Khawatir

2 0 0
                                    

Tak ada selalu bahagia tanpa duka, semua hanya fatamorgana jika yang kau lihat hanya dari sosial media.

Tak usah berpaling muka hanya karena dirimu tak sesuai harapain orang. Cukuplah menjadi yang terbaik untuk dirimu dan Tuhan sesuai pinta.


***


Satu rasa yang selalu hadir tiap hari. Seperti asupan yang melintas semakin kuat kala dini hari

Aku duduk termenung berpangku tangan. Kapan kiranya sirna semua cemas?


***

Hidup memang tak pernah baik-baik saja, selalu ada rasa yang bercampur dalam senang dan duka. Begitu juga rasa cemas dan tenang, hadir bersama dalam satu paket berjudul hidup.

Kaca jendela pun akan terlihat jelas ketika matahari bersinar terang. Ia pun akan buram mengembun kala hujan datang menerpa.

Kurasa pikiranku seperti itu. Akan terasa terang terpancar di wajah yang tersimpul senyum melengkung ketika bahagia hadir di fase hidup. Namun tak jarang air mata menemani ketika dunia tak berpihak padaku.

Aku khawatir. Aku cemas. Aku merasa tak mampu menjalani hidup dengan sebaik-baik hidup.

Setiap fase dalam hidup tentu ada masalah dan perjuangan. Untuk bisa berjalan, bayi kecil pun akan terjatuh berulang kali hingga ia bisa berlari. Setiap murid mempertaruhkan waktu untuk belajar demi mendapat gelar juara. Begitu pula aku yang beranjak dewasa dengan masalah-masalah baru yang mulai kutemui.

Hidup tak pernah selesai dengan masalah. Tak pernah dijamin selalu berjalan sesuai yang kau ingin bahkan sesuai yang kau pinta. Bahagia itu pilihanmu, bahkan dengan segala masalah yang ada, kau memiliki pilihan untuk bahagia dengan nikmat lain yang kau punya.

"Mengapa harus aku yang dijauhi, salahku apa?" tanyaku seorang diri dengan kesal. Kini gadis berusia dua belas tahun berenjak remaja.

"Mengapa kau menggerutu sendiri?" lelaki itu datang menghampiriku dengan wajah yang sama seperti biasanya.

"Mengapa aku tak memiliki teman, semua menjauh dariku?" ucapku sebal.

"Apakah kau berbuat salah?"

"Mereka yang salah. Bukan aku! Mereka yang iri padaku" intonasiku semakin meninggi.

"Kenapa hanya mereka yang kau sebut salah?" hembusan nafasnya terdengar hingga dari posisiku.

"Lalu aku yang salah?" amarahku semakin memuncak. Aku telah lelah diasingkan oleh teman-teman tanpa tahu apa salahku. Tak dianggap.

"Kau seorang muslim. Bukankah islam mengajarkan untuk berbuat baik pada semua orang, tak menuduh bahkan mencela?" tanyanya padaku.

"Mengapa jadi aku yang rasanya seperti disalahkan?" aku terus menggerutu tidak terima.

"Bukan seperti itu, gadis cantik. Bagaimana pun mereka kepadamu mungkin saja ada sikapmu yang melukai mereka. Allah mengajarkan untuk menilai diri sendiri bukan menilai orang lain. Karena dirimu tidak dilihat dari sikap mereka padamu, namun dirimu dilihat dari sikapmu pada mereka. Tetaplah tersenyum dan berbuat baik. Hatimu lebih lapang dari stepa yang menghijau" perkataannya lembut, membuatku mulai mencerna kata demi kata. Sedikit terbesit makna yang tersirat, namun aku remaja dengan ego yang masih tinggi-tingginya.

"Mana bisa berbuat baik pada mereka yang mengucilkanku?" gerutuku setelah semua kalimat baik masuk di telingaku namun belum membekas.

"Apa kau tidak ingin hadiah besar dari Allah? Bukankah sikap teman-temanmu pun Allah yang gerakan?" rayunya kemudian.

Dua Sayap MenuaWhere stories live. Discover now