5. The Apurva Kempinski Bali

374 32 2
                                    

"Kamu sewa dua mobil kan, Ian?"

"Iya, Pa."

"Nah, bagus. Kamu sama Carlina check in duluan aja. Kami yang tua-tua mau ketemu teman lama dulu."

Kami berdua saling tatap di depan logo Bali berwarna merah di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Kedua ayah kami saling cengar-cengir dan lanjut berjalan bersama.

Aku tak bodoh. Aku pun tahu seluruh agenda liburan ini adalah untuk menjodohkan kami. Tapi, ayolah, check in ke resor terbaik di Bali berdua? Kami akan terlihat seperti pasutri sedang bulan madu!

Julian sedikit memutar matanya. Sama sepertiku, ia tak melawan orang tuanya dan langsung menelepon rental mobil untuk menanyakan posisi mereka.

Dua mobil Mitsubishi Pajero telah menanti kami di pintu kedatangan. Julian menghampiri para sopir mobil itu untuk bertukar kunci.

"Papa sama Om Michael mau pakai supir?" tanya Julian.

"Iya, iya. Pakai supir," ucap Om Haris dan menenteng kopernya dengan senyum lebar.

"Supirnya satu aja. Nanti berangkat sama Pak Haris. Saya bawa mobil yang satu lagi," ucap Julian dan mengatur serah terima kunci itu.

"Papa dan Om Haris nanti check in yang suite, ya. Aku kemarin gak dapet yang suite buat Carlina sama aku, jadi kami nanti yang room biasa. Nanti receiptnya kukirim," ucap Julian sementara para sopir tadi mengangkut barangku dan barang Julian ke mobil yang akan kami gunakan.

"Loh, gak dapet suite? Kok gak bilang Papa?"

"Nanti aku coba carikan lagi buat Carlina. Kalau aku gak masalah di room biasa," ucap Julian.

"Aku juga gapapa kok," sahutku secepat kilat.

Ibu-ibu kami saling bertatap dan tersenyum. Setiap momen kekompakanku bersama Julian menjadi kesempatan mereka untuk mengharapkan perjodohan ini berhasil.

"Ya sudah, kami pergi dulu kalau gitu," ucap Papa lalu masuk ke mobil Pajero berwarna putih.

Kami menggunakan mobil Pajero berwarna hitam. Kami tidak langsung berangkat, tentunya. Selalu ada keheningan dan kebingungan total ketika kami bersama.

"Kamu mau langsung ke hotel?" tanya Julian sambil memasang seatbelt.

"Ke mana pun gak masalah. Tapi Kakak kelihatan capek. Mau istirahat dulu?"

Bibir pucatnya tak berbohong. Ia seperti orang yang minum kopi double shot lalu tak tidur selama tiga hari. Aku hanya berharap ia tak menabrak

"Kalau kamu mau ke suatu tempat, kita pergi dulu aja."

"Engga. Kita istirahat dulu aja."

***

Kami check in ke room masing-masing yang bersebelahan. Kemewahan resor ini memang memanjakan mata. Namun, aku justru malah ingin bermain di pantai umum dan berjalan-jalan naik motor merasakan angin laut yang kencang.

"Kalau butuh sesuatu ketok aja kamarku. Atau telepon aku," ucap Julian sebelum menutup pintunya.

"Aku gak punya nomer Kakak."

"Oh iya. Sebentar." Ia masuk ke dalam kamar lalu menuliskan nomernya di kertas yang tersedia.

Aku hanya berdiri di ambang pintu kamarnya. Ia repot repot menuliskan nomer itu. Padahal aku bisa langsung mengetiknya di ponselku. Tapi ia tak mau merepotkanku, sepertinya.

"Ini nomerku. Jujur, aku butuh tidur sekitar 30 menit atau satu jam. Boleh?"

"Kak, ya Tuhan. Tidur yang cukup. Aku gak akan ganggu. Selamat istirahat, Kak," ucapku sebelum meninggalkan pintu kamarnya.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now