Aku Didua

2 0 0
                                    

"Apakah cemburu adalah perasaan yang normal? Atau dia adalah rasa yang mebunuh diam-diam" -- seorang gadis lima tahun yang duduk sendiri dengan kecambuk cemburu dalam hati.

Yuk guys tinggalin comment dan jangan lupa vote

Stay Tuned and Happy Reading^^

***


Tak ada yang ingin berbagi. Bahkan dengan dia yang berasal dari satu Rahim. Namun sendiri juga tak semenyenangkan itu. Bersamamu mungkin menyisakan sedikit ruang untukku, tapi hadirmu menambah bahagia untuknya.


***

Sebutan anak satu-satunya kini mulai memudar dariku, setelah enam tahun kusandang nama itu. Satu lagi permata akan muncul di keluarga. Permata yang dinanti-nanti orang tua. Menjadi temanku untuk bermain boneka, atau sekedar berebut cokelat.

Semua orang antusias menunggunya, hingga malam hari yang telah larut. Tugas abah semakin besar. Sebelum kelahiran itu datang, ia setia di rumah sakit bersama istri tercinta.

Kelahiran kali ini mama membawa beban berat, pasalnya salah satu nyawa hampir saja tak selamat. Aku yang masih kecil mendengar percakapan itu. Aku tak ingin kehilangan, aku belum siap, dan aku tak mau.

Aku ingin egois memliki mama, namun mama tak ingin membiarkan permata itu pergi begitu saja. Suasana menjadi tegang, hingga suara tangisan terdengar. Anehnya, semua orang tertawa bahagia, begitu pula aku ikut bersama yang sejatinya belum tahu apa-apa.

Persalinan ini membuat mama berlama di rumah sakit. Tinggalah aku sendiri, di kamar yang biasanya pelukannya menghantarkan tidurku. Sendiri yang setiap pagi hanya menatap kosong jendela luar. Aku memang bahagia memiliki seorang adik, namun aku tak tahu jika harus merasakan sendiri seperti ini.

"Mengapa kamu melamun di jendela pagi-pagi?" ucap lelaki dengan paras indah bersemayam.

Aku yang awalanya sedang bersedih menjadi tersenyum tat kala melihat wajahnya yang diukir senyum bulan sabit.

"Tidak" ucapku menolak bercerita.

"Aku tahu, kamu kesepian bukan?" tanyanya menggodaku, namun tak sekalipun aku merasa itu hal buruk.

"Hehehe.. Iya. Apa mama dan abah sudah tak sayang padaku?" tak ada tangis, tak ada emosi, namun rasanya kosong dan sepi.

"Tidak. Mereka sangat sayang padamu"

"Lalu mengapa mereka tak kunjung menemuiku yang di rumah sendiri berhari-hari" aku gadis lima tahun pun mulai merajuk dan kesal dengan suasana ini.

"Mama sedang berjuang untuk adikmu dan abah sedang berjuang untuk dua kesayangannya. Sedangkan kamu, apa yang kamu perjuangkan untuk keluarga?" aku anak kecil berusia enam tahun, itu pertanyaan berat menurutku.

"Kamu dengar kan, nyawa mama hampir tidak tertolong. Abah tak ingin kehilangan istri yang teramat ia cintai. Mereka berdua sedang berjuang untuk keluarga.

"Apakah kamu telah berjuang juga?" pertanyaan itu kembali kepadaku.

"Aku harus berjuang seperti apa, aku kan tidak bisaapa-apa. Umurku saja masih lima tahun" ucapku polos merasa tak perlu ikut andil.

"Kamu bisa berjuang. Cukup di sini tak melakukan apa-apa, baik-baik saja dan doakan mereka. Cukup. Itu sangat cukup" senyumannya itu, lagi-lagi membekas dan menransfer energi yang tak mengerti bagaimana. Aku tenang dan mulai paham.

Terkadang kita merasa ditinggalkan. Terkadang orang tua seakan tak memedulikan. Seakan semua orang tak menyayangi kita, namun sejatinya mereka sedang berjuang pada posisi masing-masing. Sedangkan aku, aku hanya perlu baik-baik saja, tak berat bukan? Cukup berdoa untuk mereka, tak susah bukan? Namun sangat terlambat kusadari.

Dua Sayap MenuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang