2. MRT Haji Nawi

460 38 7
                                    

"Pa! Kok tiba-tiba aku dijodohin, sih?!"

Aku tak dapat menahan keluhanku begitu kami masuk ke mobil yang dikendarai Papa. Orangtuaku hanya tertawa kecil sementara Toyota Camry ini melenggang di jalanan Senopati.

"Memangnya kamu punya pacar?"

"Belum."

"Kamu sudah ada kerjaan?"

"Belum juga."

"Nah, ya sudah. Menikah aja sama Julian itu. Gak ada ruginya pula, kan?"

Aku memijit pelipisku yang terasa sakit. Sial, karena hidupku tidak produktif ini, aku malah tiba-tiba dijodohkan oleh orang yang baru saja kutemui di perpustakaan hari ini.

"Ya, tapi kan, aku gak kenal sama dia," ucapku. Mungkin ini pemberontakanku yang kedua setelah aku masuk ke prodi Sastra Indonesia.

"Makanya Papa kenalin hari ini. Gak perlu terburu-buru juga. Julian juga sudah bersedia. Itu anaknya Om Haris hebat loh. Dia kuliah bisnis di University of Edinburgh. Kamu kan gak mau kuliah bisnis. Biar Papa punya menantu yang suka bisnis boleh lah."

Migrain sudah kepalaku ini. Papa benar-benar menikmati rencana perjodohanku dengan anak Om Haris.

Pria itu, Julian, sepertinya dia juga anak penurut yang ikhlas dijodohkan dengan siapapun. Mungkin dia tidak peduli siapapun istrinya nanti asalkan bisnisnya tak terganggu.

Masalahnya, aku peduli.

Akulah si perempuan yang menginginkan pasangan tak terduga. Mungkin, jika aku berjodoh dengannya karena sering bertemu di perpustakaan, aku akan lebih senang.

Tapi, perjodohan?! Memangnya aku Siti Nurbaya?

***

"Loh, kok mati?!"

Mobil yang kami kendarai tiba-tiba berhenti tepat di bawah Stasiun MRT Haji Nawi. Papa mencoba untuk menyalakan kembali mesin mobil. Tapi percuma, mobil ini tak mau menyala sama sekali.

Walau sudah mendekati jam 10 malam, jalanan masih sangat ramai dan kami membuat kemacetan di jalanan super sibuk ini. Papa dengan cepat keluar dari mobil dan mendorong mobil ke samping.

Aku dan Mama ikut keluar mobil. Saat kami hendak membantu, orang-orang di sekitar terutama pengendara ojek online telah membantu kami untuk mendorong mobil ke samping.

"Tunggu aja Neng di sana," ucap salah satu lelaki yang ikut mendorong mobil kami.

Aku menurut dan menunggu di trotoar stasiun MRT. Mama terlihat mencoba mengontak seseorang saat sedang sibuk-sibuknya.

"Aduh, Mas Budi kok gak angkat telepon, sih?" omel Mama pada ponselnya.

Setelah mobil selesai dipindahkan, Papa bergabung bersama aku dan Mama.

"Mas Budi gak angkat telepon," ucap Mama sambil masih terus menelepon Mas Budi.

"Ah memang anak itu pasti sudah tidur atau lagi main game. Sebentar. Biar kutelepon si Haris. Siapa tau dia masih dekat sini."

Papa mengeluarkan ponselnya lalu berjalan ke tempat yang lebih tenang. Samar-samar aku masih dapat mendengar suara Sumatra yang menggelegar itu.

"Halo? Haris? Iya mobilku ini mogok. Ah di mana ini? MRT Haji Nawi. Iya. Gak tahu pula kenapa. Kau ada nomer mobil derek? Oh? Anakmu ke sini nanti? Oke oke. Baik. Kutunggu. Kirimkan nomer si Julian itu biar kutelepon dia nanti. Oke. Terimakasih."

Jika aku mau jadi anak durhaka, akan kusampaikan bahwa mobil mogok adalah pertanda buruk akan perjodohan konyol ini. Aku ikut mengeluarkan ponselku sambil menunggu ketidakpastian ini.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now