19 - Manner Does Matter

23 3 1
                                    

Hari itu jadwalku mengajar murid-murid kelas 3 yang kesemuanya ada tujuh orang. Aku sedang sibuk menerangkan konsep porogapit saat tetiba salah satu di antara mereka membuka percakapan dengan murid lainnya.

Biasanya aku memang tidak pernah menegur mereka mengobrol karena terkadang aku juga ikut menimbrung obrolan mereka. Namun, saat itu aku betulan dibuat kesal sebab aku merasa dikacangin oleh mereka semua. Mereka benar-benar lupa bahwa aku masih ada di sana dan sedang sibuk menerangkan materi. Parahnya, materi yang sedang kujelaskan adalah materi yang belum mereka pahami tapi mereka justru tidak mempedulikan penjelasanku. Aku sampai sengaja berdeham keras agar mereka kembali memperhatikanku. Namun, alih-alih mengalihkan pandangan mereka padaku mereka justru makin asyik mengobrol bahkan dengan suara yang makin keras. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti menjelaskan dan menulis di papan tulis lalu memilih duduk bertopang dagu sambil memperhatikan mereka, berharap mereka sedikit saja ngeh atas keterdiamanku. Sayangnya, tak satupun dari mereka sadar bahwa aku berhenti menerangkan dan mereka sedang diperhatikan. Alhasil akhirnya aku menyibukkan diri dengan buku tulisku dan menulis materi apa saja yang sudah kuajarkan di kelas berapa saja — aku memang punya buku tulis khusus untuk evaluasi belajar yang berguna untuk membantuku mengingat materi apa saja yang sudah kuajarkan termasuk kemajuan-kemajuan tiap murid dan di mana letak kekurangan mereka meskipun biasanya aku selalu memberi catatan khusus di buku tugas mereka di setiap pertemuan.

“Lho, neranginnya udah, Bu?” tanya Aulia yang sebenarnya murid paling diam di antara mereka bertujuh. Namun, hari itu dia juga ikut-ikutan mengobrol dengan kawan-kawannya yang lain. Aku lupa mereka sedang membicarakan soal apa tapi sepertinya topik yang sedang mereka perbincangkan seru sekali.

“Sudah,” jawabku singkat.

“Itu soal yang mesti dikerjakan, Bu?”

“Itu dikerjain ya, Bu?”

Meysha dan Vinda bertanya nyaris bersamaan. Aku menjawab pertanyaan keduanya dengan anggukan saja.

“Soalnya udah, Bu? Segitu aja?” celetuk Shakila, muridku yang lain yang paling vokal di antara mereka semua.

Aku menjawab dengan anggukan lagi dan gumaman pendek dengan mata tetap terpaku pada buku tulisku.

“Masa cuman dua, Bu?” tanya Imas tak yakin.

“Iya, Bu. Biasanya, kan, paling sedikit empat atau lima,” tukas Naura sama curiganya dengan Imas.

“Nggak. Cukup dua aja,” kataku berusaha meyakinkan.

“Ah, gampang itu wong cuma dua soal. Yuk, kita kerjain,” cetus Firza, murid vokal kedua yang tadi menginisiasi obrolan di antara mereka.

“Oke. Kalau gitu kerjakan ya,” perintahku. “Bu Mira kasih waktu lima menit ya karena, kan, cuma dua soal,” sambungku yang langsung mendulang protes keras dari mereka semua.

“Masa cuma lima menit sih, Bu?” Firza masih keras memprotes.

“Lha, kan, kamu tadi bilang ‘gampang’ jadi lima menit pasti cukup dong,” ujarku membalas ucapan Firza.

Firza nyengir sementara teman-temannya sibuk menyalahkan Firza. Aku menengahi mereka dengan mengatakan bahwa waktu mereka sudah berkurang satu menit dengan sia-sia.

“Bu, tapi yang bilang gampang, kan, Firza doang, Bu. Kita nggak.” Shakila masih berusaha memberikan pembelaan diri.

“Tiga menit lagi,” kataku tak acuh dan kembali menuai protes riuh dari mereka semua. “Kerjakan aja. Nggak usah banyak protes. Semakin banyak protes makin nggak ada yang selesai.”

Akhirnya di satu menit terakhir mereka baru mulai diam mengerjakan. Itupun mereka masih sempat-sempatnya mengobrol lagi. Aku bahkan sempat melihat dengan ekor mataku ketika Shakila membuat gestur tidak pantas dengan jari-jari tangannya ketika mengobrol. Namun, dia buru-buru menenangkan teman-temannya sebelum mereka melaporkan perbuatannya padaku. Belum lagi setelah itu Shakila lagi-lagi membuat drama dengan sibuk berebut pulpen dengan Firza dan pulpen yang mereka perebutkan itu adalah pulpen milikku setelah mereka mengubek-ubek tempat pensilku tanpa izin.

The Course Jilid DuaWhere stories live. Discover now