19. Paviliun Borobudur Suite

218 22 0
                                    

Pernikahan yang terasa seperti mimpi itu selesai pada pukul 10 malam.

Kami telah mengirim pejabat penting, investor, kerabat, bahkan Rafi Ahmad dan Nagita Slavina kembali ke Jakarta.

Setelah menghapus make up dan membersihkan semua hal yang menempel di tubuhku, aku melanjutkannya dengan pijat singkat di spa. Tante Ayu dan Mama memilih rangkaian spa panjang di sana. Aku tak mau terlalu berlama-lama. Yang kuinginkan saat ini hanyalah tidur 12 jam.

Saat aku hendak pergi dari spa, seorang staf menghampiriku.

"Permisi Ibu Carlina, barang-barang Anda telah dipindahkan ke suite lain. Mari ikuti saya," ucap staf dengan kebaya berwarna putih itu. Aku hanya mengikuti langkahnya walau aku tak tahu mengapa barangku dipindahkan. Apakah ada yang rusak di kamarku sebelumnya?

Aku dipindahkan ke Borobudur Suite, kamar dengan pemandangan Candi Borobudur yang dapat terlihat jelas ketika matahari terbit. Staf itu membukakan pintu untukku dan aku masuk dengan santai ke area suite.

Saat aku masuk ke kamar, yang padahal bisa kuintip dari kaca, aku terkejut ketika aku menemukan Julian baru saja selesai mandi dengan bathrobenya.

"Oh Tuhan!" Aku langsung balik badan.

Ini sangat canggung! Aku pun hanya mengenakan bathrobe karena aku pikir akan langsung pergi ke kamarku sendirian setelah dari spa. Ternyata mereka mengatur agar aku satu kamar dengan Julian? Gila!

"Oh, maaf, aku gak tahu kamu udah sampe. Sebentar." Julian langsung berlari kecil ke walk-in-closet untuk memakai baju. Aku mencari barangku ke seluruh kamar, tapi sepertinya bajuku juga terletak di walk-in-closet. Kuharap ada di walk-in-closet yang berbeda dengan Julian.

Julian selesai dengan bajunya dan memakai celana pendek serta kaos lengan panjang. Aku langsung berlari kecil ke walk-in-closet sambil berharap ia tak melihat kulitku dari celah bathrobe ini.

Aku membuka koperku untuk mengganti bajuku dengan piyama satin berwarna pink muda. Betapa terkejutnya aku ketika ada lingerie berwarna merah yang diletakkan di sana. Pasti ulah ibuku!

Kusingkirkan lingerie itu dan memakai piyamaku segera. Ini sangat canggung. Aku berlama-lama di walk-in-closet dan tak tahu harus apa saat keluar dari sini.

"Carlina, kamu mau pesan camilan, gak?" tanya Julian dari kamar.

"Uh, sebentar!"

Aku keluar dari walk-in-closet dan pergi ke kamar. Aku menemukan Julian sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Ia membalas beberapa pesan dari teman-temannya yang tak dapat hadir dan tidak diundang.

Aku duduk di sebelah Julian. Pria itu langsung meletakkan ponselnya begitu sadar aku sudah di sana.

"Kita... kita jadi satu kamar?" tanyaku ragu.

Julian menarik napas. Ia seperti dihajar realita bahwa tak semua perempuan mau menidurinya. Ia terlalu terbiasa memacari perempuan liberal yang tak canggung dengan kegiatan intim.

Dan di sinilah aku, perempuan moderat dengan orang tua konservatif yang sangat protektif.

"Iya. Tapi kalau kamu gak nyaman, aku bisa tidur di sofa, atau minta extra bed," ucap Julian.

"Eh, jangan. Nanti orang tua kita tahu," ucapku.

Ah, sial. Aku bingung bagaimana harus mengatakannya. Aku tahu sangat wajar untuk pasangan yang baru menikah menghabiskan malam bersama. Tapi kami baru saja menyatakan cinta tadi malam. Kami belum sedekat itu.

"Oke. Tapi kamu gak perlu takut. Aku akan kasih kamu ruang untuk adaptasi."

Ucapannya membuatku terlempar pada beberapa buku novel perjodohan. Banyak momen romantis dan panas yang terjadi walaupun mereka dijodohkan. Situasi malam pertama biasanya akan menjadi chapter yang aku tunggu-tunggu.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now