21. Teras Belakang

261 25 2
                                    

Sepertinya aku tak pernah melihat Julian makan selahap ini. Porsi makannya memang selalu banyak. Namun hari ini, ia makan nasi ayam goreng serundeng dengan tempe goreng dan sayur lodeh, ia makan dua kali lipat porsi biasanya. Ia bahkan menghabiskan enam potong tempe dan tiga potong ayam.

"Enak banget," ucapnya setelah menghabiskan potongan ayam goreng yang ketiga.

Aku tersipu malu. Walau 70% proses memasak ini dilakukan oleh Mbak Susi, aku merasa jerih payahku siang ini terbayarkan. Ia memberikanku pujian singkat dengan senyuman lebar.

Setelah kami makan, Julian mengajakku ke teras belakang. Kami duduk pada sofa individu yang landai dan menatap lanskap halaman belakang kami. Suara air dari pancuran bambu membuat suasana rumah kami sangat tenang. Secara pribadi, aku sangat menyukai pancuran bambu di kolam ikan koi kami. Tanah yang didominasi oleh bebatuan putih dan lumut-lumutan kembali membawaku pada villa liburan musim semi tahun 2018 di Kyoto.

Aku menyesap teh hijau, matcha yang asli tanpa susu ataupun gula, bersamaan dengan mochi berisi pasta kacang merah yang sangat aku sukai. Aku tak ingat membeli mochi ini atau meminta mochi ini di rumah. Kurasa Mbak Ratna membelinya berdasarkan rekomendasi Mbak Lita. Julian masih ditemani dengan espresso-nya dan tidak memakan camilan apapun.

"Kamu suka rumah ini?" tanya Julian, memulai perbincangan dengan sesuatu yang ringan.

"Jauh di atas ekspektasiku. Kita harus kirim sesuatu untuk Tante Siska," ucapku dan melahap mochi yang telah dipotong kecil-kecil seperti kue itu.

"Setuju. Kalau kita kasih tas Kelly gimana?" tanya Julian.

"Pasti Tante Siska udah punya. Aku kepikiran untuk kasih sebuah karya seni untuk rumahnya Tante Siska. Tapi aku gak tahu kesukaannya kayak gimana," ucapku.

"Oh, biar aku tanya kurator kenalanku. Nanti aku tanya Felicia juga."

"Ah iya, Felicia. Kita kasih apa ya untuk studionya?"

"Aku udah ngerencanain untuk invest di sana. Kurasa itu yang paling dibutuhin mereka."

"Okay. Kasih tahu aku progressnya nanti."

Kami kembali terdiam setelah percakapan singkat itu. Kurasa Julian juga tak tahu harus bagaimana untuk masuk ke topik yang paling ingin ia bicarakan padaku. Ia selalu gamblang dan jujur. Namun kurasa, menikah membuat kami lebih berhati-hati antara satu sama lain.

"Carlina. Mas mau jujur. Mas gak ngerti apa yang buat kamu marah sampai gak mau bulan madu ke Lake Como. Terlalu banyak kemungkinannya. Tapi lagi-lagi, aku ini bukan cenayang. Jadi apa penyebabnya kamu sebegitunya marah sama Mas?"

Aku menarik napas panjang. Ini giliranku sekarang.

Aku meletakkan cangkir tehku lalu merapatkan cardigan yang aku kenakan. Cuaca sedikit dingin karena Bogor baru saja hujan tadi sore ketika aku tertidur.

"Aku baca chatmu sama Chloe," jawabku singkat, namun cukup untuk membuat ia tersadarkan.

Ia langsung bangun dari duduknya dan berlutut di hadapan kursiku. Aku terkejut akan sikapnya. Ia seperti sudah siap menyembahku.

"Car... aku minta maaf karena aku masih ngehubungin Chloe sebelum kita menikah. Aku sama sekali gak bermaksud untuk kayak gitu. Aku udah gak sayang dia sama sekali."

"Aku tahu. Aku baca semua chatnya."

"Kamu tahu kan aku nolak dia mentah-mentah?"

"Iya, aku tahu."

"Terus apa yang bikin kamu sebegitu marahnya?"

Julian memegangi kedua tanganku erat. Ia seperti takut aku akan menceraikannya di minggu pertama pernikahan kami.

Rumah Putih GadingTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon