20. Pengantin Baru

374 34 3
                                    

Kami mengadakan sarapan pertama di restoran bersama orang tua kami dan adik-adik Julian. Kami telah berdandan rapi untuk melepas mereka pulang.

Di tengah makan yang khidmat itu, aku membuat pengumuman penting.

"Ada yang mau aku sampaikan sebelum semuanya pulang," ucapku menggantung. Julian ikut menatapku serius.

"Aku dan Julian gak jadi ke Lake Como. Aku ngerasa kurang sehat dan mau istirahat di rumah baru kami sekaligus menata rumah itu. Lagian, honeymoon bisa di mana aja. Iya, kan, Julian?"

Julian tak menjawab sama sekali. Ia tak mengerti situasi ini. Namun ia juga tak mau mempermalukanku dengan mempertanyakan kewarasanku saat ini.

"Loh? Terus gimana dong?" tanya Mama yang hampir membanting pisau dan garpunya.

"Mmm, mungkin Mbak Octa dan Mas William mau gantiin kami?" tanyaku pada Mbak Octa yang sibuk mengawasi Sus Ani.

"Serius?" tanya Mbak Octa.

"Iya, Mbak. Nanti gak perlu digantiin. Lagipula cuma 3 hari. Julian juga bakal sibuk buat cabang Joseon Galbi di Bogor."

Julian tiba-tiba menggenggam tanganku dan membuatku berhenti berbicara. "Kalau gitu aku minta sarapannya dibawa ke kamar aja, ya? Ayo aku anter dulu ke kamar."

Tak ada satupun anggota keluarga yang curiga. Aku memang sering sakit karena jarang terpapar polusi dan jarang beraktivitas berat sejak kecil. Paling tidak, satu bulan sekali, aku merasa demam.

Sesampainya di kamar, aku tak menghiraukan Julian dan duduk di bangku yang menghadap ke Jendela.

"Kamu bisa jelasin apa maksud kamu?" tanya Julian yang terdengar kesal.

"Gapapa. Aku memang penasaran sama rumah baru kita. Kita bisa honeymoon di rumah, kan?" ucapku, berusaha untuk tidak terdengar sarkastik.

"Kenapa kamu langsung ngomong ke keluarga kita dan gak ngomong ke aku dulu? Kamu yang pengen ke Lake Como." Julian membuntutiku yang sedang membereskan barang-barang kami.

Aku menyusun parfum Tom Ford Lost Cherry dan YSL Black Opium-ku di travel bag yang akan masuk ke kabin pesawat nanti. Karena aku sibuk sendiri, Julian menarik tanganku dan memojokkanku ke tembok.

"Aku lagi ngomong sama kamu. Jawab. Kenapa kamu tiba-tiba batalin bulan madu kita?" Ia menatap mataku lekat-lekat.

Sejujurnya, aku sedikit takut. Julian terlihat sangat marah. Oh, tapi aku juga punya kemarahan itu jauh di dasar hatiku. Aku tahu kenapa aku marah. Aku tahu akar kecemburuanku.

"Aku sudah jawab, Mas Ian."

Ucapan santunku jadi terdengar sarkastik. Julian melepas tanganku. Ia tahu ia tak dapat memaksaku untuk berbicara jujur.

"Terserah kamu."

Ia menyerah. Ia berjalan keluar kamar entah ke mana.

Begitulah hari pertama pernikahan kami, dan berlanjut sampai kami berada di kediaman resmi kami, Bogor.

***

"Selamat datang, Bu, Pak."

Bogor Raya, atau juga dikenal sebagai Bogor Lakeside. Sebuah perumahan yang terletak di Kelurahan Cimahpar, Bogor Utara. Perumahan ini terletak persis di sebelah pintu tol Bogor.

Tante Ayu, atau yang sekarang kupanggil Mama, berbohong tentang luas tanah di ini. Luas tanahnya sekitar 700 meter persegi. Bangunan rumah ini bukan seperti rumah tua yang kubayangkan.

Taman bagian depan sangat pendek dan hanya dipenuhi pohon cemara untuk menutupi fasad rumah. Carport menurun tersambung dengan bagian basement yang akan dihuni oleh tiga mobil milik Julian.

Rumah Putih GadingWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu