17. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran

231 27 4
                                    

Calon istrinya, maksudnya aku?

"Kamu mungkin belum sayang sama aku sekarang. Gapapa. Aku emang selalu jatuh cinta terlalu cepat. Tapi aku cuma pengen kamu tahu saat pemberkatan besok, semua yang aku ucapkan itu dari hatiku."

Julian berdiri. Ia seperti hendak menyudahi pembicaraan ini. Sepertinya ia menyerah pada sikapku yang selalu menolak pembicaraan berat. Ini salahku. Aku selalu menghindari permasalahan. Aku takut menghadapinya. Sekali-kalinya aku mencoba menghadapi masalah, aku kehilangan teman terdekatku.

Namun saat ia berjalan pergi, aku menahan tangannya.

"Aku cemburu."

Julian menatapku ketika aku mengucap hal tersebut. Akhirnya aku menyadari perasaan apa yang mengganjal ini. Perasaan yang membuat dadaku terbakar saat membaca pesan perempuan itu dan rasa ingin menjambak rambutnya yang lurus sempurna.

"Aku gak mau kamu sayang sama orang lain," tambahku. Setelah itu mulutku bungkam sementara kami saling bertatap cukup lama.

Tiba-tiba Julian memelukku.

"Aku cuma sayang kamu, Carlina."

Hangat tubuh Julian seperti mencairkan segala es ketegangan di dadaku. Mendadak semuanya terasa nyaman, mendadak dunia ini seperti milikku seorang setelah ia berada di dekapanku.

Ya, aku mendekap pria itu. Pria yang mencintaiku, bukan Chloe. Pria yang akan menjadi suamiku, bukan Chloe. Pria ini milikku, bukan Chloe.

Dekapan ini berlangsung lama di tengah indahnya langit Magelang serta bebatuan yang menyusun Amanjiwo. Aku menghirup wangi birch dan musky dari parfum Julian yang menempel di bajunya. Sebuah wangi ketenangan yang membuatku tak ingin melepaskannya.

"Kamu gak perlu khawatir tentang apapun lagi, apalagi tentang Chloe. Besok akan kunikahi kamu. Aku jadi milik kamu selamanya."

***

Tanganku berkeringat di tengah dinginnya pendingin mobil. Kami beriring-iringan dari Amanjiwo menuju Gereja Hati Kudus Yesus Yogyakarta. Sebetulnya, banyak sekali gereja yang dapat kami gunakan untuk pemberkatan di sekitar sini. Tapi Om Haris memaksa untuk melaksanakannya di Yogyakarta, tanah kelahirannya.

Selain itu, dari apa yang kutahu, gereja ini memiliki sentuhan budaya yang kental di gerejanya. Tak mengikuti arsitektur kebarat-baratan atau interior minimalis.

Aku berada di mobil yang terpisah dari Julian. Karena menurut tradisi, ada baiknya kami dipisahkan sebelum pernikahan berlangsung. Aku hanya bisa menggenggam tanganku sendiri dengan gugup.

Kebaya bludru ini juga membuatku semakin kepanasan. Ya, di detik-detik terakhir, kami memutuskan untuk tetap mengenakan kebaya pada proses pemberkatan. Alhasil, rambut bayi berantakanku dirapikan untuk pemasangan paes.

Meskipun begitu, riasanku tidak menor. Aku berhasil meyakinkan orang-orang untuk memakai lipstik berwarna pink gelap yang sangat cocok di bibirku.

Kami sampai di gereja. Semua tamu telah hadir menanti kami. Semuanya terjadi begitu cepat. Orang-orang wedding organizer membantuku berjalan dan merapikan bajuku begitu aku keluar dari mobil. Aku bahkan tak sempat mencerna betapa cantiknya tempat yang kental dengan akulturasi budaya Jawa.

Tiba-tiba, aku telah berjalan menuju altar. Di ujung sanalah aku baru melirik pria di sampingku, Julian Bimantara, yang dalam hitungan menit akan menjadi suamiku.

Ia memakai baju adat bludru juga lengkap dengan blankon dan kerisnya. Kurasa ia tak memakai riasan. Atau mungkin pakai. Kulitnya terlihat lebih segar pagi ini. Padahal, aku tahu ia minum-minum dengan temannya sampai pagi. Walaupun ia batal ke Phuket karena aku memohon.

Rumah Putih Gadingजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें