Keputusan

1.7K 405 68
                                    


 
Hulaaa! Ketemu lagi wkwkwk. Jangan bosen ya 😉 cuz langsung baca aja.

*****

Malam itu keluarga besar Bagas mengadakan acara syukuran untuk pembukaan toko khusus oleh-oleh khas Malang di daerah Soekarno Hatta, lokasi strategis untuk usaha. Tak banyak yang diundang hanya keluarga saja, termasuk keluarga Ranti. 

Seolah ingin menegaskan bagaimana besarnya cinta yang Bagas dan Ranti miliki, mereka duduk bersebelahan. Entah sengaja atau bagaimana, tapi Azkia yakin mereka ingin ia melihat sebagai pesan bahwa dirinya tak akan mampu menembus kebersamaan dua insan tersebut. Pesan bila Azkia tak mampu menggantikan posisi Ranti di hati Bagas.

Tak hanya itu, mereka saling melempar senyum, beberapa sentuhan kecil dan  binar cinta mereka menyala dan membakar Azkia hingga habis. Mungkin sepupu Bagas dan Ranti lainnya tak menaruh curiga, tapi Azkia yakin, mereka tak ingin terpisahkan. 

Wanita yang kali ini memakai tunik garis-garis warna pastel dipadu celana bahan hitam dan hijab hitam tersebut menghela napas dalam-dalam, untuk memecah sakit yang ia rasakan di dada. Remasan itu begitu kuat hingga ia takut jika hatinya akan hancur. Mungkin sudah waktunya ia melepas ikatan ini, meskipun masih belum ada satu tahun. 

Bukan ia wanita lemah tapi ia berusaha menyelamatkan dirinya dari keterpurukan parah jika nantinya Azkia tak mampu meraih Bagas sepenuhnya—sebab cinta pria itu bukan dirinya dan bukan perkara mudah untuk mengganti dengan yang lain. Ia juga tak ingin terluka terlalu dalam sampai tak bisa menyembuhkan luka itu nantinya. Karena itu, mungkin ini saat yang tepat untuk mengakhiri semua ini. Ia akan mundur dan mendorong Bagas untuk jujur jika ia mencintai Ranti. 

"Kok, di sini? Ikut ngumpul sana sama Mas-mu," perintah Bude Ratna seraya duduk di kursi sampingku. Wanita paruh baya itu masih terlihat cantik.

"Ndak, Bude, di sini aja. Siapa tahu Bunda nanti nyari aku bantuin apa gitu," elak Azkia yang merasa kurang nyaman jika berkumpul dengan sepupu Bagas.

Bude Ratna mengangguk. "Ndak bakalan butuh bantuan, wong bundamu udah sewa orang. Kamu nggak nyaman, ya?"

Dengan tak enak hati, Azkia mengangguk kecil. "Inggih, Bude. Aku ndak begitu pinter bergaul, jadi takutnya malah bikin suasana ndak enak."

"Mereka orangnya asyik, kok, Ki. Mungkin awalnya aja, tapi kalo udah kenal, haduh kayak perang dunia itu ramenya. Eyang aja kadang sampek pusing kalo pas mereka ngumpul di rumah. Coba dulu aja," sarangnya yang Azkia angguki. "Udah makan?" lanjutnya lagi.

"Udah, Bude, tapi cuma dikit."

Ratna menoleh disertai tatapan heran. "Kenapa? Makanannya nggak enak?" 

Azkia menggeleng pelan agar nyeri di kepala yang ia rasakan tidak bertambah frekuensinya. "Nggak, Bude, tapi lagi ndak nafsu aja." Ya, benar. Padahal Azkia tidak sedang ingin menurunkan berat badan, tapi entah kenapa perutnya tak menerima makanan itu. Mungkin maag-nya kambuh, sebab akhir-akhir ini jadwal makannya tak teratur. 

"Walah, mbok ndang diobati ben ora tambah loroh (walah, cepet diobati biar nggak tambah sakit). Periksa ke dokter biar dapet obat yang pas," saran Bude Ratna. Beliau sosok yang ramah, karena itu Azkia nyaman bersama beliau.

"Inggih, Bude."

"Eh, Bude ke depan dulu, ya. Itu Pakde manggil." Kemudian beranjak pergi. 

"Kata Bude kamu sakit."

Suara berat itu membuat gerakan Azkia memijat pelipisnya terhenti. "Nggak. Maag aja kayaknya," sahut Azkia lalu meraih minuman di kursi kosong sampinnya. "Mas mau makan? Aku ambilkan, ya, dari tadi aku lihat belum makan." 

"Boleh."

Sedikit memaksa Azkia mengangkat tubuhnya dari kursi menuju meja prasmanan. Ia kembali setelah mengisi piring tapi Bagas tak berada di tempat. Ia mengedarkan pandangan mencari sosok pemilik hati, tapi tak ketemu. Ia memutuskan keluar, siapa tahu Bagas sedang mencari angin, sebab ruangan terasa panas meski kipas pendingin sudah dinyalakan. 

Langkah wanita 25 tahun tersebut terputus kala netranya menangkap dua manusia berbeda jenis duduk berdua tak jauh dari ruko tempat acara diselenggarakan. Tangan Bagas bertengger manis di bahu Ranti, sedangkan kepala wanita itu menempel di pundak Bagas.

Seraya memejamkan mata, Azkia terhuyung ke belakang hingga membentur dinding. Tubuhnya lemas seakan tanpa tulang sebagai penyangga. Air mata pun turun dari sela kelopaknya. Azkia merosot dengan piring dalam genggamannya. Ia meremas baju dibagian dada yang terasa nyeri hingga untuk bernapas saja sulit, layaknya martil menghantam dengan kuat. Ia pun terisak tanpa suara dan itu sungguh menyakitkan. 

Azkia kalah. Ya, ia kalah dalam meraih cinta suaminya. Ia menyerah dan benar-benar menyerah kali ini. Azkia tak ingin semakin terperosok dalam jurang nestapa tak berkesudahan, harus bangkit dan menutup luka yang dibuatnya sendiri. Benar, Azkia sendiri yang membuat luka itu saat peringatan Ibu dan mertuanya tak ia indahkan.

****

Pagi itu, satu minggu setelah kejadian di ruko milik keluarga Bagas, saat sarapan Azkia menguatkan hati mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Tentu saja Bagas terkejut, sebab sebelumnya tak ada hal-hal yang memicu perpisahan itu. Mereka baik-baik saja walau Azkia terlihat lebih pendiam. 

"Kenapa?" Hanya itu yang mampu dia katakan, sebab ia tak tahu pasti pemicunya. 

Seraya meremas ujung blouse yang Azkia pakai, ragu-ragu Azkia berkata, "Aku ... aku nggak bisa ...." Ia memejamkan mata, tarikan napasnya terasa berat dan seolah-olah tersumbat di tenggorokan sampai-sampai sakit rasanya. "Aku nyerah. Aku nggak bisa bertahan waktu pikiran dan hati Mas buat Mbak Ranti. Awalnya aku kira pasti bisa mengikis cinta Mas buat dia, membuat Mas melihatku sebagai istri sesungguhnya, tapi ... melihat kalian yang masih cinta, aku pilih mundur."

Tolong jangan keluar sekarang, biar aku nggak terlihat menyedihkan di depan dia.

"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya dengan tatapan menghunus netra Azkia. Mengunci pergerakan bola mata itu hingga terfokus hanya padanya.

Azkia jengah, memalingkan wajah menatap tumbuhan hias di sisi lemari televisi minimalis kayu. Warna hijau daunnya kontras dengan warna bufet putih itu. "Dari sikap kalian. Mungkin orang lain yang nggak tahu mengira kalian hanya sebatas sepupu, tapi aku yang tahu bagaimana kalian, jelas sekali kalo kalian masih cinta. Jadi ... jujurlah sama keluargamu, Mas. Aku yakin mereka nggak keberatan sama hubungan kalian," papar Azkia seraya menahan hantam dahsyat di dada. Sakit dan sungguh menyiksa. 

Bibir pria yang usianya dikisaran tiga puluhan itu menipis, rahangnya berkedut karena gesekan kedua baris giginya yang begitu kuat, dan pandangan mata Bagas menakutkan sampai Azkia tak berani melihatnya. "Apa itu maumu?" tanyanya tanpa ada reaksi berlebihan tapi justru membuat Azkia takut. 

Ragu-ragu juga takut, Azkia mengangguk kecil tanpa mau membalas pandangan Bagas. Walaupun bukan maunya tapi keadaan yang memaksanya untuk melakukan semua ini. "Aku sudah cari tempat kos tak jauh dari tempatku kerja. Aku bisa jalan kaki dan aku juga akan mengurus surat perceraian kita." Ia mengerjap, menghentikan air mata yang akan menetes. Rasanya sungguh berat melepas orang yang ia cinta untuk kembali pada pemiliknya. Namun, dari awal Azkia tahu, jika ia hanya diberi kesempatan mencicipi kehidupan rumah tangga sebelum harus mengembalikannya pada pemilik sesungguhnya. 

Kilatan netra Bagas pada wanita berhijab itu semakin menajam. Ibarat sebilah samurai, maka saat ini juga Azkia sudah pasti tak bernyawa. Benar-benar mampu menebas dalam sekali ayunan. Selain itu, riak paras Bagas seperti siap memuntahkan amarahnya tapi ia tahan sekuat tenaga. "Terserah," ujar dingin. Usai berkata demikian, pria itu beranjak berdiri dari kursi makan.

Dentuman kursi itu di lantai sangat keras sampai Azkia terjengkit. Kenapa Bagas tampak marah? Bukankah perpisahan ini memudahkan semuanya? Bagi pria itu, dia bisa bersama dengan Ranti. Bagi Azkia, meski harus merasakan patah hati, setidaknya patahnya tidak terlalu fatal untuk disembuhkan. 

Tbc. 







Siapa Aku di Hatimu Where stories live. Discover now