8. Uluwatu

293 29 1
                                    

Matahari hampir terbenam. Aku bersama Julian duduk di tribun ampitheater Pura Uluwatu untuk menonton tari kecak.

Kami berada di ujung tebing, menghadap langsung ke lautan dan tempat matahari terbenam. Langit sore ini berwarna oranye keunguan lagi seperti yang kulihat di Nusa Dua. Tapi rasanya, langit Uluwatu memberikan sesuatu yang lebih magis.

Tempat ini selalu padat pengunjung bahkan pada hari kerja seperti ini. Tentu saja banyak turis asing. Kami datang sebelum tribun penuh dan sempat berjalan-jalan di sekitar pura sebentar.

"Wah, liat langitnya," ucapku saat baru duduk. Julian menatap langit itu bersamaku.

Ia mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa gambar langit serta ampitheater. Lalu, ia mengarahkan ponselnya padaku.

"Eh? Aku malu," ucapku dan menutupi setengah wajahku.

"Kenapa malu? Bagus kok," ucapnya sambil sedikit mundur dan masih mengambil fotoku.

Akhirnya aku mengalah dan menurunkan tangan. Aku berusaha berpose sebaik mungkin walau angin membuat rambutku semakin berantakan.

"Gantian." Aku mengambil ponselku lalu ikut memfoto Julian.

Julian awalnya juga malu-malu. Tapi, Tuhan, pria ini sangat fotogenik. Rahang tegas dan hidung mancungnya membuat ia terlihat tampan dari segala sisi. Ditambah postur tubuhnya yang sangat baik. Harusnya ia jadi model saja.

"Pardon, sir, can you take a picture of us?" ucap Julian tiba-tiba pada pria yang sepertinya berasal dari Korea atau Jepang.

"Oh, yes, yes," ucapnya lalu mengambil ponsel Julian.

Julian duduk mendekat lalu merangkul bahuku. Aku berusaha terlihat natural. Padahal aku gugup setengah mati.

Ini adalah pertama kalinya seorang lelaki menyentuhku sedekat ini!

Aku dapat mencium wangi parfum Julian dari jarak ini. Kami berfoto bersama sekitar empat kali. Setelah itu, Julian melihat hasil foto tadi. Ia mengambil sekitar 20 fotoku.

Kami bertukar foto lewat chat. Ya, aku sudah menyimpan nomernya dan menghubunginya untuk sekedar menanyakan di mana ia parkir. Kulihat foto-foto Julian di ponselku. Manis sekali. Ia terlihat malu-malu sekaligus karismatik.

"Carlina."

"Ya?"

"Setelah aku pikir-pikir, aku belum ngerencanain lamaran untuk kamu. Aku gak tau kamu suka hal-hal kayak gitu atau engga. Menurutmu gimana?"

Kami saling tatap di tengah posisi duduk yang berdempetan. Aku sempat menggigit bibirku tanpa sengaja. Jika aku ceritakan lamaran idealku, akan terdengar konyol pastinya.

"Suka, tapi..."

"Tapi?"

"Aku mau sesuatu yang sederhana tapi spesial."

Ucapan filosofisku membuat Julian berpikir keras. Aku menatap pantulan sinar matahari di lautan yang tenang.

"Aku gak perlu lamaran dengan kamu berlutut kasih cincin, atau buat acara di hotel mewah dan bintang tamu kayak Lyodra, Yura Yunita, Maliq. Lupain semua itu. Aku mau sebuah momen ketika kita lagi bahagia, tenang. Momen di mana semuanya kerasa baik-baik aja."

Julian mengangguk paham. Tiba-tiba, ia mengambil tanganku dengan lembut dan menatap jemariku.

"Momen kayak saat ini?"

"Betul."

Julian merogoh sesuatu dari kantong kemeja denimnya lalu ia perlihatkan padaku.

"Aku tetep merasa harus buat acara besar untuk kamu, Car. Kamu anak perempuan satu-satunya dari keluargamu. Kalau kamu gak mau semua itu, kamu mau kan terima cincin ini?"

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now