dia menghilang dari hadapan Bagas saking malunya. 

Atensi Bagas pun teralihkan, ia menarik tubuhnya dari sandaran sofa, duduk miring menghadap Azkia. Kini, wanita pemilik rambut sepunggung itu fokus utamanya. "Tapi ...."

Azkia tertunduk seraya meremas kerudung segiempat di pangkuannya ketika ditatap penuh oleh suaminya. Ia menggigit bibir untuk meredam rasa malunya. Ia menutup mata seperti ekspresi ngeri kemudian menghela napas membuang malunya. "Itu ... eum itu ...."

"Apa? Itu apa? Yang jelas kalo ngomong, Ki." Bagas menikmati semu merah yang menghiasi wajah Azkia. Senyum pun tercipta meskipun tarikannya tak sampai mata. 

Lagi-lagi Azkia menarik napas sebelum mengangkat wajahnya membalas tatapan Bagas. Namun, keberanian yang mencuat beberapa detik tadi harus gugur usai melihat ekspresi Bagas. Sorot mata Bagas tajam, layaknya mata singa ketika mengintai mangsa. Nyali Azkia pun surut tanpa diduga. "Eum ... itu ... ap ... apa, Mas, nggak ...." 

Wanita yang tak begitu tinggi itu mengembuskan napas lega ketika bel rumah berbunyi. Ia ke depan untuk membuka pintu. Rasanya lega sekali lolos dari interogasi Bagas tapi pria itu terlihat tak suka karenanya. Dengan jantung yang terus berdebar, Azkia bersiap membuka pintu. 

Namun, debaran menyenangkan itu harus berganti denyutan nyeri di hati saat tahu si pendatang. Senyuman terpaksa ia pasang agar tak membuat ibu mertuanya curiga. Bukan Wulan sumber masalahnya tapi orang yang ikut datang tersebut. Ranti. Iya, mantan pacar diam-diam Bagas—mereka menjalin hubungan diam-diam—ikut dalam rombongan tersebut. 

"Siapa yang datang?" 

Pertanyaan Bagas membuat semuanya menoleh. Pria itu bergegas mendekati Wulan, memeluknya lalu menyalami Bulek Aida—ibu Ranti. Suaminya juga menyapa Ranti dengan anggukan kecil samar tapi Azkia melihatnya. 

Azkia meletakkan nampan berisi es sirup juga kue yang dibuatnya lalu duduk di samping Wulan. Satu kursi panjang lainnya ditempati Bulek Aida dengan Ranti. Selama pembicaraan berlangsung, tak jarang ia mendapati Bagas dan Ranti saling lempar tatapan. Meski lewat tatapan, tampak cinta dari keduanya. Pandangan sendu Bagas untuk Ranti. Senyum kecil yang Azkia belum pernah didapati, membuatnya nelangsa.

Denyutan tak nyaman pun Azkia rasakan selama obrolan berlangsung. Ia lebih banyak sebagai pendengar. Remasan di hati pun bertambah saat Ranti dan Bagas duduk berdua di teras. Ia tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi dari lirikan Azkia, sepertinya serius. 

Keceriaan yang sempat Azkia rasakan pun tenggelam dalam pusaran nestapa, bahkan kepulangan tamu-tamu itu tak membuat suasana hatinya membaik. Riak wajahnya pun tampak suram tak secerah tadi. Pikirannya terus mengingat bagaimana gestur tubuh Bagas dan Ranti bekerja, sungguh sakit melihatnya. 

Kini, ia mempertanyakan keputusan yang ia ambil—yang hanya menuruti apa kata hatinya—apakah salah? Bisa jadi, batinnya berujar. Azkia menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan. Lalu apa yang akan dia lakukan sekarang? Mengatakan apa yang ia rasa padahal ia sudah berjanji tidak akan melibatkan cinta di dalamnya? Sungguh tak mungkin. 

****

Akhir-akhir ini Bagas merasakan perubahan dalam diri Azkia. Wanita itu tidak banyak bicara seperti biasanya, termasuk binar cinta—yang Bagas sadari betul keberadaannya—perlahan memudar dan menghilang dari mata wanita itu. Azkia memang tetap melayani dirinya seperti biasa tapi senyuman Azkia berkurang kadarnya. Dan Bagas tak suka itu. 

Seperti saat ini misalnya, sudah lima belas menit lalu Bagas duduk di sisi Azkia tapi wanita malah mengabaikan dirinya. Tak ada tawaran kopi atau kue untuknya. Dia tampak fokus menata kue-kue ringan kesukaan anak-anak ke dalam kardus untuk dijadikan bingkisan ulang tahun. "Ki, bisa buatkan kopi? Kalo ada kue aku juga mau." 

Azkia menoleh ke sisinya, ekspresi wanita itu seperti kebingungan tapi ia mengangguk juga kemudian berlalu ke dapur. "Ini." Ia meletakkan pesanan Bagas lalu kembali menyusun kue-kue tersebut. 

"Apa aku bikin salah?" 

Pertanyaan itu menganggu konsentrasi Azkia. Kerutan tercipta di kening sebelum ia menoleh ke arah Bagas. "Maksud, Mas, gimana?" tanya Azkia bingung. 

"Nggak. Lanjutkan saja kerjaanmu," dengkus Bagas seraya berdecak. 

Tak puas dengan jawaban Bagas, Azkia memutar tubuhnya sedikit agar berhadapan dengan suaminya itu. "Tadi, Mas, tanya apa? Maaf aku nggak denger, lagi fokus nyusun kue."

"Nggak ada, lanjutkan saja," ujarnya setengah menahan kesal. Tidak tahu kenapa ia tak suka perhatian Azkia tak lagi sepenuhnya padanya. Ia benar-benar jengkel. 

Wanita yang kali ini melepas ikatan rambutnya terpaku. Apa pria itu terdengar kesal? Tapi kenapa? "Mas mau sesuatu? Biar aku bikinin," tuturnya setelah meletakkan selotip dan gunting di karpet. "Mas, mau apa?"

"Apa kerjaanmu itu sangat penting sampai nggak tahu aku di sini? Kalo aku nggak minta kamu nggak akan sadar," tukas Bagas kesal. Bisa-bisa Azkia tak menyadari keberadaan dirinya. 

Wanita itu pun merasa bersalah sudah abai dengan suaminya. Terlebih Bagas terlihat sangat kesal. "Iya maaf, Mas, tadi aku lagi ngitung bingkisannya Mbak Riska. Sekarang Mas mau apa?" ulang Azkia lagi. Ia tak ingin Bagas terus marah padanya walaupun ia marah pada Bagas. 

Tanpa bersuara Bagas menarik berdiri Azkia lalu menghelanya ke kamar, setelah sebelumnya memadamkan lampu ruang tamu dan tengah. Tak perlu orang pintar untuk mengetahui keinginan Bagas saat ini, begitu juga Azkia. 

Tbc. 

Cerita ini sudah tamat di Karyakarsa ya. Link ada bio. Atau cari saja Mbak Tika atau judulnya. Mamarikaaaa ❤️






Siapa Aku di Hatimu Donde viven las historias. Descúbrelo ahora