Patah Hati

2 0 0
                                    



***


Rasa yang membuatku tak baik-baik saja. Semua yang didamba hilang seketika. Mata membuta, telinga menjadi tuli. Waktu terasa berhenti, kala cinta yang ada patah tak tersisa.


***

Aku mengenal cinta. Cinta yang hadir menemani waktu tiap hari. Aku bersamanya adalah satu. Ada aku ada dia. Bersama. Lupa semua, keluarga, uang, juga larangan.

"Pergi dan tinggalkan. Tak ada cinta yang indah pada yang tak berhak atasmu" ucap lelaki dengan wajah oval dengan alis yang tebal.

"Mengapa kau mengaturku. Aku bahagia dengannya" apatisku memenuhi hati dan pikiran.

"Jauhi. Bukankah Allah telah melarang atas hal itu, dan kau abaikan?"

Aku terdiam sebentar dengan kalimat itu. Namun apa di kata, jatuh cinta membuat buta. Aku diam saja dan mengabaikan perkataannya. Selagi bahagia buat apa susah. Peringatannya tak aku acuhkan.

Hidupku biarlah mengalir, bahagia sedang tertumpah ruah di dalamnya. Namun bukankah bahagia tak selalu menemani. Selalu ada sedih mengiringi. Aku lupa. Lupa akan hal itu.

Bahagiaku tak seberapa, hanya berjalan hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan. Namun sekali patah semua itu hancur tak tersisa. Apalagi aku berada pada jalan yang salah. Semua kacau.

Waktu menunjukan sudah dini hari. Suara angin mendesis melewati jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Udara malam terasa lebih memeluk daripada pendingin ruangan. Tirai bergoyang tertepa angin malam. Sinar rembulan lebih terang di pertengahan bulan arab.

Dalam malam ini kujatuh pada rasa yang hilang berhamburan. Malam hari bagai waktu yang amat cocok untuk tenggelam dalam luka. Entah luka karena memikiran omongan orang yang melihatmu lebih gendut, atau menanyakan kapan lulusmu, atau sekedar basa-basi akan menikah kapan, dansemua hal tentang luka akan semakin berputar di waktu ini. Seperti yang mereka sebut dengan overthinking.

Kurenggut selimut, ingin menjerit dalam diam. Namun hati semakin memanas. Teriak ingin dilakukan, namun suaranya terlalu bising untuk malam yang sunyi. Aku tak ingin terlihat terluka, namun sangat sulit tampak bahagia.

Kenapa patah cinta sesakit ini? Rasanya baru kemarin bersama, menyusuri jalan kota, atau sekedar makan di tempat favorit kita. Aku ingin terlihat baik-baik saja, nayatanya berat dan tak bisa. Terlalu perih hati ini, butuh dekapan hangat, walaupun sebentar saja.

Tangis meluap, namun suara kubungkam. Dada semakin sesak menahan amarah juga kecewa. "Kenapaa..Kenapa?" aku perlahan bersuara tidak terima. Aku butuh dia yang biasanya datang kala kusedih. Tapi di mana? Mengapa tak datang? Suaraku mulai tergagap menahan isak tangis yang terbungkam. Aku butuh telinga untuk mendengarku, dan kata untuk menghapus air mata.

"Ada apa sayang? Kenapa wajahmu basah air mata?" ia yang kunanti tiba-tiba datang menyapa. Bukan histeris bertanya, namun tetap lembah lembut dalam tenang. Jika saja semua orang seperti dia, apakah dunia akan selalu baik-baik saja? Perang dunia tak akan terjadi, apalagi sekedar perang perasaan.

"Mengapa lama hadirmu?" protesku padanya.

"Kau menantiku hanya saat sedih, saat bersenang dengan yang sudah kularang kau hilang" ucapnya menegas namun bukan marah yang kutangkap, hanya teguran penuh wibawa.

"Maafkan aku", aku tertunduk malu. Memang dia telah menugurku, namun aku abai saja dengan semua.

"Kau tahu? Allah yang mematahkan hatimu dan membuat kalian berpisah" dia diam sejenak sedangkan akuhanya bisa diam semua rasa ini tak bisa diungkapkan lagi.

Dua Sayap MenuaWhere stories live. Discover now